Langsung ke konten utama

Bayangkanlah, Lennon

Kemarin sore saya duduk di hadapan komputer. Tangan saya sibuk menekan tut. Mata saya memelototi tulisan. Pikiran saya mencari kalimat. Telinga saya mendengar lagu dari koleksi MP3. Salah satu lagu yang saya dengar itu menarik perhatian saya. Lagu itu tidak asing. Saya pernah mendengarnya waktu saya masih duduk di bangku sekolah dasar, kelas 4. Lagu Imagine , dinyanyikan John Lennon.

Waktu kecil dulu, saya dan anak-anak seusia saya gemar menirukan bagian reffrein dari lagu itu: "imejin of loppipo..." Begitu kami menirukannya. Kebetulan, lagu itu tengah jadi soundtrack iklan anti-perang. Tahun 1991, perang sedang berkecamuk di belahan dunia antah berantah, antara Irak dan Amerika yang didukung sekutunya.

Di kampung, kami tak mencium bau mesiu. Tidak juga terdengar suara ledakan peluru kendali. Tapi, kami seperti merasakan perang itu berlangsung tak jauh dari wilayah kami. Kami menyaksikannya di televisi hitam putih. Saya dan teman-teman setia menonton berita perang lewat siaran Dunia Dalam Berita TVRI.

Kalau saya simak, kadang syair lagu itu membuat saya gemetar. Bagaimana tidak? Lennon mengajak kita membayangkan masa depan tanpa harapan akan surga, tanpa harapan akan neraka, tanpa hidup setelah mati, tanpa agama, tanpa negara, tanpa hak milik.

Inikah atheisme dan komunisme? Saya seperti mencium spirit atheisme dan juga komunisme dalam lirik lagu Lennon yang dinyanyikan dengan nada melankolis itu:

Imagine there's no heaven,

It's easy if you try,
No hell below us,
Above us only sky,
Imagine all the people
living for today...

Imagine there's no countries,
It isn't hard to do,
Nothing to kill or die for,
No religion too,
Imagine all the people
living life in peace...

Imagine no possessions,
I wonder if you can,
No need for greed or hunger,
A brotherhood of man,
Imagine all the people
Sharing all the world...

You may say I'm a dreamer,
but I'm not the only one,
I hope some day you'll join us,
And the world will live as one.

Seperti mereka yang menyaksikan degub nadi sejarah dengan getir dan rasa cemas, begitulah Lennon memandang masa depan manusia yang sia-sia. Ia menyimak perang yang tak kunjung usai dan ribuan orang yang mati. Perang pecah atas nama agama, atas nama penegakan nasionalisme, atas nama kebenaran ideologi.

Lennon cemas dan bertanya; jangan-jangan religiusitas hanya kedok yang menyimpan bara kekerasan. Jangan-jangan nasionalisme hanya topeng yang menyimpan kebuasan hasrat menguasai. Jangan-jangan ideologi hanya kamuflase yang dipakai untuk memuaskan dendam.

Karena itu, lewat Imagine, Lennon membangun harapannya yang utopis: hidup tanpa agama, tanpa harapan akan surga dan neraka, sebab di atas kita hanya langit belaka. Hidup tanpa negara, agar tak ada yang terbunuh dan mati sia-sia. Tanpa hak milik, agar tak ada kejahatan akibat perebutan hak milik. Dengan begitu, kita bisa saling berbagi bersama. Hidup itu hanya di dunia ini saja.

Pandangan filsafat macam apakah yang dipakai Lennon untuk membaca realitas ini? Nihilisme-kah?

Anda mungkin mengira saya bermimpi, kata Lennon. Tapi saya tidak sendirian. Katanya lagi. Suatu saat kalian akan bermimpi seperti saya. Kata Lennon dengan penuh yakin. Ya, kita semua berharap dunia yang damai, dunia tanpa perang, dunia di mana setiap orang merasa menjadi saudara, tanpa ada yang dihinakan dan dibuat tak berdaya.

Tetapi perang adalah sebuah pertunjukan di atas panggung dunia. Negara menciptakan teritori, aturan, hukum dan ketentuan. Negara membuat bendera, memproduksi senjata dan menambah jumlah tentara. Negara melahirkan figur-figur pujaan, para pahlawan dari masa silam. Negara membangun monumen, dan membikin sandiwaranya sendiri tentang nasionalisme.

Setelah perang dunia dalam dua babak berakhir, terbit semacam optimisme bahwa tak akan ada lagi perang, kar
ena kita sudah mulai mengenal apa itu konsensus bersama, apa itu dialog, apa artinya komunikasi, apa pentingnya bahasa untuk menjembatani gagasan dan pikiran kita. Tetapi, negara masih saja membutuhkan tentara, negara masih memerlukan senjata atas nama kedaulatan teritori.

Orang percaya bahwa proses komunikasi itu bisa saja macet. Dialog itu bisa saja berakhir dengan kata tidak sepakat. Bahasa itu bisa saja dimanipulasi. Dan saat itulah perang menjadi solusi. Lennon, dengan bahasanya sendiri, meyakinkan kita bahwa di sana... di suatu dunia yang utopis... ada tanah air tanpa air mata.

I hope some day you'll join us,
And the world will live as one.

Komentar

Ibnul A'robi mengatakan…
Putus asa, tanpa harapan, ketidakpercayaan. Itu barangkali yang melatarbelakangi lennon berpikir seperti itu. Memang agama hanya akan menjadi simbol tanpa makna jika diekploitasi untuk mencapai kepentingan duniawi. Negara dan kekuasaan juga hanya menjadi alat pemeras hasil jerih payah rakyat jika para pemegang amanat hanya memikirkan perut, prestise dan selangkangan belaka.
Barangkali, kitapun akan berpikiran sama dengan lennon jika menghadapi kondisi serupa.
Untungnya, kita masih mengilhami makna agama yang paling dalam. Agama bukan hanya simbol, tapi juga penuntun dan panduan untuk menciptakan kedamaian. Kedamaian dalam diri untuk kemudian diterjemahkan pada realitas di mana kita berada. Karena, bagi orang beragama, tubuh manusia bukan hanya berisi daging, darah, otot, syaraf, tapi juga ada Nur Tuhan yang selalu bersinar.
Jangan mengaku sebagai orang beragama jika untuk menerima Nur-Nya pun kita masih menolaknya.
Karena, seorang lennon pun yang mungkin dianggap atheis lebih beragama dibanding orang-orang yang mengaku paling beragama tapi masih mengumbar nafsu keangkaramurkaan. BTW, MET puasa juga kawan, salam buat kawan2 jogja
samsulbahri mengatakan…
Kawan, sepanjang hidup, meminjam judul album sebuah group band, kita butuh: "piss love n understanding"

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...