Ada dua jalur yang akan ditempuh untuk sampai ke Ende. Pertama, dengan kapal laut yang bertolak dari Surabaya. Kedua, dengan kapal laut yang sama yang bertolak dari Lombok. Keduanya sama-sama pilihan yang ambigu.
Setelah berdiskusi, akhirnya kami ambil opsi kedua; bertolak dari Gilimas Lombok. Itu artinya, kami harus menyeberang ke Lombok dulu dari Padangbay menuju Lembar.
Perjalanan dari rumah kami di Jembrana Bali, dimulai pada jam 2 siang, tanggal 10 Juni 2025, hari Selasa, bertepatan tanggal 14 Dzulhijjah 1446 tahun hijriyah.
Kendaraan masih Toyota Rush Konde legendaris yang sudah hampir dua belas tahun menemani perjalanan kami. Segala sesuatu persiapan terkait kendaraan ini sudah Aku cukupi. Mulai dari servis berkala, penggantian oli mesin, ganti bearings (klaher) di bagian roda depan kiri, perbaikan seal rem yang rusak, hingga penggantian empat buah ban roda. Kali ini Aku coba pakai GT Savero untuk mengganti merk ban asli Dunlop.
Harga GT Savero lebih murah 450.000, dari Dunlop dengan ukuran yang sama; 235/60 R16. 100H. Satu buah ban roda Dunlop harganya 1.400.000 terima pasang. Sementara GT Savero seharga 950.000 terima pasang.
Inilah pergantian paling fundamental dari Rush Konde, selain radiatornya yang kuganti empat bulan silam, gara-gara retak.
Untuk menempuh perjalanan di medan Flores yang terkenal ekstrem, tentu kami khawatir jika tidak melakukan penggantian ban roda. Sebab, roda Rush Konde yang terpakai selama ini, masih roda Dunlop yang sempat kuganti tahun 2018 silam. Kendati ban ini sudah berusia tujuh tahun, kondisinya masih oke, masih baik untuk digunakan di sekitaran rumah. Setahun lalu, di bulan yang sama, kami masih menempuh ratusan kilo dari Jembrana ke Labuan Bajo, dengan roda ban tua itu.
Tiba di Padangbay pukul 21.30 malam, setelah sempat terjebak kemacetan selama dua jam di Selemadeg Tabanan, yang diakibatkan oleh entah apa. Dugaan kami, kemacetan itu diakibatkan oleh aktivitas ritual Purnama nyame Hindu. Maklum, hari Selasa masuk malam Rabu itu bertepatan dengan Purnama, bulan bundar sebundar piring.
Di Padangbay kami tidak mengantre. Begitu tiba, melewati palang pintu pemeriksaan tiket, kendaraan langsung diarahkan untuk masuk ke lambung kapal. Kapalnya lumayan besar dan bagus, juga bersih. Nama kapalnya, KMP Parama Kalyani.
11 Juni
Kapal Parama Kalyani sandar di Lembar jam 3 dinihari. Kami sempat berputar di sekitar Lembar untuk mencari homestay, tetapi nihil. Jam 3 itu terlalu sepi. Orang masih tertidur lelap. Kami putuskan untuk tidur saja di masjid. Masjid Al-Muqoddar, Serumbung Lembar. Di masjid inilah kami istirahat, sebelum nanti jam 10 pagi, kami berangkat ke Pelabuhan Gili Mas untuk naik kapal.
Jam 10 pagi, usai sarapan dengan nasi bungkus seharga tujuh ribuan, kami berangkat ke Gili Mas.
![]() |
Gili Mas Lombok / foto Sam |
Rupanya kapal Dharma Kartika V (lima) yang berangkat dari Surabaya dan akan menuju Ende Nusa Tenggara Timur, belum sandar di pelabuhan. Info dari layanan DLU Lembar menjelaskan, kapal akan sandar jam 1 siang.
Kami pun putar haluan, menjauh dari pelabuhan, mencari tempat nongkrong di sebuah warung tepi pantai, sambil menikmati kelapa muda dan pecel lontong khas Lombok dengan tahunya yang gurih.
Jam 1 siang, kapal Dharma Kartika V sandar. Baru pada jam 2 lebih, kami bisa masuk ke kapal, setelah melewati proses antrean verifikasi tiket yang lumayan rumit.
Kamar yang kami booking adalah ruang kelas II yang dilengkapi empat buah ranjang tidur susun, sebuah meja panjang, dengan lemari mini berisi life jacket, dan sebuah televisi. Tidak ada kamar mandi di dalam ruang. Jadi kami harus pergi ke tempat kamar mandi umum yang ramai.
Kapal bergerak meninggalkan pelabuhan Gilimas Lombok pada jam 5 sore, saat matahari kian condong ke barat. Dari tengah lautan, bentang pantai Pulau Lombok di saat senja, tampak sangat anggun dan cantik.
Perlahan, kapal mulai keluar dari ceruk laut teduh Lembar. Malam datang bersama bulan besar bundar bagai loyang perak yang menggantung di langit hitam. Segalanya tampak kian jauh.
Untuk sampai ke Ende, butuh waktu 28 jam. Dua puluh jam kapal akan tiba di Pelabuhan Waingapu Sumba. Dari Sumba barulah kapal akan menempuh perjalanan 8 jam ke Ende. Terakhir kapal akan berlabuh di Kupang.
Agak membosankan juga berada di tengah laut selama itu. Untuk melerai kebosanan, iseng-iseng Aku ambil seluruh koran cetak yang terpajang di dekat pintu masuk, depan counter respsionis, karena tidak ada seorang pun yang tertarik membaca koran. Ada lima jenis koran cetak: Surya, Lombok Post, Radar Surabaya, Memorandum dan Kompas.
![]() |
Koran Cetak di Kapal Dhrma Kartika V / foto Sam |
Hari gini masih baca koran cetak??? Terasa seperti kembali ke jaman batu.
12 Juni
Kapal merapat di Pelabuhan Waingapu Pulau Sumba pada jam 13.30 siang, setelah makan siang.
Jadwal makan di kapal sebanyak tiga kali. Pagi, siang, malam. Menunya lumayan baik, dibandingkan dengan menu Makan Bergizi Gratis yang jadi program pemerintah saat ini. Menu MBG ini nyatanya tidak banyak diminati siswa sekolah di tempatku di Jembrana. Lebih banyak yang dibuang ketimbang yang dimakan. Sep masaknya kurang bisa memahami selera makan anak-anak.
Dua jam lamanya kapal berdiam di pelabuhan Waingapu untuk menurun dan menaikkan penumpang. Setelah itu, kapal kembali melaju.
Bulan-bulan ini, jumlah penumpang kapal laut lumayan melonjak, oleh adanya libur panjang sekolah. Banyak para orang tua yang mengajak anak-anak mereka untuk pulang kampung atau berlibur ke suatu tempat. Dalam perjalanan, Aku banyak menjumpai para traveler, baik yang bersepeda motor maupun yang bermobil atau yang menggunakan jasa bus wisata.
Teknologi google map sangat memudahkan para traveler untuk melakukan perjalanan ekspedisi ke suatu tempat. Untuk menjangkau suatu titik lokasi, kita sudah tidak butuh banyak bertanya kepada warga setempat untuk sampai ke tujuan.
Kami sendiri kerap melakukan perjalanan untuk berlibur di bulan Juni, Juli, Agustus. Karena bulan-bulan ini tergolong masa kemarau. Hujan jarang turun, kecuali jika sedang masuk musim kemarau basah seperti tahun ini. Sepanjang Juni hujan masih turun deras tahun ini.
Di dalam perkiraan, kapal akan tiba delapan jam lagi, sejak beranjak dari Waingapu.
Langit mulai gelap. Tak tampak apa pun di kejauhan saat kapal sudah benar-benar berada di pertengahan antara Pulau Sumba dan Flores dalam perjalanan dari Waingapu menuju Ende.
Keramaian hanya terdengar di dalam kapal, oleh bunyi percakapan manusia dengan manusia lainnya. (Mana mungkin manusia bisa bercakap-cakap dengan ikan). Oleh bunyi televisi yang tidak ditonton orang. Dan sesekali terdengar speaker pengumuman nama seseorang dipanggil petugas dari ruang tunggu. Nama-nama mereka yang dipanggil khas nama- nama Timor; Viktor Ledeke, Ama Arumbae, Dhanil Dhakidae, Vincent Duan Alo, Kornelius Mere dan seterusnya. Kemungkinan yang dipanggil itu sedang keluar entah kemana pergi di bagian sudut kapal yang luas dan dilengkapi banyak anak tangga dari satu ke lain lantai, dan banyak sekali pintu-pintu kamar penumpang.
Aku tak sempat menghitung berapa jumlah tingkat lantai kapal Dharma Kartika V ini.
Pada jam 10 malam kira-kira, Ende sudah di depan mata. Itu tampak dari nyala lampu besar di kejauhan. Beberapa buah lampu putih dan kuning itu saja sumber penerangannya. Tidak gemerlap.
Pelabuhan Ippi Ende masih menggigil seusai hujan deras dan gelombang yang lumayan tinggi, ketika kapal yang kami tumpangi mendekat ke mulutnya.
Dengan latar belakang sebuah gunung yang menjulang, pada malam yang gelap itu, Pelabuhan Ende tampak menyeramkan jika dilihat dari jarak setengah kilo dari laut.
Kapal tidak bisa langsung mengeluarkan penumpang oleh karena gelombang cukup tinggi. Kami harus menunggu hampir satu jam, sebelum kemudian seorang petugas membuka pintu utama ruangan kapal yang menghubungkan penumpang ke dek tempat kendaraan berada.
![]() |
Dhiyaunnisa dengan latar Gunung Meja Pelabuhan Ippi Ende. Foto diambil di Pantai Bitta pada suatu sore / foto Sam |
Kami segera menuju ke sebuah penginapan di pinggir kota. Sebuah hotel kecil, Hotel Anggrek namanya. Tetapi di hotel ini Aku tidak melihat satu pun bunga anggrek.
Jarum jam sudah menunjuk pukul setengah dua belas tengah malam. Setelah membersihkan badan, kami pun tertidur pulas.
13 Juni
Pagi jam 7, ketika Aku membuka pintu kamar dan keluar ke halaman, petugas jaga hotel mengantarkan makanan; dua piring nasi kuning dan dua gelas teh hangat dengan gula yang dipisah.
Usai mandi dan sarapan seadanya, kami meninggalkan hotel dan menuju Maumere.
Jalur antara Ende - Maumere sepanjang 140-an kilometer ini terbilang riskan. Sangat beresiko. Banyak tikungan tajam, dan terdapat titik-titik longsoran di sepanjang jalan. Longsoran berasal dari tanah tebing di sisi jalan.
Di jalur ini, banyak terdapat mata air yang menyembur begitu saja dari perut tebing di pinggir jalan. Airnya sangat jernih dan dingin.
Di sebuah desa, Lise Pu'u namanya, kami terhenti oleh kendaraan yang diam, karena ada alat berat ekskavator yang sedang menyingkirkan material longsor di jalan raya.
![]() |
Berhenti selama setengah jam di Desa Lise Pu'u, Kecamatan Wolowaru, Ende / foto Sam |
Cuaca yang mendung dan rintik-rintik, ditambah banyaknya titik longsor sepanjang jalan, membuat nyali kami sedikit ciut. Saat sedang menunggu proses pembersihan jalan di Desa Lise Pu'u, isteriku sempat menyarankan agar sebaiknya kami putar arah dan kembali ke Ende saja. Tetapi, ini sudah 57 kilometer kita tempuh. Mustahil rasanya mau balik lagi ke Ende.
Setengah jam lamanya kami menunggu. Cukup lama dan mendebarkan, karena di sisi jalan sebelah kanan kami terdapat jurang tebing yang dalam sekali.
Lepas dari kemacetan itu, kami melanjutkan perjalanan, dan berhenti di sebuah pusat perdagangan sayur dan buah-buahan di tepi jalan. Macam-macam buah dan sayur dijual, jeruk, strawberi, sayur pokcai, kentang, wortel, kol, jenis-jenis sayur di dataran tinggi.
Ada juga jahe yang dalam bahasa setempat disebut "Aliya". Jahenya jahe lokal, bagus dan segar. Aku beli lima ribu perak dan dapat banyak. Minum jahe keprok sudah jadi kebiasaanku, terutama jika sedang dalam perjalanan jauh. Biasanya, Aku merebus jahe ini di hotel dengan heater air.
Camilan lainnya adalah kacang tanah yang disangrai. Wah, ini camilan kegemaranku. Rasanya beda dengan kacang cap dua kelinci yang dijual di toko-toko dan sudah dicampur dengan penyedap rasa. Aku sangat suka makan kacang sangrai lokal ini. Yasi dan Nisa juga menggemarinya. Enak dan tak berminyak.
Jam 13.30 siang, kami tiba di Kota Maumere. Segera kami mencari tempat makan siang yang representatif. Maksudku, tempat makan yang bisa sekalian jadi tempat sholat.
Kami menemukan Warung Suroboyo yang ramai pengunjung, di tepi jalan kota. Di situlah kami mampir siang itu. Hari ini kebetulan hari Jum'at. Beberapa pengunjung warung ini terlihat mengenakan kupiah seusai sholat Jum'at.
Menu makan di Warung Suroboyo ini standar saja. Sama seperti menu lalapan tenda warung Lamongan. Kami sudah kadung kecanduan makan lalapan tenda sejak masih tinggal di Yogya dahulu kala.
Di meja makan di warung ini, kami membicarakan rencana apakah akan menginap semalam dulu di Maumere dan esok pagi berangkat ke Larantuka? Ataukah melanjutkan perjalanan siang itu juga ke Larantuka.
Waktu tempuh ke Larantuka dari Maumere sekitar tiga jam dua puluh menit dengan jarak 140-an kilometer. Tak lama setelah mempertimbangkan jarak dan masa tempuh perjalanan, akhirnya kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Larantuka siang itu juga.
Karena merasa mengantuk, Aku serahkan kemudi ke isteriku. Giliran dia yang nyetir dari Maumere hingga di lereng dekat Lewotobi. Selebihnya, Aku mengmbil alih kemudi dari Lewotobi ke Larantuka.
Medan perjalanan antara Ende-Maumere dan Maumere-Larantuka hampir serupa. Dengan pengecualian di jalur Maumere-Larantuka lebih sedikit tikungan tajam, dan titik longsor tidak sebanyak di jalur Ende-Maumere.
Jalur perjalanan lebih banyak didominasi jalanan pebukitan dan tebing.
Pemandangan unik dari sudut pandang kacamata kami adalah seringnya kami melihat warga setempat yang masih berjalan kaki; orang ke ladang, ke sawah, atau anak-anak yang bergerombol ke sekolah. Lebih banyak yang jalan kaki ketimbang naik sepeda motor seperti di Bali.
![]() |
Siswa sekolah di pedalaman Ende, berjalan kaki dari rumah ke sekolah/ foto Ida R |
Kerap kami jumpai di sepanjang jalan dari Ende hingga Larantuka, seorang atau beberapa orang pria berjalan kaki dengan sebilah parang panjang di tangan mereka. Tentu mereka bukan rampok. Mereka adalah warga setempat yang hendak ke ladang ataupun ke sawah.
Aku tertarik dengan parang panjang yang ditenteng para peladang di Flores ini. Menyerupai pedang yang dipegang oleh Pattimura dalam gambar uang seribu rupiah.
Pemandangan unik lagi adalah banyaknya terdapat kuburan kristen di depan atau di sekitar halaman rumah warga. Kuburan itu adalah kubur para leluhur mereka.
Bumi sudah berubah gelap, menjelang kami tiba di Kota Larantuka. Setelah melewati patung Bunda Maria di simpang jalan masuk menuju kota, kami segera mencari tempat sholat, sebuah masjid, di jantung kota bernama Masjid As-Shamad Postoh.
Ada tiga bangunan masjid besar yang terlihat dari jalan di Kota Larantuka; Masjid As-Shamad, Masjid Mujahidin dan Masjid Al-Amin. Ketiganya berada di sisi jalan kota dalam jarak yang lumayan berjauhan antara tiga - lima kilometer.
Di Flores dari Ende hingga Larantuka, lebih sering Aku jumpai gereja. Sebab, penduduk pulau ini mayoritas beragama kristen. Konon, sejarah kristenisasi bermula dari wilayah timur nusantara, sejak masa Portugis. Kalau mau tau sejarahnya lebih lengkap, Aku sarankan untuk baca buku Karel Steenbrink berjudul "Orang-orang Katolik di Indonesia".
Sementara masjid-masjid yang ada di pusat kota di tepi pantai ini, kemungkinan dibangun oleh para pelaut, orang-orang Bugis yang menetap lama dan berkembang biak di pinggir pantai sepanjang Larantuka.
Sangat menarik ya, jika ada sebuah penelitian yang meneliti sejarah genealogi lahirnya kota-kota di tepi pantai dalam kaitannya dengan kehadiran orang-orang laut; entitas Bugis atau Melayu.
--
Kami menginap di sebuah penginapan, jauh di utara yang letaknya agak renggang dari pusat keramaian Larantuka. Asa Hotel namanya. Pagar batas sebelah timur hotel berbatasan dengan pantai berpasir putih dengan ombak yang tenang.
Pemilik hotel ini orang Jakarta, bekas kontraktor. Pegawai dan staf-nya orang lokal. Sementara orang yang ditugasi sebagai pengawas sekaligus tehnisi adalah seorang pria kira-kira berusia 50 tahun, berasal dari Gunung Kidul Yogya.
Menurut cerita si bapak dari Yogya, dia dan bos-nya si pemilik hotel, mulai tinggal di Larantuka sejak tahun 2006. "Tempat ini sangat sepi waktu saya pertama pindah ke sini..." terangnya.
![]() |
Saya di Pantai Larantuka / foto Ida R |
![]() |
Mi Amor, sedang duduk pada suatu pagi di tepi Pantai Larantuka, dengan pemandangan matahari terbit dan Pulau Adonara di timur / foto Sam |
Secara keseluruhan, Larantuka bukan sebuah wilayah yang menjadi objek wisata yang ramai, jika dibandingkan dengan Labuan Bajo di Manggarai Barat. Kendati demikian, justeru di tempat seperti inilah Aku menemukan kepuasan batin berwisata.
Aku sendiri penyuka tempat-tempat yang tidak terlalu ramai. Kota-kota kecil dengan irama kehidupan yang apa adanya. Seperti di Larantuka.
Jika kita ke jantung kotanya, akan kita saksikan suatu denyut kehidupan manusianya yang berderap, bergairah. Jauh dari kesan norak, seperti kota-kota yang dengan sengaja dipoles sedemikian rupa agar menjadi destinasi wisata.
Tidaklah sulit untuk mendeskripsikan denyut kehidupan di Larantuka. Jalan rayanya tidak pernah sepi dari jam 6 pagi hingga jam 10 malam. Pasar umumnya yang terletak di tepi jalan raya, selalu ramai pedagang dan pembeli. Angkot hilir mudik menawarkan jasa tumpangan.
Dan satu lagi, di sepanjang jalan kota ini, terdapat warung-warung kecil yang menjual aneka macam makanan; kue, ataupun lauk pauk yang sudah siap santap.
Malam ketika kami tiba, kami berhenti di sebuah titik jalan, dimana terdapat pedagang lauk pauk siap santap dengan pilihan yang beragam; ikan laut kuah kari, telor, ayam, oseng tempe, tahu santan, sayur bening, oseng kentang, oseng daun pepaya, santan daun singkong dan urapan.
Luar biasa, pilihannya banyak. Aku sangat suka dengan makanan berbasis sayur-sayuran, terutama sayur oseng daun pepaya. Sepertinya, oseng daun pepaya ini merupakan masakan yang sangat umum di Larantuka.
Tiba di hotel, setelah memasukkan barang-barang ke kamar, kami berhimpun di sebuah gazebo di depan kamar hotel, menyantap hidangan yang kami beli di tepi jalan kota tadi.
![]() |
Seorang pedagang warung nasi rumahan aneka lauk pauk siap santap di tepi jalan raya utama Kota Larantuka / foto Sam |
14 Juni
Aku terbangun pada jam 5 pagi. Pada malamnya, Aku tertidur agak terlambat, jam 1 malam.
Pada jam 3 dinihari, isteriku mendapat kabar dari kampung, seorang sopir rekan kerja kami, Bang Jaimin, tutup usia. Agak terkejut juga mendengar kabar ini. Sebab, Bang Jai baru genap tujuh bulan bekerja bersama kami.
Pagi hari itu, ketika matahari mengintip di balik ujung utara pulau Adonara, kami duduk-duduk di pasir pantai sebelum jam sarapan.
Semula, kami berencana akan menginap semalam saja di Larantuka dan hari Sabtu siang nanti akan kembali ke Maumere. Tetapi, rencana berubah. Kami akan menginap satu malam lagi.
Beberapa rencana perjalanan panjang yang sudah kami rencanakan dengan matang, juga sudah kami robah. Semula kami berencana hanya menginap semalam saja di Larantuka. Sekembali dari Larantuka, kami akan menginap semalam di Maumere. Kemudian esoknya ke Ende dan menginap semalam. Dari Ende kami akan menuju Bajawa dan bermalam di Aemere. Lalu menuju Ruteng dan menginap. Dari Ruteng menuju Labuan Bajo dan menginap- kemudian menyebrang ke Sape Bima. Menginap semalam di Bima dan menuju Sumbawa. Bermalam di Sumbawa Besar dan esoknya menyeberang ke Lombok.
Setelah kami pelajari ulang itinerary yang kami buat, tampaknya perjalanan ini akan terlalu banyak memakan waktu, dan sudah pasti biaya yang tidak sedikit.
Alhasil, kami memotong rencana perjalanan panjang itu dengan memilih jalur laut: Naik kapal Dharma Rucitra VIII yang akan sandar di Ende dalam waktu dekat. Awalnya, kami mencari jadwal kapal DLU yang berlayar dari Ende dan sandar di Gili Mas Lembar sebelum ke Surabaya. Tetapi nihil. Dalam minggu itu, tidak ada jadwal DLU yang singgah di Gili Mas Lombok.
Kapal Dharma Rucitra VIII yang akan sandar di Ende hari Selasa tanggal 17 Juni, tidak ada jadwal singgah di Gili Mas Lombok. Dari Ende, hanya singgah di Labuan Bajo, lalu langsung ke Surabaya sebagai tujuan terakhir.
Kami dihadapkan pada pilihan yang sama-sama sulit. Melanjutkan perjalanan dengan mengikuti rencana semula, akan banyak menyita waktu. Demikian pula, naik kapal ke Surabaya juga menyita waktu.
We have no choice.... Akhirnya, pilihan kedua yang kami pilih. Naik kapal Dharma Rucitra VIII dari Ende ke Surabaya. This is also crazy choice... Tapi setidaknya lebih menghemat tenaga, dengan konsekwensi, kami tidak bisa bersua dengan ortu dan keluarga di Lombok. Sungguh, Aku merasa sedih karena pilihan ini...
__
Pada jam 10 pagi, kami meninggalkan penginapan dan menuju ke titik nol kilometer Pulau Flores yang terletak masih cukup jauh ke utara dari tempat kami menginap. Waktu tempuh perjalanannya kira-kira satu setengah jam.
Kami melewati sebuah bandara penerbangan. Bandar Udara Gewayantana namanya. Mungkin hanya menyediakan pesawat dengan tujuan penerbangan lokal seperti ke Labuan Bajo atau ke Kupang. Jika hendak ke Jakarta atau Denpasar, harus transit dulu ke Kupang. Semula, Aku tidak mengira jika di Larantuka ini ada bandara.
Setelah setengah jam perjalanan, atau sekira lima belas kilometer perjalanan, kami menemukan kondisi jalan raya yang tidak memadai; rusak dan hancur. Lebih enak jika ditempuh dengan sepeda motor. Walhasil, kami putar arah dan kembali. Batal ke titik nol kilometer.
Di sebuah kafe pinggir pantai Weri, kami berhenti. Pemilik kafe warga lokal. Orang Bugis sepertinya. Tempat ini sangat asyik. Sepi. Pantainya bersih dan berpasir putih. Ombaknya tenang. Terdapat gazebo beratap alang di tepi pantai. Kami duduk di salah satu gazebo, memesan tiga buah kelapa muda dan kentang goreng. Harga satu biji kelapa muda di sini terbilang standar harga tempat wisata. Rp. 15.000 per biji. Kelapa mudanya segar dan sepertinya baru habis dipetik dari pohonnya.
Lepas dari kafe Weri, kami mendekat ke kota. Singgah di pasar tradisional, membeli makanan khas setempat; jagung pipih yang rasanya hambar, karena menurut si penjual: " kakak.. ini rasanya hambar, tidak pake garam kakak, juga tidak pake penyedap. Alami kakak..." kata penjual jagung pipih di Pasar Larantuka.
Aku juga singgah di sebuah los di pasar itu yang menjual kain tradisional. Penjualnya seorang mama dari Pulau Adonara. "Ini kain khas Adonara, kakak... mama bawa dari Adonara..."
Aku membeli sebuah dengan harga Rp. 220.000. Kain tenun dengan warna benang kuning hitam. Panjang kain 170 cm dan lebar 50 cm. Buat kenang-kenangan saja.
Jarak antara Kota Larantuka ke Pulau Adonara di timurnya tidaklah jauh. Hanya 700 meter dan bisa diseberangi dengan perahu. Konon, selat kecil, Selat Gonzalo namanya, yang memisahkan Pulau Adonara dari Pulau Flores, terbilang berarus deras. Setiap hari, mama penjual kain ini pergi-pulang dengan menumpang jasa perahu. "Turun dari perahu, naik oto dua kali, baru sampai di rumah di Adonara timur," jelasnya.
![]() |
Seorang pedagang kain tradisional di Pasar Larantuka/ foto Sam |
Sabtu sore, menjelang senja, Aku keluar sendiri dari penginapan. Naik angkot ke kota. Tidak butuh waktu lama untuk menunggu angkot, karena setiap dua atau tiga menit ada angkot yang beredar di jalanan Larantuka. Tujuanku adalah membeli lauk pauk siap santap. Maklum, hotel hanya menyiapkan free sarapan pagi. Tidak untuk makan siang dan malam.
Aku naik sebuah angkot yang disopiri seorang pemuda dengan seorang pemudi berkerudung di sebelahnya, entah pacarnya atau isterinya. Di dalam angkot itu terdengar bising oleh bunyi sound system yang mendebam. Angkot dengan perlengkapan sound system yang mendentam-dentam ini, umum kita jumpai baik di Larantuka maupun di Ende.
Angkot itu berjalan lamban sekali. Aku adalah satu-satunya penumpang di sore itu. Sopir muda dengan seorang wanita berjilbab di sebelahnya, entah pacar atau isterinya, asyik mengobrol dalam bahasa setempat. Aku tidak paham apa yang mereka bicarakan.
Di jalur utama yang memanjang dari utara ke selatan, terdapat banyak kantor-kantor pemerintahan, selain toko-toko dan warung-warung. Kantor bupati Flores Timur juga terdapat di ruas jalan ini.
Larantuka bukan kota yang ramai, tetapi juga tidak terlalu sepi.
Sesampai di tujuan, Aku membayar angkot Rp. 10.000 sekali jalan. Di Ende ongkos angkot cuma Rp. 5000 dengan jarak jauh atau dekat.
Turun dari angkot, Aku menuju sebuah warung di tepi jalan yang menjual aneka makanan lauk pauk yang segar. Pas buat menu makan malam.
Matahari sudah terbanam. Azan maghrib. Aku kembali ke penginapan, dengan menumpang sebuah angkot yang disopiri seorang pemuda lokal dengan seorang teman lelaki di sampingnya.
Sama seperti angkot yang kutumpangi sebelumnya, angkot berjalan lamban. Sopir dan temannya asyik ngobrol dalam bahasa setempat. Tapi, di angkot ini tidak terdengar musik yang mendebam. Mungkin karena sudah malam. Sebelum turun, Aku sodorkan uang sepuluh ribu. Aku adalah satu-satunya penumpang angkot ini, dari naik hingga sampai di tujuan.
Pekerjaan sebagai sopir angkot dalam kota seperti di Larantuka, barangkali hanya dijalani sebagai pekerjaan sekaligus hiburan. Para sopir angkot kecil itu sudah tidak mungkin mengharapkan hasil berlebih dari sekedar menjalankan kendaraan berkeliling kota.
Masa kejayaan angkot sudah berlalu, seiring makin banjirnya pengguna sepeda motor atau mobil pribadi. Di beberapa kota, angkot sudah kian jarang. Keberadaan angkot di sebuah kota besar atau kota kecil jadi tampak seperti barang antik.
15 Juni
Pagi menjelang subuh, Aku terbangun. Aku keluar dari hotel dan berjalan kaki menuju sebuah masjid, Masjid Al-Amin Larantuka, yang letaknya di pinggir jalan raya, hanya tiga ratus meter ke selatan dari tempatku menginap.
Aku keluar dari masjid ketika matahari sudah muncul. Jalanan masih lengang. Ini hari Minggu. Ada segerombolan anak-anak bersepeda pancal. Murid-murid susteran juga para suster dengan seragam berjalan kaki menuju gereja.
Sambil berjalan kaki pulang ke penginapan, Aku mengambil beberapa objek foto dengan kamera handphone di tangan. Aktivitas pagi Minggu di kota kecil Larantuka.
Di penginapan, kami mendekat ke tepi pantai. Mandi cahaya matahari pagi yang menyegarkan. Ini pagi terakhir kami di tempat ini. Jam sepuluh nanti kami akan check out dan meninggalkan penginapan menuju Maumere, sesuai rencana yang kami buat malam sebelumnya.
Kami meninggalkan penginapan jam 9 pagi setelah sarapan yang menyenangkan.
Menjelang keluar dari kota, di gerbang Reinha Rosari, kami sempat foto-foto.
Jam 1 siang, kami tiba di Maumere. Singgah sholat di sebuah masjid, Masjid Darussalam, yang sedang direnovasi. Selepas itu, kami makan siang di sebuah warung sederhana tak jauh dari masjid, Warung Rejeki Fitri. Di sini, beberapa warung nasi campur menyediakan semangkuk kuah soto secara terpisah yang dihidangkan secara bersamaan dengan sepiring nasi campur.
Di Maumere, kami menginap di Go Hotel, di tengah kota. Hotel bagus tetapi dengan konsep kondominium yang tertutup. Jenis penginapan yang kurang aku sukai. Aku lebih suka penginapan yang begitu kita buka pintu kamar, yang terlihat langsung halaman.
Kami tak akan lama di sini. Hanya singgah untuk istirahat, tanpa kegiatan jalan-jalan, tanpa melihat lebih dekat wajah kotanya. Sebab, besok pagi-pagi, kami akan melanjutkan perjalanan ke Ende, melewati medan ekstrem yang kami lalui sebelumnya.
Beruntung bahwa sejak kami tiba di Maumere hari Minggu siang itu, cuaca cukup cerah. "Kemungkinan, esok pagi juga akan demikian keadaannya". Demikian kami berharap, agar perjalanan kami setidaknya lebih aman menuju Ende, dibandingkan jika cuaca mendung tebal dan apalagi disertai hujan, seperti saat perjalanan kami sebelumnya.
Semula, kami ingin mencoba satu jalur Maumere-Ende (jalan lintas trans utara Maurole) yang lebih landai, lebih jauh dan low risk, melalui pantai utara Maumere. Tetapi, konon jalur ini sudah rusak, terdampak abrasi di beberapa ruas bagian sisi pantai.
Malam itu, badanku terasa kurang fit. Ada gejala flu. Selapas makan malam di kamar hotel, Aku meminum air rebusan jahe plus sereh, serta menenggak satu pil paracetamol / grafadon buat melegakan rasa sakit di pangkal hidung.
Senin, 16 Juni
Pagi jam 08.10 kami meninggalkan penginapan setelah sarapan. Badanku terasa lebih fit dan siap menempuh 140-an kilometer lagi menuju Ende.
Kota Maumere masih belum begitu ramai. Toko-toko sepanjang jalan belum banyak yang buka.
Cuaca pagi itu cerah. Kami berharap semoga tidak hujan saat kami melintas untuk yang kedua kali di jalur ekstrem Maumere-Ende.
Sepanjang jalan, kami hanya sempatkan berhenti satu kali di pusat pedagang sayur dan buah yang pernah kami singgahi sebelumnya.
Jam 13.20 siang, kami tiba di Ende. Alangkah lega rasanya, setelah dengan selamat berhasil melintasi jalur ekstrem. Sebelum masuk kota, kami singgah makan siang di warung Banyuwangi, seberang Stadion Marilonga.
Sudah pernah kusinggung bahwa di wilayah timur Indonesia pun, warung-warung Jawa dan Padang adalah raja kuliner jalanan.
Tepat jam 2 siang, kami tiba di Hotel Anggrek, tempat kami menginap saat pertama kali tiba di Ende empat hari sebelumnya. Kepada petugas hotel, kami meminta kamar 105, kamar yang kami inapi. Kebetulan juga lagi kosong.
Kamar 105 di hotel ini cukup luas dan bersih. Kamar mandinya juga bagus. Sepertinya belum lama ini habis direnovasi.
Kami mengangkut serta sebagian barang ke kamar, termasuk kompor portable mini. Kompor ini kami fungsikan untuk bikin air panas, merebus jahe sereh, atau bikin kopi yang kami bawa dari rumah.
![]() |
Logistik selama perjalanan / foto Sam |
Jam lima, sore hari, kami keluar dari penginapan, untuk mencoba melihat Kota Ende lebih dekat.
Pertama dari melihat pantainya.
![]() |
Pasar Ende / foto Sam |
Oya, harga beras di Ende lebih murah dibandingkan dengan harga di Bali. Untuk sekelas beras super, harganya hanya Rp. 14.000 per kilogram. Di Bali, beras super seharga Rp. 17.ooo.
![]() |
Kami berfoto di depan rumah Pengasingan Bung Karno, Ende/ foto Petugas Jaga |
![]() |
Pantai Bitta / foto Sam |
Kita bisa melihat pelabuhan Ippi Ende dari pantai ini. Gunung meja yang menjulang. Ombak yang berkejaran. Orang-orang yang memancing ikan. Kapal-kapal bersandar di bahu dermaga.
![]() |
Penumpang menjenguk keluar jendela kapal, sambil ber-VC mengabarkan kerabatnya, beberapa saat menjelang tiba di Tanjung Perak Surabaya / foto Sam |
![]() |
Kami berfoto bersama seekor merpati putih di depan pintu Museum Nahdlatul Ulama, Surabaya / foto Sayasi Najida K |
to be continued..
Komentar