Langsung ke konten utama

Larantuka

Ada dua jalur yang akan ditempuh untuk sampai ke Ende. Pertama, dengan kapal laut yang bertolak dari Surabaya. Kedua, dengan kapal laut yang sama yang bertolak dari Lombok. Keduanya sama-sama pilihan yang ambigu. 

Setelah berdiskusi, akhirnya kami ambil opsi kedua; bertolak dari Gilimas Lombok. Itu artinya, kami harus menyeberang ke Lombok dulu dari Padangbay menuju Lembar.

Perjalanan dari rumah kami di Jembrana Bali, dimulai pada jam 2 siang, tanggal 10 Juni 2025, hari Selasa, bertepatan tanggal 14 Dzulhijjah 1446 tahun hijriyah. 

Kendaraan masih Toyota Rush Konde legendaris yang sudah hampir dua belas tahun menemani perjalanan kami. Segala sesuatu persiapan terkait kendaraan ini sudah Aku cukupi. Mulai dari servis berkala, penggantian oli mesin, ganti bearings (klaher) di bagian roda depan kiri, perbaikan seal rem yang rusak, hingga penggantian empat buah ban roda. Kali ini Aku coba pakai GT Savero untuk mengganti merk ban asli Dunlop. 

Harga GT Savero lebih murah 450.000, dari Dunlop dengan ukuran yang sama; 235/60 R16. 100H. Satu buah ban roda Dunlop harganya 1.400.000 terima pasang. Sementara GT Savero seharga 950.000 terima pasang. 

Inilah pergantian paling fundamental dari Rush Konde, selain radiatornya yang kuganti empat bulan silam, gara-gara retak. 

Untuk menempuh perjalanan di medan Flores yang terkenal ekstrem, tentu kami khawatir jika tidak melakukan penggantian ban roda. Sebab, roda Rush Konde yang terpakai selama ini, masih roda Dunlop yang sempat kuganti tahun 2018 silam. Kendati ban ini sudah berusia tujuh tahun, kondisinya masih oke, masih baik untuk digunakan di sekitaran rumah. Setahun lalu, di bulan yang sama, kami masih menempuh ratusan kilo dari Jembrana ke Labuan Bajo, dengan roda ban tua itu. 

Tiba di Padangbay pukul 21.30 malam, setelah sempat terjebak kemacetan selama dua jam di Selemadeg Tabanan, yang diakibatkan oleh entah apa. Dugaan kami, kemacetan itu diakibatkan oleh aktivitas ritual Purnama nyame Hindu. Maklum, hari Selasa masuk malam Rabu itu bertepatan dengan Purnama, bulan bundar sebundar piring. 

Di Padangbay kami tidak mengantre. Begitu tiba, melewati palang pintu pemeriksaan tiket, kendaraan langsung diarahkan untuk masuk ke lambung kapal. Kapalnya lumayan besar dan bagus, juga bersih. Nama kapalnya, KMP Parama Kalyani. 

11 Juni

Kapal Parama Kalyani sandar di Lembar jam 3 dinihari. Kami sempat berputar di sekitar Lembar untuk mencari homestay, tetapi nihil. Jam 3 itu terlalu sepi. Orang masih tertidur lelap. Kami putuskan untuk tidur saja di masjid. Masjid Al-Muqoddar, Serumbung Lembar. Di masjid inilah kami istirahat, sebelum nanti jam 10 pagi, kami berangkat ke Pelabuhan Gili Mas untuk naik kapal.       

Jam 10 pagi, usai sarapan dengan nasi bungkus seharga tujuh ribuan, kami berangkat ke Gili Mas. 

Gili Mas Lombok / foto Sam


Rupanya kapal Dharma Kartika V (lima) yang berangkat dari Surabaya dan akan menuju Ende Nusa Tenggara Timur, belum sandar di pelabuhan. Info dari layanan DLU Lembar menjelaskan, kapal akan sandar jam 1 siang. 

Kami pun putar haluan, menjauh dari pelabuhan, mencari tempat nongkrong di sebuah warung tepi pantai, sambil menikmati kelapa muda dan pecel lontong khas Lombok dengan tahunya yang gurih. 

Jam 1 siang, kapal Dharma Kartika V sandar. Baru pada jam 2 lebih, kami bisa masuk ke kapal, setelah melewati proses antrean verifikasi tiket yang lumayan rumit. 

Kamar yang kami booking adalah ruang kelas II yang dilengkapi empat buah ranjang tidur susun, sebuah meja panjang, dengan lemari mini berisi life jacket, dan sebuah televisi. Tidak ada kamar mandi di dalam ruang. Jadi kami harus pergi ke tempat kamar mandi umum yang ramai.  

Kapal bergerak meninggalkan pelabuhan Gilimas Lombok pada jam 5 sore, saat matahari kian condong ke barat. Dari tengah lautan, bentang pantai Pulau Lombok di saat senja, tampak sangat anggun dan cantik. 

Perlahan, kapal mulai keluar dari ceruk laut teduh Lembar. Malam datang bersama bulan besar bundar bagai loyang perak yang menggantung di langit hitam. Segalanya tampak kian jauh. 

Untuk sampai ke Ende, butuh waktu 28 jam. Dua puluh jam kapal akan tiba di Pelabuhan Waingapu Sumba. Dari Sumba barulah kapal akan menempuh perjalanan 8 jam ke Ende. Terakhir kapal akan berlabuh di Kupang. 

Agak membosankan juga berada di tengah laut selama itu. Untuk melerai kebosanan, iseng-iseng Aku ambil seluruh koran cetak yang terpajang di dekat pintu masuk, depan counter respsionis, karena tidak ada seorang pun yang tertarik membaca koran. Ada lima jenis koran cetak: Surya, Lombok Post, Radar Surabaya, Memorandum dan Kompas.

Koran Cetak di Kapal Dhrma Kartika V / foto Sam

 

Hari gini masih baca koran cetak??? Terasa seperti kembali ke jaman batu. 



12 Juni 

Kapal merapat di Pelabuhan Waingapu Pulau Sumba pada jam 13.30 siang, setelah makan siang. 

Jadwal makan di kapal sebanyak tiga kali. Pagi, siang, malam. Menunya lumayan baik, dibandingkan dengan menu Makan Bergizi Gratis yang jadi program pemerintah saat ini. Menu MBG ini nyatanya tidak banyak diminati siswa sekolah di tempatku di Jembrana.  Lebih banyak yang dibuang ketimbang yang dimakan. Sep masaknya kurang bisa memahami selera makan anak-anak. 

Dua jam lamanya kapal berdiam di pelabuhan Waingapu untuk menurun dan menaikkan penumpang. Setelah itu, kapal kembali melaju. 

Bulan-bulan ini, jumlah penumpang kapal laut lumayan melonjak, oleh adanya libur panjang sekolah. Banyak para orang tua yang mengajak anak-anak mereka untuk pulang kampung atau berlibur ke suatu tempat. Dalam perjalanan, Aku banyak menjumpai para traveler, baik yang bersepeda motor maupun yang bermobil atau yang menggunakan jasa bus wisata. 

Teknologi google map sangat memudahkan para traveler untuk melakukan perjalanan ekspedisi ke suatu tempat. Untuk menjangkau suatu titik lokasi, kita sudah tidak butuh banyak bertanya kepada warga setempat untuk sampai ke tujuan.  

Kami sendiri kerap melakukan perjalanan untuk berlibur di bulan Juni, Juli, Agustus. Karena bulan-bulan ini tergolong masa kemarau. Hujan jarang turun, kecuali jika sedang masuk musim kemarau basah seperti tahun ini. Sepanjang Juni hujan masih turun deras tahun ini.  

Di dalam perkiraan, kapal akan tiba delapan jam lagi, sejak beranjak dari Waingapu. 

Langit mulai gelap. Tak tampak apa pun di kejauhan saat kapal sudah benar-benar berada di pertengahan antara Pulau Sumba dan Flores dalam perjalanan dari Waingapu menuju Ende.  

Keramaian hanya terdengar di dalam kapal, oleh bunyi percakapan manusia dengan manusia lainnya. (Mana mungkin manusia bisa bercakap-cakap dengan ikan). Oleh bunyi televisi yang tidak ditonton orang. Dan sesekali terdengar speaker pengumuman nama seseorang dipanggil petugas dari ruang tunggu. Nama-nama mereka yang dipanggil khas nama- nama Timor; Viktor Ledeke, Ama Arumbae, Dhanil Dhakidae, Vincent Duan Alo, Kornelius Mere  dan seterusnya. Kemungkinan yang dipanggil itu sedang keluar entah kemana pergi di bagian sudut kapal yang luas dan dilengkapi banyak anak tangga dari satu ke lain lantai, dan banyak sekali pintu-pintu kamar penumpang.  

Aku tak sempat menghitung berapa jumlah tingkat lantai kapal Dharma Kartika V ini.

Pada jam 10 malam kira-kira, Ende sudah di depan mata. Itu tampak dari nyala lampu besar di kejauhan. Beberapa buah lampu putih dan kuning itu saja sumber penerangannya. Tidak gemerlap.  

Pelabuhan Ippi Ende masih menggigil seusai hujan deras dan gelombang yang lumayan tinggi, ketika kapal yang kami tumpangi mendekat ke mulutnya. 

Dengan latar belakang sebuah gunung yang menjulang, pada malam yang gelap itu, Pelabuhan Ende tampak menyeramkan jika dilihat dari jarak setengah kilo dari laut. 

Kapal tidak bisa langsung mengeluarkan penumpang oleh karena gelombang cukup tinggi.   Kami harus menunggu hampir satu jam, sebelum kemudian seorang petugas membuka pintu utama ruangan kapal yang menghubungkan penumpang ke dek tempat kendaraan berada. 


Dhiyaunnisa dengan latar Gunung Meja Pelabuhan Ippi Ende.
Foto diambil di Pantai Bitta pada suatu sore / foto Sam

Kami segera menuju ke sebuah penginapan di pinggir kota. Sebuah hotel kecil, Hotel Anggrek namanya. Tetapi di hotel ini Aku tidak melihat satu pun bunga anggrek.

Jarum jam sudah menunjuk pukul setengah dua belas tengah malam. Setelah membersihkan badan, kami pun tertidur pulas. 

13 Juni

Pagi jam 7, ketika Aku membuka pintu kamar dan keluar ke halaman, petugas jaga hotel mengantarkan makanan; dua piring nasi kuning dan dua gelas teh hangat dengan gula yang dipisah.

Usai mandi dan sarapan seadanya, kami meninggalkan hotel dan menuju Maumere. 

Jalur antara Ende - Maumere sepanjang 140-an kilometer ini terbilang riskan. Sangat beresiko. Banyak tikungan tajam, dan terdapat titik-titik longsoran di sepanjang jalan. Longsoran berasal dari tanah tebing di sisi jalan.  

Di jalur ini, banyak terdapat mata air yang menyembur begitu saja dari perut tebing di pinggir jalan. Airnya sangat jernih dan dingin.  



Di sebuah desa, Lise Pu'u namanya, kami terhenti oleh kendaraan yang diam, karena ada alat berat ekskavator yang sedang menyingkirkan material longsor di jalan raya. 


Berhenti selama setengah jam di Desa Lise Pu'u,
Kecamatan Wolowaru, Ende / foto Sam

  

Cuaca yang mendung dan rintik-rintik, ditambah banyaknya titik longsor sepanjang jalan, membuat nyali kami sedikit ciut. Saat sedang menunggu proses pembersihan jalan di Desa Lise Pu'u, isteriku sempat menyarankan agar sebaiknya kami putar arah dan kembali ke Ende saja. Tetapi, ini sudah 57 kilometer kita tempuh. Mustahil rasanya mau balik lagi ke Ende.  

Setengah jam lamanya kami menunggu. Cukup lama dan mendebarkan, karena di sisi jalan sebelah kanan kami terdapat jurang tebing yang dalam sekali. 




Lepas dari kemacetan itu, kami melanjutkan perjalanan, dan berhenti di sebuah pusat perdagangan sayur dan buah-buahan di tepi jalan. Macam-macam buah dan sayur dijual, jeruk, strawberi, sayur pokcai, kentang, wortel, kol, jenis-jenis sayur di dataran tinggi. 

Ada juga jahe yang dalam bahasa setempat disebut "Aliya". Jahenya jahe lokal, bagus dan segar. Aku beli lima ribu perak dan dapat banyak. Minum jahe keprok sudah jadi kebiasaanku, terutama jika sedang dalam perjalanan jauh. Biasanya, Aku merebus jahe ini di hotel dengan heater air.  

Camilan lainnya adalah kacang tanah yang disangrai. Wah, ini camilan kegemaranku. Rasanya beda dengan kacang cap dua kelinci yang dijual di toko-toko dan sudah dicampur dengan penyedap rasa. Aku sangat suka makan kacang sangrai lokal ini. Yasi dan Nisa juga menggemarinya. Enak dan tak berminyak. 

Jam 13.30 siang, kami tiba di Kota Maumere. Segera kami mencari tempat makan siang yang representatif. Maksudku, tempat makan yang bisa sekalian jadi tempat sholat.

Kami menemukan Warung Suroboyo yang ramai pengunjung, di tepi jalan kota. Di situlah kami mampir siang itu. Hari ini kebetulan hari Jum'at. Beberapa pengunjung warung ini terlihat mengenakan kupiah seusai sholat Jum'at. 

Menu makan di Warung Suroboyo ini standar saja. Sama seperti menu lalapan tenda warung Lamongan. Kami sudah kadung kecanduan makan lalapan tenda sejak masih tinggal di Yogya dahulu kala. 

Di meja makan di warung ini, kami membicarakan rencana apakah akan menginap semalam dulu di Maumere dan esok pagi berangkat ke Larantuka? Ataukah melanjutkan perjalanan siang itu juga ke Larantuka. 

Waktu tempuh ke Larantuka dari Maumere sekitar tiga jam dua puluh menit dengan jarak 140-an kilometer.  Tak lama setelah mempertimbangkan jarak dan masa tempuh perjalanan, akhirnya kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Larantuka siang itu juga. 

Karena merasa mengantuk, Aku serahkan kemudi ke isteriku. Giliran dia yang nyetir   dari Maumere hingga di lereng dekat Lewotobi. Selebihnya, Aku mengmbil alih kemudi dari Lewotobi ke Larantuka. 

Medan perjalanan antara Ende-Maumere dan Maumere-Larantuka hampir serupa. Dengan pengecualian di jalur Maumere-Larantuka lebih sedikit tikungan tajam, dan titik longsor tidak sebanyak di jalur Ende-Maumere. 

Jalur perjalanan lebih banyak didominasi jalanan pebukitan dan tebing. 

Pemandangan unik dari sudut pandang kacamata kami adalah seringnya kami melihat warga setempat yang masih berjalan kaki; orang ke ladang, ke sawah, atau anak-anak yang bergerombol ke sekolah. Lebih banyak yang jalan kaki ketimbang naik sepeda motor seperti di Bali.  

Siswa sekolah di pedalaman Ende,
berjalan kaki dari rumah ke sekolah/ foto Ida R


Kerap kami jumpai di sepanjang jalan dari Ende hingga Larantuka, seorang atau beberapa orang pria berjalan kaki dengan sebilah parang panjang di tangan mereka. Tentu mereka bukan rampok. Mereka adalah warga setempat yang hendak ke ladang ataupun ke sawah.  

Aku tertarik dengan parang panjang yang ditenteng para peladang di Flores ini. Menyerupai pedang yang dipegang oleh Pattimura dalam gambar uang seribu rupiah.

Pemandangan unik lagi adalah banyaknya terdapat kuburan kristen di depan atau di sekitar halaman rumah warga. Kuburan itu adalah kubur para leluhur mereka.

Bumi sudah berubah gelap, menjelang kami tiba di Kota Larantuka. Setelah melewati patung Bunda Maria di simpang jalan masuk menuju kota, kami segera mencari tempat sholat, sebuah masjid, di jantung kota bernama Masjid As-Shamad Postoh. 

Ada tiga bangunan masjid besar yang terlihat dari jalan di Kota Larantuka; Masjid As-Shamad, Masjid Mujahidin dan Masjid Al-Amin. Ketiganya berada di sisi jalan kota dalam jarak yang lumayan berjauhan antara tiga - lima kilometer. 

Di Flores dari Ende hingga Larantuka, lebih sering Aku jumpai gereja. Sebab, penduduk pulau ini mayoritas beragama kristen. Konon, sejarah kristenisasi bermula dari wilayah timur nusantara, sejak masa Portugis. Kalau mau tau sejarahnya lebih lengkap, Aku sarankan untuk baca buku Karel Steenbrink berjudul "Orang-orang Katolik di Indonesia".  

Sementara masjid-masjid yang ada di pusat kota di tepi pantai ini, kemungkinan dibangun oleh para pelaut, orang-orang Bugis yang menetap lama dan berkembang biak di pinggir pantai sepanjang Larantuka. 

Sangat menarik ya, jika ada sebuah penelitian yang meneliti sejarah genealogi lahirnya kota-kota di tepi pantai dalam kaitannya dengan kehadiran orang-orang laut; entitas Bugis atau Melayu.

--

Kami menginap di sebuah penginapan, jauh di utara yang letaknya agak renggang dari pusat keramaian Larantuka.  Asa Hotel namanya. Pagar batas sebelah timur hotel berbatasan dengan pantai berpasir putih dengan ombak yang tenang.

Pemilik hotel ini orang Jakarta, bekas kontraktor. Pegawai dan staf-nya orang lokal. Sementara orang yang ditugasi sebagai pengawas sekaligus tehnisi adalah seorang pria kira-kira berusia 50 tahun, berasal dari Gunung Kidul Yogya. 

Menurut cerita si bapak dari Yogya, dia dan bos-nya si pemilik hotel, mulai tinggal di Larantuka sejak tahun 2006. "Tempat ini sangat sepi waktu saya pertama pindah ke sini..." terangnya.


Saya di Pantai Larantuka / foto Ida R



Mi Amor, sedang duduk pada suatu pagi di tepi Pantai Larantuka,
dengan pemandangan matahari terbit dan Pulau Adonara di timur / foto Sam

Secara keseluruhan, Larantuka bukan sebuah wilayah yang menjadi objek wisata yang ramai, jika dibandingkan dengan Labuan Bajo di Manggarai Barat. Kendati demikian, justeru di tempat seperti inilah Aku menemukan kepuasan batin berwisata. 

Aku sendiri penyuka tempat-tempat yang tidak terlalu ramai. Kota-kota kecil dengan irama kehidupan yang apa adanya. Seperti di Larantuka. 

Jika kita ke jantung kotanya, akan kita saksikan suatu denyut kehidupan manusianya yang berderap, bergairah. Jauh dari kesan norak, seperti kota-kota yang dengan sengaja dipoles sedemikian rupa agar menjadi destinasi wisata.   

Tidaklah sulit untuk mendeskripsikan denyut kehidupan di Larantuka. Jalan rayanya tidak pernah sepi dari jam 6 pagi hingga jam 10 malam. Pasar umumnya yang terletak di tepi jalan raya, selalu ramai pedagang dan pembeli. Angkot hilir mudik menawarkan jasa tumpangan. 

Dan satu lagi, di sepanjang jalan kota ini, terdapat warung-warung kecil yang menjual aneka macam makanan; kue, ataupun lauk pauk yang sudah siap santap.

Malam ketika kami tiba, kami berhenti di sebuah titik jalan, dimana terdapat pedagang lauk pauk siap santap dengan pilihan yang beragam; ikan laut kuah kari, telor, ayam, oseng tempe, tahu santan, sayur bening, oseng kentang, oseng daun pepaya, santan daun singkong dan urapan. 

Luar biasa, pilihannya banyak. Aku sangat suka dengan makanan berbasis sayur-sayuran, terutama sayur oseng daun pepaya. Sepertinya, oseng daun pepaya ini merupakan masakan yang sangat umum di Larantuka.     

Tiba di hotel, setelah memasukkan barang-barang ke kamar, kami berhimpun di sebuah gazebo di depan kamar hotel, menyantap hidangan yang kami beli di tepi jalan kota tadi.

Seorang pedagang warung nasi rumahan aneka lauk pauk siap santap
di tepi jalan raya utama Kota Larantuka / foto Sam


14 Juni

Aku terbangun pada jam 5 pagi. Pada malamnya, Aku tertidur agak terlambat, jam 1 malam. 

Pada jam 3 dinihari, isteriku mendapat kabar dari kampung, seorang sopir rekan kerja kami, Bang Jaimin, tutup usia. Agak terkejut juga mendengar kabar ini. Sebab, Bang Jai baru genap tujuh bulan bekerja bersama kami. 

Pagi hari itu, ketika matahari mengintip di balik ujung utara pulau Adonara, kami duduk-duduk di pasir pantai sebelum jam sarapan.  

Semula, kami berencana akan menginap semalam saja di Larantuka dan hari Sabtu siang nanti akan kembali ke Maumere. Tetapi, rencana berubah. Kami akan menginap satu malam lagi. 

Beberapa rencana perjalanan panjang yang sudah kami rencanakan dengan matang, juga sudah kami robah. Semula kami berencana hanya menginap semalam saja di Larantuka. Sekembali dari Larantuka, kami akan menginap semalam di Maumere. Kemudian esoknya ke Ende dan menginap semalam. Dari Ende kami akan menuju Bajawa dan bermalam di Aemere. Lalu menuju Ruteng dan menginap. Dari Ruteng menuju Labuan Bajo dan menginap- kemudian menyebrang ke Sape Bima. Menginap semalam di Bima dan menuju Sumbawa. Bermalam di Sumbawa Besar dan esoknya menyeberang ke Lombok. 

Setelah kami pelajari ulang itinerary yang kami buat, tampaknya perjalanan ini akan terlalu banyak memakan waktu, dan sudah pasti biaya yang tidak sedikit. 

Alhasil, kami memotong rencana perjalanan panjang itu dengan memilih jalur laut: Naik kapal Dharma Rucitra VIII yang akan sandar di Ende dalam waktu dekat. Awalnya, kami mencari jadwal kapal DLU yang berlayar dari Ende dan sandar di Gili Mas Lembar sebelum ke Surabaya. Tetapi nihil. Dalam minggu itu, tidak ada jadwal DLU yang singgah di Gili Mas Lombok. 

Kapal Dharma Rucitra VIII yang akan sandar di Ende hari Selasa tanggal 17 Juni, tidak ada jadwal singgah di Gili Mas Lombok. Dari Ende, hanya singgah di Labuan Bajo, lalu langsung ke Surabaya sebagai tujuan terakhir. 

Kami dihadapkan pada pilihan yang sama-sama sulit. Melanjutkan perjalanan dengan mengikuti rencana semula, akan banyak menyita waktu. Demikian pula, naik kapal ke Surabaya juga menyita waktu.    

We have no choice.... Akhirnya, pilihan kedua yang kami pilih. Naik kapal Dharma Rucitra VIII dari Ende ke Surabaya. This is also crazy choice... Tapi setidaknya lebih menghemat tenaga, dengan konsekwensi, kami tidak bisa bersua dengan ortu dan keluarga di Lombok. Sungguh, Aku merasa sedih karena pilihan ini...

__

Pada jam 10 pagi, kami meninggalkan penginapan dan menuju ke titik nol kilometer Pulau Flores yang terletak masih cukup jauh ke utara dari tempat kami menginap. Waktu tempuh perjalanannya kira-kira satu setengah jam.   

Kami melewati sebuah bandara penerbangan. Bandar Udara Gewayantana namanya. Mungkin hanya menyediakan pesawat dengan tujuan penerbangan lokal seperti ke Labuan Bajo atau ke Kupang. Jika hendak ke Jakarta atau Denpasar, harus transit dulu ke Kupang. Semula, Aku tidak mengira jika di Larantuka ini ada bandara.   

Setelah setengah jam perjalanan, atau sekira lima belas kilometer perjalanan, kami menemukan kondisi jalan raya yang tidak memadai; rusak dan hancur. Lebih enak jika ditempuh dengan sepeda motor. Walhasil, kami putar arah dan kembali. Batal ke titik nol kilometer. 

Di sebuah kafe pinggir pantai Weri, kami berhenti.  Pemilik kafe warga lokal. Orang Bugis sepertinya. Tempat ini sangat asyik. Sepi. Pantainya bersih dan berpasir putih. Ombaknya tenang. Terdapat gazebo beratap alang di tepi pantai. Kami duduk di salah satu gazebo, memesan tiga buah kelapa muda dan kentang goreng. Harga satu biji kelapa muda di sini terbilang standar harga tempat wisata. Rp. 15.000 per biji. Kelapa mudanya segar dan sepertinya baru habis dipetik dari pohonnya.  

Lepas dari kafe Weri, kami mendekat ke kota. Singgah di pasar tradisional, membeli makanan khas setempat; jagung pipih yang rasanya hambar, karena menurut si penjual: " kakak.. ini rasanya hambar, tidak pake garam kakak, juga tidak pake penyedap. Alami kakak..." kata penjual jagung pipih di Pasar Larantuka.  

Aku juga singgah di sebuah los di pasar itu yang menjual kain tradisional. Penjualnya seorang mama dari Pulau Adonara. "Ini kain khas Adonara, kakak... mama bawa dari Adonara..." 

Aku membeli sebuah dengan harga Rp. 220.000. Kain tenun dengan warna benang kuning hitam. Panjang kain 170 cm dan lebar 50 cm. Buat kenang-kenangan saja. 

Jarak antara Kota Larantuka ke Pulau Adonara di timurnya tidaklah jauh. Hanya 700 meter dan bisa diseberangi dengan perahu. Konon, selat kecil, Selat Gonzalo namanya, yang memisahkan Pulau Adonara dari Pulau Flores, terbilang berarus deras. Setiap hari, mama penjual kain ini pergi-pulang dengan menumpang jasa perahu. "Turun dari perahu, naik oto dua kali, baru sampai di rumah di Adonara timur," jelasnya. 


Seorang pedagang kain tradisional di Pasar Larantuka/ foto Sam

Sabtu sore, menjelang senja, Aku keluar sendiri dari penginapan. Naik angkot ke kota. Tidak butuh waktu lama untuk menunggu angkot, karena setiap dua atau tiga menit ada angkot yang beredar di jalanan Larantuka. Tujuanku adalah membeli lauk pauk siap santap. Maklum, hotel hanya menyiapkan free sarapan pagi. Tidak untuk makan siang dan malam.  

Aku naik sebuah angkot yang disopiri seorang pemuda dengan seorang pemudi berkerudung di sebelahnya, entah pacarnya atau isterinya. Di dalam angkot itu terdengar bising oleh bunyi sound system yang mendebam. Angkot dengan perlengkapan sound system yang mendentam-dentam ini, umum kita jumpai baik di Larantuka maupun di Ende.   

Angkot itu berjalan lamban sekali. Aku adalah satu-satunya penumpang di sore itu. Sopir muda dengan seorang wanita berjilbab di sebelahnya, entah pacar atau isterinya, asyik mengobrol dalam bahasa setempat. Aku tidak paham apa yang mereka bicarakan. 

Di jalur utama yang memanjang dari utara ke selatan, terdapat banyak kantor-kantor pemerintahan, selain toko-toko dan warung-warung. Kantor bupati Flores Timur juga terdapat di ruas jalan ini. 

Larantuka bukan kota yang ramai, tetapi juga tidak terlalu sepi. 

Sesampai di tujuan, Aku membayar angkot Rp. 10.000 sekali jalan. Di Ende ongkos angkot cuma Rp. 5000 dengan jarak jauh atau dekat. 

Turun dari angkot, Aku menuju sebuah warung di tepi jalan yang menjual aneka makanan lauk pauk yang segar. Pas buat menu makan malam. 

Matahari sudah terbanam. Azan maghrib. Aku kembali ke penginapan, dengan menumpang sebuah angkot yang disopiri seorang pemuda lokal dengan seorang teman lelaki di sampingnya. 

Sama seperti angkot yang kutumpangi sebelumnya, angkot berjalan lamban. Sopir dan temannya asyik ngobrol dalam bahasa setempat. Tapi, di angkot ini tidak terdengar musik yang mendebam. Mungkin karena sudah malam. Sebelum turun, Aku sodorkan uang sepuluh ribu. Aku adalah satu-satunya penumpang angkot ini, dari naik hingga sampai di tujuan.

Pekerjaan sebagai sopir angkot dalam kota seperti di Larantuka, barangkali hanya dijalani sebagai pekerjaan sekaligus hiburan. Para sopir angkot kecil itu sudah tidak mungkin mengharapkan hasil berlebih dari sekedar menjalankan kendaraan berkeliling kota. 

Masa kejayaan angkot sudah berlalu, seiring makin banjirnya pengguna sepeda motor atau mobil pribadi. Di beberapa kota, angkot sudah kian jarang. Keberadaan angkot di sebuah kota besar atau kota kecil jadi tampak seperti barang antik.     

15 Juni

Pagi menjelang subuh,  Aku terbangun. Aku keluar dari hotel dan berjalan kaki menuju sebuah masjid, Masjid Al-Amin Larantuka, yang letaknya di pinggir jalan raya, hanya tiga ratus meter ke selatan dari tempatku menginap.

Aku keluar dari masjid ketika matahari sudah muncul. Jalanan masih lengang. Ini hari Minggu. Ada segerombolan anak-anak bersepeda pancal. Murid-murid susteran juga para suster dengan seragam berjalan kaki menuju gereja.

Sambil berjalan kaki pulang ke penginapan, Aku mengambil beberapa objek foto dengan kamera handphone di tangan. Aktivitas pagi Minggu di kota kecil Larantuka.

Di penginapan, kami mendekat ke tepi pantai. Mandi cahaya matahari pagi yang menyegarkan. Ini pagi terakhir kami di tempat ini. Jam sepuluh nanti kami akan check out dan meninggalkan penginapan menuju Maumere, sesuai rencana yang kami buat malam sebelumnya.

Kami meninggalkan penginapan jam 9 pagi setelah sarapan yang menyenangkan. 

Menjelang keluar dari kota, di gerbang Reinha Rosari, kami sempat foto-foto. 

Jam 1 siang, kami tiba di Maumere. Singgah sholat di sebuah masjid, Masjid Darussalam, yang sedang direnovasi. Selepas itu, kami makan siang di sebuah warung sederhana tak jauh dari masjid, Warung Rejeki Fitri. Di sini, beberapa warung nasi campur menyediakan semangkuk kuah soto secara terpisah yang dihidangkan secara bersamaan dengan sepiring nasi campur. 

Di Maumere, kami menginap di Go Hotel, di tengah kota. Hotel bagus tetapi dengan konsep kondominium yang tertutup. Jenis penginapan yang kurang aku sukai. Aku lebih suka penginapan yang begitu kita buka pintu kamar, yang terlihat langsung halaman.  

Kami tak akan lama di sini. Hanya singgah untuk istirahat, tanpa kegiatan jalan-jalan, tanpa melihat lebih dekat wajah kotanya. Sebab, besok pagi-pagi, kami akan melanjutkan perjalanan ke Ende, melewati medan ekstrem yang kami lalui sebelumnya. 

Beruntung bahwa sejak kami tiba di Maumere hari Minggu siang itu, cuaca cukup cerah. "Kemungkinan, esok pagi juga akan demikian keadaannya". Demikian kami berharap, agar perjalanan kami setidaknya lebih aman menuju Ende, dibandingkan jika cuaca mendung tebal dan apalagi disertai hujan, seperti saat perjalanan kami sebelumnya. 

Semula, kami ingin mencoba satu jalur Maumere-Ende (jalan lintas trans utara Maurole) yang lebih landai, lebih jauh dan low risk, melalui pantai utara Maumere. Tetapi, konon jalur ini sudah rusak, terdampak abrasi di beberapa ruas bagian sisi pantai.     

Malam itu, badanku terasa kurang fit. Ada gejala flu. Selapas makan malam di kamar hotel, Aku meminum air rebusan jahe plus sereh, serta menenggak satu pil paracetamol / grafadon buat melegakan rasa sakit di pangkal hidung.

Senin, 16 Juni 

Pagi jam 08.10 kami meninggalkan penginapan setelah sarapan.  Badanku terasa lebih fit dan siap menempuh 140-an kilometer lagi menuju Ende. 

Kota Maumere masih belum begitu ramai. Toko-toko sepanjang jalan belum banyak yang buka. 

Cuaca pagi itu cerah. Kami berharap semoga tidak hujan saat kami melintas untuk yang kedua kali di jalur ekstrem Maumere-Ende.  

Sepanjang jalan, kami hanya sempatkan berhenti satu kali di pusat pedagang sayur dan buah yang pernah kami singgahi sebelumnya. 

Jam 13.20 siang, kami tiba di Ende. Alangkah lega rasanya, setelah dengan selamat berhasil melintasi jalur ekstrem. Sebelum masuk kota, kami singgah makan siang di warung Banyuwangi, seberang Stadion Marilonga. 

Sudah pernah kusinggung bahwa di wilayah timur Indonesia pun, warung-warung Jawa dan Padang adalah raja kuliner jalanan. 

Tepat jam 2 siang, kami tiba di Hotel Anggrek, tempat kami menginap saat pertama kali tiba di Ende empat hari sebelumnya. Kepada petugas hotel, kami meminta kamar 105, kamar yang kami inapi. Kebetulan juga lagi kosong. 

Kamar 105 di hotel ini cukup luas dan bersih. Kamar mandinya juga bagus. Sepertinya belum lama ini habis direnovasi.   

Kami mengangkut serta sebagian barang ke kamar, termasuk kompor portable mini. Kompor ini kami fungsikan untuk bikin air panas, merebus jahe sereh, atau bikin kopi yang kami bawa dari rumah. 


Logistik selama perjalanan / foto Sam


Jam lima, sore hari, kami keluar dari penginapan, untuk mencoba melihat Kota Ende lebih dekat.

Pertama dari melihat pantainya. 

Kami meminta petunjuk kepada petugas hotel, dimana gerangan pusat kuliner pantai yang ramai di Ende?
 
Kami disarankan ke Pantai Kotaraja. Hanya sepuluh menit perjalanan dari Anggrek Hotel.
 
Sentra kuliner Pantai Kotaraja memang bagus. Letaknya tak jauh dari Taman Renungan Bung Karno dan Rumah pengasingan proklamator itu. 

Pantainya berpasir hitam. Sepertinya tidak ada pantai pasir putih di Ende. 
Sore itu keadaannya sepi sekali. Tidak banyak pengunjung. 

Kedai-kedai kuliner yang berjejer di tepi pantai sepanjang 200 meter itu tampak lesu. Bangku- bangku yang kosong, deretan meja yang kosong. Para pelayan kedai yang saling mengobrol dengan android di tangan mereka.  

Sedikit saja kami lihat beberapa anak muda yang bergerumun di salah satu sudut kedai, dengan minuman kemasan Teh Javana di meja mereka. 

Selebihnya sepi. 

Kami ingin memesan makanan ikan bakar buat makan sore. Kedai yang berjejer itu menyediakan terlalu beraneka macam makanan dan minuman yang berbeda beda. Tidak spesifik.
 
Setelah berjalan melewati satu demi satu bangku-bangku kedai, kami akhirnya menemukan ada satu kedai yang menjual ikan bakar. R2 Cafe namanya. Kami pesan ikan kakap plus ca kangkung buat makan sore.
 
Saya punya catatan khusus tentang pusat kuliner Pantai Kotaraja ini:  
- suasana kurang bergairah, kendati tempatnya sudah sangat bagus. 
- kedai-kedai menjual makanan yang terlalu beragam. Bandingkan dengan pusat kuliner tepi Pantai Panda Kota Bima, dan pusat kuliner Pendopo Kampung Ujung Labuan Bajo. Di dua tempat ini, jualan utamanya ya ikan bakar. Minumnya ya kelapa muda. Kalau ada varian jus buah, ya itu tambahan saja sifatnya. Tidak ada yang jual sosis, minuman jas jus, dan makanan kemasan pabrikan lainnya. 
Lah, di Pantai Kotaraja sendiri, masing masing kedai jualannya beda beda. Ada yang jual sosis bakar. Jualan kopi asli. Jualan teh, minuman kalengan, dll yang nampaknya bikin tempat ini jadi tidak spesifik, kurang identik. 

Karena kondisi yang kurang bergairah, Aku pun makan aras arasan. Ikan bakar yang tersaji terasa hambar. Nafsu makanku down to the ground

Kami meninggalkan kedai Pantai Kotaraja dengan perasaan tidak puas yang meluap. 

17 Juni 

Pagi subuh aku terjaga dan bergegas ke masjid tak jauh dari penginapan; Masjid Raudatul Jannah. Usai shalat subuh, aku kembali ke penginapan. Aku punya rencana hari ini. Ingin blusukan ke pasar tradisional, mencari penjual parang panjang. 

Jam 7 pagi, Aku tidak menyantap sarapan yang disediakan di hotel. Aku sarapan sendiri di sebuah warung kecil dekat masjid. Makan di warung kecil itu murah dan memuaskan. 

Keluar dari warung, beberapa menit Aku cegat angkot ke arah timur, ke Pasar Wolowana. 

Sopir angkot itu seorang katolik yang ta'at barangkali. Sebab di dasboard depan samping kemudi, berdiri patung kecil Bunda Maria sedang menggendong seorang bayi yang tak lain adalah putranya, Isa. 

Kata supir angkot, selain hari Jumat, pasar Wolowana tidak ramai. Yang setiap hari ramai hanya di pasar Ende.
 
Aku turun dari angkot. Lihat lihat ke pasar Wolowana. Memang tidak ramai. Hanya ada sedikit pedagang di pasar.  Setelah jeprat jepret dengan kamera ponsel, Aku cegat angkot lagi, dan tancap ke pasar Ende.


Ongkos angkot di Ende jarak jauh atau dekat hanya Rp. 5000 untuk penumpang umum. Pelajar bayar Rp. 2000.

Di dalam angkot, Aku duduk bersama beberapa orang pelajar sekolah. Angkot langsung mengantar mereka ke depan pintu gerbang sekolah.  

Setelah lima belas menit berjalan, angkot tiba di pasar Ende. Letak pasar ini di tepi pantai. Tak jauh dari pusat kuliner Kotaraja. Suasananya cukup ramai. "Akan lebih padat di hari Jum'at sebagai puncak hari pasaran", kata sopir angkot. 

Aku menyusuri lorong-demi lorong. Berpapasan dengan banyak orang. Melintas di depan toko-toko dan lapak-lapak.
Menyaksikan beragam-ragam komoditi yang diperjual belikan. 

Sangat bergairah sekali pergerakan ekonomi di pasar ini. Jauh banget beda dari pasar induk di kotaku di Negara, Bali. Selesai dibangun ulang dengan dua lantai, pasar Negara banyak ditinggalkan pedagang dan pembeli. Lebih sepi dari sebelum dibangun.  Contoh serupa bisa Anda lihat di banyak tempat. 

Pemerintah kita memang kurang pertimbangan di dalam merencanakan pembangunan sarana publik, seperti pasar. Maunya asal bangun. Lalu menghayal dengan kata-kata; "Kita berharap setelah dibangun, pasar ini akan jadi sentra penggerak roda ekonomi bla bla bla bla....." 

Pasar Ende / foto Sam

Oya, harga beras di Ende lebih murah dibandingkan dengan harga di Bali. Untuk sekelas beras super, harganya hanya Rp. 14.000 per kilogram. Di Bali, beras super seharga Rp. 17.ooo. 

Sudah setengah jam lebih Aku berkeliling di pasar Ende. Tidak juga bertemu dengan pedagang parang panjang. Hanya ada seorang pedagang benda tajam yang kujumpai. Itu pun pisau dapur dan arit. Dia tidak jual parang panjang. "Coba hari Jum'at bapa datang kemari. Siapa tau ada yang jual parang panjang," kata seorang pria di dekat pedagang pisau itu.

Aku naik angkot lagi dari pasar, balik ke penginapan. Aku duduk di samping sopir, seorang pemuda. Aku menceritakan tujuanku datang ke pasar Ende. Lalu dia memberitahu letak sebuah desa, dimana perajin parang panjang itu berada. 

"Bapak datang saja ke Woloare (Aku mendengar kata Woloare ini Poloaren).   Dari sini, arah ke Bajawa, lalu naik ke atas. Disana ada yang bikin pisau panjang. Biasanya hari Jum'at baru dia jualan pasar Ende." kata sopir muda itu. 

Aku camkan baik-baik kata-kata si sopir muda. Aku mencoba mengingat nama desa tadi; "Poloaren" menurut pendengaran telingaku. Padahal yang benar Woloare.

Angkot itu berlalu setelah menurunkan aku di depan hotel.

Jam 10 pagi. Kami keluar jalan-jalan. Menikmati satu hari di Ende. Kali ini kami menuju ke sebuah situs sejarah; rumah pengasingan Bung Karno. 

Rumah pengasingan Bung Karno terletak di satu ruas jalan di pinggiran kota. Tak jauh dari pantai. 

Ketika kami tiba, seorang penjaga rumah memyambut dan mempersilakan kami untuk melihat-lihat rumah itu, hingga di bagian belakangnya. 

Penjaga rumah itu dua orang lelaki. Seorang yang menyambut kami di pintu depan, dan seorang lagi duduk bermain HP di luar, dan tak menghiraukan kehadiran kami. 

Di bagian belakang, terdapat sebuah sumur, kira kira sedalam delapan meter. Itu sumur dilengkapi timba kerek dengan tambang yang digunakan si Bung untuk mandi. 

Ada ruang untuk sholat /bersemedi. Di serambi belakang juga terdapat buku-buku karya penulis setempat tentang budaya suatu masyarakat lokal di NTT. Buku ini kemungkinan dijual. 

Bangunan utama Rumah ini tidak besar juga tidak kecil. Pas untuk menampung satu keluarga dengan dua hingga enam orang anak kecil. 

Ada dua kamar tidur. Satu kamar tidur si Bung, lengkap dengan ranjang dari besi berkelambu, sebuah lemari dan gantungan baju. 

Satu kamar tidur di hadapannya lagi, dilengkapi dua ranjang besi berkelambu. 

Ada ruang tamu dengan satu meja dan dua kursi kayu. Lalu di sebelah  ruang tamu adalah ruang yang digunakan untuk memamerkan benda-benda peninggalan si Bung, seperti biola, naskah tonil, surat nikah, dan lainnya. 

Ada juga sebuah lukisan si Bung, sejumlah foto dan gambar si Bung juga terpajang di dinding. 

Aku mengambil gambar beberapa bagian tempat ini. Terakhir kuminta si petugas jaga untuk memotret kami berempat di bagian depan rumah. 

Kami berfoto di depan rumah Pengasingan Bung Karno, Ende/ foto Petugas Jaga


Ada juga sebuah kotak amal, untuk sumbangan sukarela. Mungkin dana ini untuk biaya perawatan rumah, atau bisa juga buat uang rokok si penjaga. Tidak apa. Bekerja merawat sebuah rumah peninggalan sejarah, bukan pekerjaan ringan. Dibutuhkan seorang penjaga berjiwa sabar, karena pekerjaannya hanya menunggu dan menunggu, selain membersih bersihkan. Bukankah pekerjaan menunggu itu membosankan??

Keluar dari rumah bersejarah itu, kami meluncur ke arah Bajawa, mencari desa Woloare, (bukan Poloaren seperti yang kudengar)  tempat perajin parang panjang. 

Semula kami keliru menempuh jalan. Setelah delapan kilo melaju di jalanan aspal yang bagus di tepi pantai yang ombaknya bergemuruh, aku berhenti dan bertanya pada dua orang emak pejalan kaki, dimana desa Poloare, tempat orang bikin parang. 

Dua orang ini sama bingung, karena tidak ada nama desa seperti yang saya sebutkan. 

"Mungkin maksud bapa, Woloare?? Bapa sudah lewat jauh. Balik saja.." seorang lelaki pesepeda motor menghampiri kami, dan memberi penjelasan lebih detil daripada keterangan dua emak emak tadi. 

Kami putar balik arah, dan mengikuti petunjuk. 

Benar saja, jalan Woloare itu menanjak ke bukit. Setelah sejauh lima kilometer, dan setelah bertanya tiga kali kepada penduduk setempat, sampailah kami di rumah si pembikin pisau dan parang. 

Sebuah rumah di pinggir jalan. Di samping rumah itu ada lima buah kuburan keluarga yang dikeramik dengan bagus. 

Oya, orang orang Kristen di NTT ini rata rata memanfaatkan halaman rumah untuk kuburan leluhur mereka.  Itu yang saya lihat di Ende, Maumere hingga Larantuka.

Kami membeli dua buah parang besar, tapi bukan parang panjang seperti milik Pattimura. "Kalau minta yang panjang, musti pesan dulu, kakak..." kata isteri si pembuat parang. 

Dua buah parang itu seharga 500.000. Kualitas besinya cukup bagus. Terbikin dari per mobil Fuso barangkali. Bobotnya lumayan. Berat. 

Gagal mendapat parang panjang Pattimura, jadilah kami bawa pulang dua jenis parang, parang Bajawa yang lebar dan berat, juga parang Ende berukuran tanggung. 

___ 

Jadwal keberangkatan kapal ke Surabaya diundur menjadi tanggal 18 Juni. Itu info kami terima dari kantor DLU Ende, siang ini. Tidak terlalu jelas apa alasannya. 

Dengan demikian, kami akan memperpanjang satu malam lagi menginap di Anggrek Hotel. 

Kepada petugas hotel, kami sudah sampaikan bahwa kami akan tinggal satu malam lagi, dan akan keluar meninggalkan hotel dua jam lebih melampaui jadwal check out. 
__
Sore hari selepas ashar, Aku dan Nisa berjalan-jalan ke tepi pantai yang tak jauh dari hotel. Setengah kilometer jaraknya. Bisa ditempuh jalan kaki saja.

Pantai Bitta. Pasirnya hitam, ombaknya lumayan besar. 

Pantai Bitta / foto Sam

Kita bisa melihat pelabuhan Ippi Ende dari pantai ini. Gunung meja yang menjulang. Ombak yang berkejaran. Orang-orang yang memancing ikan. Kapal-kapal bersandar di bahu dermaga.

Saat sedang berada di pantai ini, Aku melihat sesuatu benda menyerupai abu sisa bakaran yang beterbangan. Benda itu lebih jelas terlihat ketika hinggap di permukaan kaca ponselku. 

Aku belum menyadari bahwa sore itu Gunung Lewotobi laki-laki memuntahkan lahar dan menyemburkan abu vulkanik. 

Aku dan si kecil Nisa kembali ke hotel, ketika matahari menjauh ke barat, dan bayangan segala sesuatu tampak kian memanjang.  
 
Malam harinya, kami tidak kemana-mana. Berdiam di hotel. Hanya pergi membeli lauk pauk matang di warung Padang sebelah, untuk teman makan malam. Nasi kami masak dengan magic com mini yang kami bawa dari rumah. Malam itu, kami makan dengan gembira.

18 Juni

Aku keluar dari kamar penginapan ketika tarhim subuh sudah terdengar. 

Aku dikagetkan oleh pemandangan di halaman hotel. Mobil-mobil yang terparkir seluruhnya berselimut debu. Ketika sampai di halaman masjid, seorang warga memberitahu bahwa Lewotobi meletus tadi malam.

Berselimut abu vulkanik Lewotobi / foto Sam



Serambi masjid penuh abu gunung. Ada sisa jejak kaki kaki tergambar jelas di atas keramik yang berdebu. Aspal di jalan tak tampak hitam. Setiap kali ada kendaraan lewat, debu-debu itu berhamburan berjingkrak-jingkrak ke udara.  
 
Balik dari masjid, segera kuberitahu isteriku bahwa Lewotobi meletus. Beberapa bulan silam, gunung ini juga dikabarkan memuntahkan abu vulkaniknya. 
 
Di mobil, kami sedia masker. Pagi itu, aku pergi ke warung dengan masker. Hampir semua orang yang berada di jalanan mengenakan masker. 

Pagi itu, sekali lagi Aku naik angkot dan menuju pasar Ende. Aku memang sangat senang melihat keramaian di pasar tradisional. 

__ 
Jam 2 siang, barang-barang sudah selesai dinaikkan ke bagasi mobil. Kami berpamitan kepada petugas hotel. Sebelum pergi, Aku diijinkan petugas hotel menggunakan selang air untuk menyiram debu vulkanik yang menyelimuti si hitam Rush konde. 

Siang ini, kapal Dharma Rucitra VIII sandar di Ende.
Di Pelabuhan Ippi, suasana ramai sekali. Banyak kendaraan para pengantar atau penjemput yang berjejer bagai pindang di lapangan parkir. 

Karena kendaraan kami hendak naik kapal, petugas mengarahkan agar kami parkir di halaman keberangkatan bersama kendaraan yang lain. 

Isteriku pergi mengkonfirmasi tiket di sebuah gedung di dermaga. Aku memindah kendaraan.

Setelah hampir satu jam menunggu, barulah kendaraan kami boleh masuk ke kapal. 

Ini rute perjalanan yang tak terduga. Benar-benar tak terduga.
Ende - Surabaya.  Gila bukan....? 

Kami mendapat tempat di kelas ekonomi dek 4. Hanya itu yang tersedia. 

Aku tidak usah menceritakan detil bagaimana keadaan perjalanan kami di kapal selama dua hari. 

Kapal hanya sempat singgah di Pelabuhan Wae Kalambu Labuan Bajo untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Setelah itu, perjalanan berlanjut menuju Surabaya.  

20 Juni 
Pada sore hari, tanggal 20 Juni, kapal yang kami tumpangi mendekat di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.

Penumpang menjenguk keluar jendela kapal, sambil ber-VC mengabarkan kerabatnya,
 beberapa saat menjelang tiba di Tanjung Perak Surabaya / foto Sam

 
Kami berkemas. Menyiapkan barang-barang. Menuju ke pintu keluar. Melalui sebuah lift yang langsung membawa kami ke tempat parkir kendaraan. 

Cukup lama kami menunggu proses bongkar. Ketika kendaraan kami keluar dari mulut kapal, hari telah gelap. Kota Surabaya telah bertabur lampu-lampu. 

Kami menuju sebuah penginapan yang telah kami booking sebelumnya, hotel Heritage Surabaya. Disini kami menginap satu malam. 

21 Juni

Keesokan pagi, setelah sarapan, kami berkeliling kota, menuju ke Museum Nahdlatul Ulama di jalan Gayung Sari. Tapi sayang, museum ini tutup. Keadaannya seperti kurang terawat. Rumput-rumput tumbuh liar di sekitar bangunan dan pagar tembok halaman. 

Letak museum ini berdampingan dengan kantor redaksi Harian Duta Masyarakat. Bersebelahan dan dipisahkan oleh seruas jalan dengan kantor Pengurus Wilayah NU Jawa Timur. 

Kami berfoto bersama seekor merpati putih
di depan pintu Museum Nahdlatul Ulama, Surabaya / foto Sayasi Najida K



Saya sempat berbincang dengan Pak Fadholi, penjaga pintu masuk parkir museum. Banyak hal yang saya bincangkan, dari keadaan museum hingga nasib harian Duta Masyarakat hari ini. 

Duta Masyarakat adalah koran besar yang pernah berjaya pada masanya, sekitar tahun 1960-an, saat masih dinakodai oleh wartawan kawakan, Pak Mahbub Djunaidi.

Terkait museum, pak Fadholi mengatakan, sudah hampir satu bulan museum tidak buka. Guide atau pemandu museum tidak pernah datang ke museum. 

Kami meninggalkan bangunan museum yang murung itu. Aku hanya ikut saja kemana isteri dan anak-anak akan pergi hari itu. Kami singgah di sebuah mal. Trans Mart rupanya. Hendak lihat jadwal nonton bioskop. Bioskopnya belum buka, nunggu agak siang, kata si penjaga. 

Di dalam mal itu, ada kegiatan pertemuan murid-murid dan wali murid TK Al-Hidayah Surabaya. TK ini milik Ma'arif NU jika dilihat dari banner yang terpasang di background panggung. Ada lambang NU-nya.  

Saya jadi bertanya-tanya sendiri. Mengapa mal dijadikan sebagai tempat pertemuan? Apakah sekedar untuk menaikkan gengsi lembaga? Biar dibilang sekolah keren? 

Dari Trans Mart, kami meluncur ke sebuah mal besar, Citos namanya. Singkatan dari City of Tomorrow. 

Mal ini luar biasa besarnya. Ketika kami masuk ke base tempat parkir, alangkah muram keadaannya. Ruang parkir sangat sepi. Ada sejumlah kendaraan yang bisa dihitung jari. 

Mal ini benar-benar sudah ambyar. Di dalam, keadaannya sangat sunyi. Banyak gerai yang tutup. Tersisa segelintir saja. 

Konon, dahulu, mal ini pernah berjaya, dengan ribuan orang  pengunjung datang setiap hari. Kini, keadaan berbalik 200 derajat. Sepertinya sudah tidak mungkin lagi untuk memulihkan keadaan mal ini.  

Di mal Citos, tujuan kami ke Bioskop XXI. Nonton film kartun, buat menyenangkan anak-anak. Maunya nonton film Jumbo. Tapi jam tayangnya tidak siang itu. Jadinya kami nonton Elio. Pengunjung bioskop tidak banyak. Bisa dihitung jumlahnya. 

Dari Mal Citos, kami meluncur ke penginapan yang baru, Prime Bizz hotel. Kami akan menginap satu malam lagi. Dan besok pagi akan meluncur ke Bali.

22 Juni

Jam 07. 30 wib, usai sarapan, kami meninggalkan Surabaya. 


Dalam rute perjalanan Surabaya- Bali, kami sempatkan berziarah ke asta Pesantren Sukorejo Asembagus.    

Secara khusus, Aku ceritakan sebuah kejadian tak biasa, selepas meninggalkan pesantren dan melanjutkan perjalanan ke timur. 

Perjalanan melewati hutan Baluran terasa sangat cepat. Kok sudah sampai




  
   
  

 
 
 








 


 


  

 to be continued..


       


  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Kuliner Yogya yang Bukan Khas

Bicara soal kuliner khas di Yogya, orang pasti ingat Gudeg. Ya, itu makanan khasnya. Tapi masih banyak lagi makanan di Yogya yang bukan khas. Saya mau cerita soal pengalaman saya menikmati masakan khas yang tidak populer ini. Ada beberapa warung makan yang sempat saya singgahi, dan beberapa menu favorit saya di masing-masing warung makan itu. Saya mau ceritakan yang berkesan saja. Pepes Kembung di Laris Di jalan Wahid Hasyim Nologaten, ada warung terkenal di wilayah itu. Namanya warun g Laris. Warung ini berdiri kira-kira sejak tahun 2001. Pertama berdiri lokasinya di dekat warung Selaras Ayam Bakar. Tapi kemudian pindah empat ratus meter ke selatan. Tepat sekali nama yang diberikan pemiliknya terhadap warung ini. Warung ini benar-benar laris. Banyak anak kos berkunjung ke sana. Apalagi di tempatnya yang sekarang. Wah, kalau sudah jam rehat kuliah, antara jam 11 sampai jam 2 siang, warung ini padat pengunjung. Para mahasiswa dari AMPTA (Akademi Pariwisata) banyak pada ke sana. Mereka m...