Langsung ke konten utama

Dari Gresik Sampai Tuban, Jalan-jalan Jelang Lebaran

Pukul 23.00, bus yang membawa saya dari Jogja tiba di Surabaya. Arus mudik di jalur bagian tengah pulau Jawa tidak terlalu besar. Jarang sekali saya jumpai kemacetan. Perjalanan ditempuh menurut lama waktu normal; 8 jam.

Di Surabaya, saya dan kawan Tatok, seorang kawan lama yang bersama saya dalam perjalanan mudik ini, menginap di sebuah asrama di belakang kampus IAIN Ampel. Saya hanya sempat beristirahat 4 jam, sebelum pada jam 7 keesokan paginya, saya dan kawan Tatok melanjutkan perjalanan ke barat menuju kota Gresik.

Jalan-jalan di pasar Gresik
Kebetulan kawan Tatok dititipi pesan seorang sepupunya yang tengah nyidam pudak. Dia diminta untuk membeli pudak, sejenis penganan khas kota Gresik. Konon, kata saudara sepupu kawan Tatok, di usia kehamilan yang baru menginjak beberapa hari, dia selalu membayangkan pudak. Maklum, orang nyidam punya keinginan yang aneh-aneh. Jadilah kami mampir di pasar Gresik untuk membeli pudak.

Tiga hari menjelang lebaran, keadaan di pasar Gresik sangat ramai. Ini adalah kesempatan orang-orang buat belanja persiapan lebaran. Lebaran tahun ini, lonjakan harga barang dikabarkan tidak terlalu drastis. Meski di wilayah-wilayah tertentu, harga-harga barang kebutuhan meroket.

Ini kali pertama saya berada di kota Gresik. Kebetulan saya punya banyak kenalan teman kuliah berasal dari kota ini. Tapi sebelum saya sempat menghubungi mereka, terlebih dahulu saya mau menikmati jalan-jalan di pasar Gresik, sambil melihat-lihat beragam jenis penganan tradisional khas Gresik.

Di ruas panjang sebuah jalan, kiri kanan berderet toko-toko penjual penganan khas kota itu. Ada kue warna warni yang terbuat dari sari kelapa. Penampilannya ciamik. Pudak penganan khas yang juga terbuat dari sari kelapa, tampak mencolok dari luar toko, karena posisinya yang digantung. Ada juga kerupuk ikan dalam beragam penampilan. Ada juga ikan laut untuk lauk. Aromanya menyebarkan bau amis sangat menggoda di seluruh pasar itu. Yang lebih menarik perhatian adalah minuman legen. Penampilannya menggairahkan, meski hanya dikemas di dalam botol aqua bekas. Di tengah siang yang panas itu, saya membayangkan segarnya rasa legen jika diminum dengan es. Yasss salaaam... ajiiib…

Kue yang terbuat dari sari kelapa dan legen, ikan dan kerupuk ikan, adalah ragam penganan yang melambangkan kota ini sebagai kota pantai. Berhubung bulan puasa, saya tentu tidak bisa mencicip penganan tadi.

Mampir kawan lama
Teringat beberapa orang kenalan lama yang kini menetap di kampung mereka di kota ini, saya mencoba menghubungi satu dari kenalan saya, Mas Heri namanya. Kabar terakhir saya dengar dia sudah punya unit usaha dagang (UD). Unit dagang untuk barang-barang material bangunan. Saya enggak nyangka deh, temen saya yang lulusan filsafat ini jadi juragan barang-barang material. Kali aja dia memang terinspirasi spirit Bapak filsafat materialisme yang menekankan bahwa "tugas seorang filsuf tidak hanya memikirkan realitas, tetapi yang paling penting adalah mengubah realitas." He.he.he.

Rupa-rupanya, teman saya yang satu ini sudah merealisasikan tugasnya sebagai seorang filsuf: "mengubah dunia, mengubah nasibnya, mengubah orientasi, realitas dan jalan hidupnya" dengan menjadi juragan barang material. He.he.he. (apa hubungannya, cing!)

Tak beberapa lama setelah saya mengirim pesan singkat buat Mas Heri, dia balik menelpon saya. Tak lupa dia berikan kepada saya alamat lengkap di mana dia tinggal. Jarak tempat tinggalnya dari pasar Gresik masih memakan perjalanan waktu hampir satu jam.

Mas Heri tinggal dan membangun unit dagang di salah satu titik jalan raya pos besar, biasa disebut jalan Deendels. (Untuk keterangan lebih panjang soal jalan Deendels, coba deh baca buku Pramoedya Ananta Toer berjudul Jalan Raya Pos Besar).

UD. Nita nama tokonya. Terletak di desa Panceng sebelah barat pom bensin Banyutengah dan sebelah timur tugu perbatasan antara kota Gresik dan Lamongan.

Saya harus sedikit menggarisbawahi: terakhir kali saya bertemu muka dengan Mas Heri adalah saat kami berada dalam satu angkatan wisuda S1, Januari tahun 2005. Setelah itu, saya hanya sempat sesekali berkirim SMS dan sesekali melihat tulisan resensi yang dibuat Mas Heri dimuat di salah satu koran nasional, Jawa Pos.

Hampir empat tahun tidak bertemu, Mas Heri sudah punya dua orang putri yang lincah dan cantik dari pernikahannya dengan Mbak Nita. Ia terbilang sukses dalam dua hal sekaligus: mengembangkan usaha dan membina keluarga.

Sepanjang siang, Mas Heri menemani kami mengobrol. Dia banyak bercerita tentang hal-hal yang berkaitan dengan perjalanan merintis usahanya. Dia juga mengajak kami jalan-jalan di sepanjang pantai utara, sebelum kemudian singgah di rumah orang tuanya di dekat pasar raya Panceng yang tak jauh dari pesisir pantai.

Saya punya kesan khusus dengan kawan lama saya ini. Ada yang tak pernah berubah dari Mas Heri, yakni kebiasaannya membuat kelakar. Barangkali, kebiasaan ini yang membikin dia awet seperti dulu.

Saat berbuka puasa, saya disuguhi legen. Wah, padahal tadi siang di toko di pasar Gresik, penampilan minuman ini yang begitu menarik perhatian saya. Tadi siang, saya juga sengaja menyinggung-nyinggung soal legen. Mas Heri tahu yang saya mau. Eh, dia langsung pesan legen buat buka. Jangan heran, saya menghabiskan 1 liter legen sendirian. Dengan campuran es batu, minuman ini terasa segar. Ajib...!

Legen yang disuguhkan Mas Heri terasa beda banget. Ini benar-benar orisinil. Ciri dari legen asli, kata Mas Heri, dapat dilihat dari sensasi rasanya saat menyentuh lidah. Katanya, lidah kita seperti ditusuk-tusuk. Yang jelas terasa bagi saya adalah sensasi yang ditimbulkan saat minuman ini melewati tenggorokan saya. Wow, mau tidak mau saya harus memicingkan mata karena terasa banget sodokan keras dari minuman ini menghantam tenggorokan hingga ke dada saya.

Dari rumah Mas Heri, jam 10 malam, saya dan kawan Tatok diantar Mas Heri, melanjutkan perjalanan ke barat, kota Paciran kabupaten Lamongan. Di kota ini, saya sudah berniat untuk mampir di rumah kenalan lama. Rumahnya hanya berjarak 5 kilo dari rumah Mas Heri. Kawan saya, Ayatullah Muhyi, menikah awal tahun lalu. Dia tinggal di rumah sebelah timur pesantren Kiyai Gofur. Kiyai Gofur adalah seorang kiyai ternama di kawasan Paciran. Kawan saya yang satu ini menikah dengan putri seorang Kiyai. Kini ia hanya tinggal menunggu waktu untuk meneruskan dan dinobatkan sebagai Kiyai. He.he.he.

Malam itu, Ayatullah Muhyi menyempatkan mengajak saya dan Mas Heri melihat-lihat usaha yang sudah tiga tahun ini dijalankan orang tuanya. Ayah dari Ayatullah Muhyi menjalankan usaha meubel, kursi meja almari dari kayu jati. Barang-barang itu didatangkan dari Jepara, atau dari kota sekitar dalam bentuk barang jadi. Dia hanya bertugas membuat finishing, menghaluskan dan menyemprot. Saya rasa, bisnis macam ini tidak main-main dalam hal mendatangkan keuntungan yang besar.

Di rumah kawan Ayatullah Muhyi, kami menginap semalam. Keesokan siang, lepas tengah hari, kami berangkat ke kota Tuban, kota asal kawan Tatok. Menurut rencana awal, saya akan berlebaran di kota ini, di rumah kawan Tatok. Jika ada kesempatan jalan-jalan, tujuan pertama saya adalah mencari dan menikmati minuman legen asli buatan Tuban.

Berharap pada Ciu
Sebagaimana kota sepanjang pantura Jawa Timur lainnya, Tuban adalah kota yang menjadi produsen legen. Tetapi kita harus jeli membedakan antara mana legen asli dari yang oplosan. Sebab, terlalu banyak legen oplosan yang juga dijual di sepanjang jalan kota ini.

Oya, saya lupa menyebutkan dari mana minuman ini dibuat. Legen dibuat dari tirisan batang bakal buah pohon siwalan. Pohon siwalan tumbuh di daerah beriklim panas, umumnya di kawasan yang radiusnya tidak terlalu jauh dari pantai. Buah siwalan dapat dikonsumsi, biasa dijual di pinggir-pinggir jalan.

Selain menjadi minuman segar, tirisan batang bakal buah siwalan juga dapat dibuat menjadi arak, tuak, atau orang juga menyebutnya, ciu. Tuban dikenal karena tuak ciunya yang khas. Tapi saya belum pernah sempat mencicipi minuman ciu. Tuak atau ciu merupakan "radikalisasi" wujud dari legen. Legen dapat berubah menjadi arak ciu jika disimpan dalam tempo yang cukup lama.

Saya sungguh penasaran ingin mencoba mencicipi ciu Tuban yang terkenal itu. Minuman ini dikenal sejak dulu kala. Konon, dahulu ketika bala tentara Tatar dari Mongolia berhasil memenangi pertempuran melawan prajurit kerajaan Daha, untuk merayakan kemenangan itu, oleh calon penguasa Wilwatikta (Majapahit), mereka disuguhi minuman arak ciu yang didatangkan khusus dari Tuban.

Saya yakin, Anda yang belum pernah mencicip ciu khas Tuban juga penasaran seperti saya. Saya harus cari tau, di mana gerangan arak ciu berada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...