Langsung ke konten utama

Ke Labuan Bajo

     Entah darimana isteriku dapat wangsit. Tiba-tiba dia membuat rencana hendak  bepergian jauh: ke Labuan Bajo.

Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo  di musim liburan anak-anak nanti.”

Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu.

Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki.

Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok. 

Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudian menjadi film-film dokumenter yang menakjubkan. Sexy Killers salah satunya dan yang paling fenomenal. 

Perjalanan kami tentu bukan sebuah ekspedisi. Meski Aku merasa sangat banyak terinspirasi untuk melakukan perjalanan jauh ke timur kali ini, dari Ekspedisi Indonesia Biru. 

Day 1, 2

Pada hari H, Selasa pagi jam 08.30, tanggal 18 Juni 2024, bertepatan dengan tanggal 11 Dzulhijjah 1445 hijriyah, sehari setelah perayaan Iedul Qurban, kami berangkat dari Jembrana Bali, dengan tujuan akhir Labuan Bajo.

Kendaraan yang kami tumpangi, “kendaraan dinas” sehari-hari kami; minibus Toyota Rush keluaran tahun 2012, dengan kondisi yang masih oke. 

Segala hal yang berhubungan dengan kendaraan ini, mulai dari accu, radiator, oli mesin, rem, ban dan lainnya, sudah Aku periksa dengan seksama -dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Sementara kelengkapan logistik dipersiapkan oleh isteriku; dua buah koper baju pakaian. Sebuah tas ransel. Satu buah tas jinjing. Tiga buah tas lipat.  Sebuah tikar plastik lipat. Tiga buah bantal tidur, tanpa guling. Sebuah kompor gas portable. Obat-obatan paracetamol. Suplemen vitamin. Kopi jahe asli, gula dan teh tubruk cap Dandang.  Buah-buahan; apel, kesemek untuk camilan di jalan. Pisau pemotong buah. Satu dus botol besar air mineral “Santri”.  

Peserta perjalanan ini empat orang; Aku sendiri, isteriku, anak sulungku Sayasi Najida, dan si bungsu Yasi Dhiyaunnisa. Kebetulan mereka akan libur panjang bulan Juni-Juli. Dan Aku adalah pria tunggal dalam perjalanan ini.

Perhentian pertama kami adalah warung makan Mekar Sari Mandung, Tabanan. Ini adalah warung makan pavorit dari banyak supir-supir kendaraan truk maupun minibus. Harga makanannya lumayan bersahabat. Porsi sepiring nasinya porsi sopir tronton Jawa-Bali. Pilihan menunya banyak dan beragam; mulai yang bersantan, berwarna ataupun sayur yang bening-bening  (Bukan cumak wajah artis saja yang bening-bening...!!)

Dari warung makan legend ini, kami melanjutkan perjalanan. Singgah sebentar di Budi’s AC Tabanan untuk mengganti saringan AC yang sudah lumutan, eh... terlalu kotor dan berdebu.

Pada jam 12.30 tengah hari, kami tiba di Pelabuhan Padang Bay. Setelah beli tiket di konter tiket macam orang beli kacang, kami pun menunggu tak berapa lama. Harga tiket untuk penyeberangan Padang Bay – Lembar dalam jarak tempuh empat jam yakni Rp. 1.200.000 (Satu juta dua ratus ribu rupiah) kalau dibulatkan.  

Kira-kira setengah jam setelah boarding melewati palang pintu pemeriksaan tiket, kendaraan kami sudah masuk ke dalam perut kapal laut; KMP Shita Giri Nusa, yang akan membawa kami ke Pelabuhan Lembar di Lombok. Kapal Shita Giri Nusa ini lumayan besar dan tidak buruk. Di ruangan kapal, kami menggelar tikar lipat. Kali ini tidak menyewa matras yang biasanya disewakan oleh para oknum seharga lima puluh ribu rupiah per satu matras.

Duduk di sebelah kami, dua pasang suami istri orang Bali, yang juga akan pergi ke Lombok. Yang satu dengan tujuan sembahyang (maturan) ke Pure entah dimana. Yang satu lagi urusan bisnis.

Jam 2 kapal bertolak dari pelabuhan Padang Bay. Empat jam perjalanan di kapal, dengan ombak yang tenang. Biasanya, sebelum mencapai cerukan yang akan masuk ke teluk Lembar, kapal tergoncang-goncang selama satu jam oleh deras gelombang. Beruntung siang itu tidak ada angin kencang dan ombak tak mengamuk, sehingga kapal dapat berjalan dengan mulus.

Kendati menempuh empat jam perjalanan laut, ada saatnya kapal tidak langsung dapat melempar sauh ke tepian, harus menunggu proses bongkar muat. Jadilah kapal yang kami tumpangi nyandar pada jam tujuh malam.

Dari pelabuhan Lembar, kami akan menempuh paling lambat satu jam perjalanan ke rumah Ortu di desaku di Desa Mujur, Praya Timur, Lombok Tengah.   Kami berencana  akan menginap dua malam di rumah Ortu. Istirahat dan menikmati masakan khas ibuku yang tak terlupakan.

Ibuku sangat rajin menyiapkan masakan pavoritku, jika mengetahui kami akan pulang kampung. Ini dia masakan pavoritku itu. Anda boleh mencobanya kalau kebetulan ke Lombok: urap geranggang (rumput laut), plecing kangkung, ikan masak bumbu kuning, sayur lodeh pedis panas, sambel beberuq dengan lalapan terung bulat mentah, sambel komaq (biji kara). Dan satu lagi jajanan legend yang kugemari sejak kecil; sate nasi dengan bumbu santan kental. Ini hanya dibikin oleh orang tertentu dan dibeli di tempat tertentu.

Day 3

Kamis pagi, 20 Juni, Jam 07.30 wita, dari Desa Mujur Lombok Tengah, sehabis sarapan, meminta do’a Ortu, kami berangkat ke Pelabuhan Kayangan Labuan Lombok, Lombok Timur.  Selain do’a, keluarga di desa membekali kami dengan pisang kukus, jagung rebus, abon sapi sebagai lauk pauk di perjalanan nanti.

Perjalanan hanya membutuhkan waktu satu setengah jam. Beberapa kilo sebelum sampai di Pelabuhan, kami berhenti di sebuah SPBU, mengisi BBM dengan Pertamax Ron 92, minuman khusus buat kendaraan kami. Ini pengisian BBM pertama, semenjak keberangkatan dari Bali.  

Menjelang pelabuhan, kami berhenti di konter tiket (nantinya kami akan meninggalkan kebiasaan membeli tiket dengan cara ini, dan beralih menggunakan Ferizy di Android).

Harga tiket penyeberangan Kayangan Labuan Lombok   ke Pelabuhan Poto Tano Sumbawa, Rp. 575.000. Penumpang yang akan menyeberang ke Poto Tano cukup ramai. Terutama pengendara sepeda motor.  Setelah boarding melewati palang pintu dermaga, kami menunggu kira-kira setengah jam sebelum masuk ke lambung kapal laut (saya lupa nama kapal yang kami tumpangi ini).  Perjalanan Labuan Lombok ke Poto Tano hanya memakan waktu dua jam saja. Riak ombak nyaris tak terasa. Tenang. Begitu tenang. Setenang jiwaku di sampingnya...  

Para pedagang asongan hilir mudik menawarkan jajanan. Umumnya mereka menjual makanan pokok dan makanan instant; nasi bungkus, pop mie, wafer, roti, air mineral. Ada juga camilan jadul olahan rumahan; kacang rebus, jagung rebus, umbi tales rebus. Wah, ini camilan sehat wal afiat sebetulnya, dan aku ingin sekali membelinya. Tapi sayang, dari rumah tadi, kami sudah dibekali satu kresek jagung ketan rebus dan satu kresek pisang kayu kukus.

Untuk perjalanan-perjalanan jauh, kami memang sengaja mempersiapkan camilan sehat non-ciki ciki.  Begitu juga dengan minuman. Kami hanya membawa air mineral murni. Tidak ada fresh tea, fanta, coca cola, dan minuman-minuman kemasan sejenis yang berpengawet. Anak-anak kucegah membeli makanan snack yang berpotensi bikin radang tenggorokan.  Perbekalan kami betul-betul steril, hanya bikinan rumahan dan buah-buahan.   

Dari atas kapal yang membawa kami ke Pelabuhan Poto Tano, aku mengamati bukit-bukit tandus di sepanjang garis pantai. Semakin ke timur, akan semakin sering kita saksikan bukit-bukit tandus yang hanya ditumbuhi ilalang, batu-batuan, dan sedikit pohon-pohonan.    

Tiba di Poto Tano, aku merasakan kegembiraan yang luar biasa, karena inilah kali pertama aku menginjak tanah Samawa. Aku teringat akan kawan mondok satu kamar dulu di Pesantren Asembagus Sukorejo. Namanya Andi Arifin. Dia dari Sumbawa. Dia pernah mengajariku menyanyikan lagu pop Samawa: Lamen ku lalo balayar we Andi, kutotang tanah Samawa... (aku lupa lanjutannya)

Ada juga lagu berjudul Poto Tano: Potoooo Tano lawang desa. Kutotang tanah Samawa... (ini juga aku lupa lanjutannya)

Aku sudah lupa dua lagu yang pernah diajarkan kawan ku itu. Aku sendiri sudah tidak tahu dimanakah kini kawanku itu berada. Masih hidupkah dia? Atau sudah tiada? Hanya dia, isterinya dan Tuhanlah yang tahu dimana dia berada kini.

Mendarat di Poto Tano, kendaraan berhamburan keluar dari lambung kapal, bagai semut keluar dari liangnya.   Pelabuhan ini tidak ramai. Tidak terlihat kepadatan dan aktivitas manusia.

Sekeluar dari area pelabuhan, sekawanan kambing kacang bergerombol di jalanan aspal, hendak bertamasya ke pelabuhan rupanya. Pemandangan semacam ini nantinya, akan lebih sering kami jumpai di sepanjang perjalanan Sumbawa-Dompu-Bima.

Begitu sampai di jalan simpang tiga, kami segera menyiapkan map untuk menentukan kemana arah jalan yang akan kami tempuh: SUMBAWA BESAR.

Oya, bukankah Pulau Bungin yang disebut sebagai pulau terpadat sedunia itu terletak di Sumbawa?

Setelah kendaraan berjalan beberapa puluh kilometer, kami melihat plang arah jalan yang menunjuk ke Pulau Bungin. Sepotong kisah Pulau Bungin pernah aku tonton di film dokumenter Ekspedisi Indonesia Biru, karya Bung Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Suparta.

Aku sebetulnya ingin singgah dan melihat dari dekat pulau ini. Tetapi niat dalam hati itu tidak tertunaikan, sebab itu akan keluar dari jalur planning yang telah kami buat. Lain kali kami akan singgah dan menginap di sana.  

Lewati dulu Pulau Bungin. Setelah kira-kira satu setengah jam perjalanan, tengah hari mata kami tertuju pada warung pedagang kelapa muda di pinggiran pantai Selat Alas.  Kebetulan ini sudah jam makan siang. Aku segera mengurangi kecepatan, dan meminggirkan kendaraan. Tempat parkirannya lumayan teduh oleh pepohonan di sekitar. Bagian depan warung menghadap jalan raya, sementara gazebo utama bagian belakangnya menghadap ke laut yang teduh. Terlihat dari gazebo itu, Pulau Bungin nun jauh disana.

Kami memesan dua biji kelapa muda. Lainnya tidak. Harga per biji kelapa muda Rp. 15.000. Bekal makanan (taqilan) dari rumah kami buka. Tiga bungkus nasi putih, sambal terung, udang dan abon. Sambil menyantap makan, kami bisa menikmati udara pantai yang sejuk. Isteriku sibuk mengulik android, membooking penginapan buat satu malam nanti.

Waktu sholat zuhur sudah terlewat satu jam lalu. Kami singgah di sebuah masjid pinggir jalan, untuk ibadah. 

Jam empat sore, kami tiba di Kota Sumbawa Besar dan segera meluncur ke penginapan Hotel Samawa Transit. Hotel ini tergolong hotel lawas, jika dibandingkan dengan kebanyakan hotel yang berdiri belakangan ini. Aku sempat melihat prasasti peresmian salah satu blok bangunan hotel Samawa Transit di dinding hotel lantai satu, yang ditandatangani oleh Bustanul Arifin, menteri era Soeharto, bertahun 1998, di tahun kejatuhan pemimpin diktator itu.

Tidak banyak tamu yang menginap di hotel ini. Hanya beberapa saja. Kami memesan kamar di lantai dua. Ruangannya cukup lebar dengan twin bed. Cukup buat kami berempat. Ada juga balkon dengan meja dan kursi kayu, tempat kami duduk-duduk makan-makan.

Malam hari selepas sembahyang jamak taqim ma’al qosor, kami keluar dari hotel, mencari makan di warung. Ada warung sederhana tak jauh dari perempatan jalan raya besar, kira-kira lima ratus meter dari tempat kami menginap. Warung itu memperdengarkan lantunan murottal ayat AlQur’an, dan ada beberapa kaligrafi arab di dinding bedeknya. Sepertinya ini warung Lombok.  Itu bisa diketahui dari adanya sambel lalapan beberuq terung mentah khas Lombok.  Tapi, kami tidak bertanya ini itu kepada si pemilik warung, seorang ibu yang wajahnya seratus persen tanpa senyuman.

Setelah makan malam yang simpel itu, kami kembali ke hotel. Isteriku singgah sebentar ke apotek untuk mencari tambahan obat-obatan dan suplemen multivitamin.

Kami segera beristirahat. Sebab, besok pagi-pagi sekali, setelah sarapan kami akan langsung berangkat.  Lingkungan hotel ini cukup bersih. Ruangannya juga bersih. Tetapi, mengapa terdapat banyak sekali nyamuk-nyamuk nakal yang hilir mudik di kamar...? Mungkinkah sistem sanitasi drainase kotanya yang kurang baik? Itu urusan Dinas Kebersihan dan Tata Kota kabupaten setempat. Urusan kami cuma numpang tidur. Ini hanya sekedar notis tambahan buat  Samawa Transit Hotel, agar memperhatikan keadaan lingkungan sekitar dan mencari tahu apa penyebab nyamuk-nyamuk suka ikut-ikutan bermalam di kamar hotel.

Sudah jadi kebiasaanku, kalau mau tidur baca do’a, lalu baca buku dulu biar cepat ngantuk. Sebuah novel berbahasa inggris menemani perjalananku. Buku ini aku comot dari koleksi perpustakaan pribadiku di rumah Ortu pagi-pagi tadi sebelum berangkat. Novel The Name of The Rose karya Umberto Eco yang diterjemah dari Bahasa Itali; Il Nome della Rossa. Novel yang berkisah tentang kejahatan (pembunuhan berantai) di sebuah biara di Itali ini sudah pernah aku khatamkan di masa kuliah dulu.

Sebetulnya, novel tebal ini kurang pas buat dibaca dalam perjalanan. Hanya saja, aku kangen ingin membaca buku berbahasa inggris seperti kebiasaan jaman sekolah SMA dan kuliah dulu. Maklum, selain cumak baca berita versi inggris dari situs Aljazeera, Reuters dan The Guardian, aku sudah jarang baca buku-buku berbahasa inggris akhir-akhir ini.  Lagi pula, cerita dalam novel ini kan lumayan bikin merinding. Tetapi, bagi orang yang pernah belajar semiotika-psikoanalisa, membaca novel ini adalah sebuah hiburan, seperti sedang main puzzle.     

Di malam menjelang tidur itu, tiba-tiba isteriku mendapat kabar dari kurir di Pelabuhan Sape. Kurir itu kami panggil Bang Jul. Isteriku mengenal Bang Jul dari melihat review perjalanan para traveler yang sudah pernah ke Labuan Bajo melalui jalan darat. Dialah yang kami kontak sehari sebelum perjalanan dimulai dari Bali, untuk memastikan kapan kami bisa menyeberang dari Sape ke Labuan Bajo. Ini penting karena kapal dengan jurusan Sape – Labuan Bajo hanya ada satu kali dalam sehari. Di hari-hari tertentu, jadwal keberangkatan kapal Sape –Labuan Bajo bisa berbelok seribu derajat.  Seperti yang kami alami.

Malam kami menginap di hotel Samawa Transit adalah Malam Jumat. Bang Jul mengabarkan bahwa besok pagi Jumat ada kapal yang akan bertolak dari Sape ke Labuan Bajo.

“Posisi dimana saat ini, ibu Ida?” kata Bang Jul.

“di Sumbawa Besar, Bang Jul.”

“Bisakah ibu langsung tancap malam ini ke Pelabuhan Sape? Sebab besok pagi akan ada kapal ke Labuan Bajo. Sementara hari Sabtu keesokannya tidak ada kapal. Hari Minggu ada kapal tapi sudah dibooking Pertamina untuk mengangkut truk tangki solar ke Labuan Bajo. Hari Senin pagi baru ibu bisa nyeberang ke Labuan Bajo.”

“Kami tidak bisa melanjutkan perjalanan, Bang Jul. Kami mau istirahat malam ini.”

Alhasil, jadwal perjalanan kami berubah dua ratus derajat, setelah mendapat kabar dari Bang Jul.

Isteriku memberitahu hal ini padaku. Itu artinya akan ada dua hari senggang sebelum  tiba di Pelabuhan Sape.

Rencana dalam skedul perjalanan kami; pagi hari Jum’at tanggal 21 Juni, kami akan ke Kota Bima, dan malam Sabtu kami menginap di Kota Bima. Sabtu siang, berangkat ke Pelabuhan Sape, menginap pada malam Minggu di Sape untuk mempersiapkan keberangkatan pada pagi hari Minggu. Dengan jadwal kapal seperti yang dipaparkan Bang Jul, mau tidak mau, jadwal perjalanan berubah drastis.

Isteriku mengusulkan agar kami berkunjung ke rumah kerabat, kakak dari ayahku, yang tinggal di Sorinomo Dompu, di lereng Gunung Tambora. Keluarga ini hijrah dari Lombok ke Dompu, pada sekitar tahun 1982. Kerabat kami ini termasuk generasi awal yang dilarutkan oleh kebijakan pemerataan penduduk oleh pemerintah Orde Baru. Mereka di tempatkan di tanah-tanah kosong, di belahan tengah Pulau Sumbawa.

Melihat di google map, jarak antara Sumbawa Besar ke Sorinomo di Lereng Tambora berjarak 250 kilometer. Kisaran waktu tempuh 5 jam 8 menit.

Baiklah, skedul sudah kadung berubah. Besok pagi kami akan berangkat ke Sorinomo. Itung-itung tambah tabungan pengalaman.  

Day 4

Selepas sarapan di hotel dengan menu ala kadar nasi goreng, pukul 8 kami berangkat meninggalkan Sumbawa Besar. Di sebuah SPBU, di pinggiran kota di jalan yang akan mengarah ke Dompu-Bima, kami berhenti untuk mengisi BBM lagi. Pada indikator digital, sebetulnya hanya dua strip yang hilang dalam perjalanan dari Labuan Lombok, tempat mengisi BBM sebelum menyeberang ke Sumbawa dan sampai di Sumbawa Besar. Namun, mengingat jarak tempuh Sumbawa- Surinomo cukup jauh, maka perlu ada persiapan BBM maksimal dalam kondisi full tangki.

SPBU kami tinggalkan. Kondisi lalu lintas tidak seberapa ramai di kota Sumbawa. Akan semakin lengang keadaannya setelah kami keluar dari pinggiran kota melalui jalan Trans Sumbawa-Bima. Hanya sesekali kendaraan pribadi menyalip atau berpapasan dengan kami. Ada juga bus-bus tua antar kota yang muatannya selalu melebihi kapasitas. Sebagian penumpangnya duduk-duduk di atap, berjibaku dengan angin kencang dan panas siang. Ini berbahasa sebetulnya. Tetapi entah kenapa, hampir semua bus antar kota memuat penumpang secara overload.  

Sepanjang jalan, bukit-bukit tandus berwarna kekuningan karena tetumbuhan mengering. Sawah-sawah dengan sisa-sia batang-batang jagung sehabis dipanen.  Sekawanan ternak; kambing, sapi, sesekali melintas sembarangan ke jalan aspal, sebab mereka tidak mengerti rambu-rambu jalan.

Beberapa kali saya harus memperlambat laju kendaraan, agar tidak terjadi laka lantas dan jadi berita; “Toyota Rush menabrak seekor sapi” atau “Minibus Toyota Rush adu jangkrik dengan seekor kuda liar Sumbawa,” atau “Traveler dari Bali tubruk puluhan ekor kambing kacang di jalan Trans Sumbawa-Bima.”

Kami sangat terpesona dengan indahnya perjalanan di sisi pinggang bukit yang bersebelahan dengan teluk dari pantai-pantai yang sunyi di sepanjang jalan yang belum terjamah investor gila pariwisata.  

            Hampir lima jam sudah perjalanan. Kami melewati Palampang La Bangka. Ini adalah satu wilayah transmigrasi gelombang kedua, dimana beberapa orang tetangga dari desaku tinggal.

            Jarum jam menunjuk pukul 12 siang. Masjid-masjid memperdengarkan kaset mengaji sebagai pertanda persiapan akan segera dilaksanakan ibadah Jum’at.  Kami tiba di jalan patahan simpang tiga yang akan menuju Calabai ke arah kiri dan –Bima ke arah kanan. Di jalan simpang tiga itu terdapat sebuah masjid besar yang kubahnya dapat terlihat dari arah kedatangan kami. Tetapi, saya tidak akan melaksanakan ibadah Jum’at hari ini, karena berstatus musafir, dan akan kami ganti nanti dengan ibadah Jamak ma’al Qoshor.

            Sehubungan dengan telah masuk jam makan siang, kami pinggirkan kendaraan di depan sebuah toko bangunan yang sedang tutup.  Saya buru-buru mendatangi sebuah warung nasi di pinggir jalan simpang tiga itu. Maksudnya hendak ke toilet. Tetapi, pemilik warung bilang bahwa di warungnya tidak ada fasilitas toilet. Cilakak...!!!

            Di warung yang tidak mengijinkan kami ke toilet itu, kami memesan tiga bungkus nasi putih, sayur asem, ikan laut dan tempe, untuk makan siang ini. Kami terpaksa tidak makan di tempat karena “darurat” buang air kecil.     

            Dari jalan simpang tiga, kami mengambil ke arah kiri menuju Calabai. Beberapa orang sudah terlihat berangkat ke masjid untuk ibadah Jum’at. Di sebuah masjid di Doro Kempo, sesaat sebelum Ibadah Jumat mulai, kami sempatkan mampir untuk hajat ke toilet yang belum kesampaian.

            Kami pun melanjutkan perjalanan yang jarak tempuhnya dari pertigaan tadi, ke tujuan akhir di Sorinomo, sekitar 83 kilometer.  Melewati savana Doro Ncanga yang panjang.

            Di sebuah jalan menikung, tak jauh dari pesisir, kami melihat sebatang pohon mangga besar dan rindang, dan dua buah warung tak jauh dari pohon itu. Kami menepi dan segera menempatkan kendaraan di bawah rindang bayangan pohon. Jarum jam menunjuk pukul satu siang. Saatnya makan siang. Kami menggelar tikar plastik. Sesekali angin dari laut bertiup agak kencang..

        Sekira setengah jam, kami menikmati makan siang  di bawah rindang pohon mangga. Nikmat sekali, karena perut sudah sangat kosong. Kami meneruskan perjalnaan setelah itu. Melihat pemandangan alam yang indah, dengan jalanan aspal yang mulus, berkah dari diadakannya Festival Tambora, beberapa tahun silam. Festival yang bertujuan menarik minat wisatawan. Semata-mata buat "bisnis" orientid. 

        Festival semacam ini, di tahun-tahun berikutnya, akan semakin sering diadakan di berbagai daerah di Indonesia, bahkan dengan konsep dan tujuan yang tidak jelas, dan sering kali menabrak keseimbangan alam dan sosial masyarakat setempat. 

            Jam tiga sore, sampailah kami di tujuan, Dusun Pade Angen, Sorinomo, Kecamatan Pekat, tempat kerabat kami tinggal sebagai transmigran. Desa Sorinomo   terletak di lereng Gunung Tambora.  Itulah mengapa hawa di tempat ini lumayan dingin. 

            Malam nanti, kami akan bermalam di rumah sederhana Inaq Kake Idok, guna melepas penat setelah satu hari perjalanan dari Sumbawa Besar. Si Kecil Nisa rupanya merasa sangat asing dengan tempat ini. Mula-mula dia agak rewel, karena setelah terbangun dari tidur di kendaraan, dia menemukan tempat bermalam yang “aneh”. Bukan hotel.

            Aku terbangun pagi-pagi sekali. Sekitar jam 4. Hawa terasa sangat dingin. Air di kamar mandi juga dingin. 

          Day 5

              Keesokan pagi, aku memeriksa kondisi mesin mobil sebelum kami melanjutkan perjalanan. Ada yang tidak beres dengan air radiator di tabung reservoir. Batas maximal terlewati oleh bertambahnya cairan coolant, bukan sebaliknya. Aku membuka tabung reservoir dan menemukan selang tabung terlepas dari sambungannya. Itulah masalahnya. Akibat selang yang lepas, tidak terjadi sirkulasi cairan pendingin mesin dari tabung reservoir.

Setelah sarapan dengan menu seadanya, kami berpamitan. Tak lupa aku meminta Inaq Kake untuk berdo’a buat keselamatan kami.

          Di tengah udara pegunungan yang dingin, kami meninggalkan Sorinomo.  

            Indikator BBM menunjukkan empat digit. Perlu pengisian lagi agar tangki tetap full. Di SPBU Doro Kempo yang menjual Pertamax Ron 92, kami menepi untuk mengisi BBM. Sebab, perjalanan akan memakan waktu kira-kira lima jam lagi untuk sampai di Kota Bima.

            Secara keseluruhan, topografi alam Pulau Sumbawa sangat menarik, jika disusuri melalui jalan Trans Sumbawa-Bima. Sepanjang jalan, medan yang kami lalui didominasi dataran tinggi, lereng bukit, lembah, ceruk pantai yang menawan di bawahnya.

            Sesampai di pertigaan, tempat kami pernah berhenti sehari sebelumnya, di sebuah pusat keramaian yang menjadi titik temu jalan menuju Bima-Sumbawa-Calabai, kami berhenti di sebuah warung makan untuk membeli persiapan makan siang.  Lagi-lagi, pemilik warung makan pinggir jalan ini adalah warga Lombok. Konon, baik orang-Sumbawa Dompu atau Bima, kurang memiliki keahlian di dalam memasak. Karena itu, bisa dipastikan, hampir seluruh pemilik warung nasi di seantero Pulau Sumbawa adalah warga Lombok.

            Dengan kecepatan rata-rata antara 40 - 60 kilometer per jam, kami akan sampai di Kota Bima pada jam 12 siang. Kota Dompu sudah terlewati. Lembah dan ngarai di sisi kanan atau kiri. Matahari kian meninggi. 

            Di sebuah tikungan, kami melewati para pedagang makanan desa; umbi talas rebus, jagung, kacang tanah rebus, arus, singkong, buah nangka. Sengaja kami berhenti untuk membeli makanan-makanan desa ini. 

            Siang nanti kami akan singgah check in dan menginap  di Marina Inn,  Pantai Panda, Bima, untuk satu malam saja. Biayanya Rp. 600.000. (Beda banget dari penginapan tempat Bung Dandhy dan Suparta Ucok mengingap saat Ekspedisi keliling Indonesia) 

            Hanya setelah tiba di Bima, lalu tak sengaja, saya teringat M. Narewo, novelis kelahiran Bima, yang salah satu novelnya pernah saya baca dulu sekali sekitar tahun 2002, berjudul; Filmbuehne am Steinplatz. Dimanakah dia berada kini? Di Jakarta? Di Jerman? Di Jogja?    

            Pukul 13.00 kami sudah masuk ke penginapan. Beristirahat sejenak, menunggu hari sore. Kami berencana akan menikmati makan petang di pinggir Pantai Panda. Di situ terdapat jejeran sepanjang setengah kilometer para pedagang-pedagang  ikan bakar dan kelapa muda. Betul-betul sebuah sentra kuliner. 

            Tidak sabar ingin segera ke ikan bakar Pantai Panda, jam lima sore, ketika matahari semakin condong mendekati ujung bukit, kami meninggalkan penginapan sejauh tiga kilometer menuju pusat ikan bakar Pantai Panda. 

            Kami berhenti di salah satu kedai. Angin sore dari laut berdesir halus. Air laut tampak kekuningan oleh sinar matahari. Pengunjung tak seberapa ramai. Masing-masing kedai sudah ada pembelinya. Dari kejauhan, perahu nelayan seperti seekor binatang melata berjalan di atas air. 


Perahu nelayan pada suatu sore
di Pantai Panda, Bima / foto sam


            Pelayan ikan bakar menghampiri, begitu mobil terparkir di tepi jalan.  Menu sajian pun ditawarkan. Pesanan kami simpel saja: seekor kakap merah bakar, sayur asam, sebutir kelapa muda dan dua mangkok es kelapa muda.

            Asap mengepul dari kedai. Kakap merah pesanan kami sedang dipanggang.   Kami menunggu sambil menikmati kelapa muda, angin sore yang bertiup lembut, pemandangan laut, bukit-bukit dan matahari yang sebentar lagi menyembunyikan wajahnya ke balik bukit.         

            Kurang dari dari dua puluh menit, hidangan kami sudah tersedia. Lampu-lampu kedai menyala. Hari beranjak gelap. LUAR BIASA...!! Kakap merahnya dibakar dengan sempurna. Nasi sebakul. Sayur asem. Ada juga sayur bening daun kelor. Dan..... sambelnya empat macem; sambal tomat mentah, sambal bawang, sambal mangga muda, sambal korek dan urap daun. Betu-betul penyajian yang istimewa. Menu ini satu paket. Tanpa kami pesan terlebih dahulu. Betul-betul "mak nyuusss" seperti kata Pak Bondan Winarno di acara Wisata Kuliner Trans TV dulu. 

          Tentu saja tak semua sambal ini bisa kami habiskan. Ini berlebihan sebetulnya. Tapi okelah. Okelah. Okelah.   Kami sangat puassss... Karena, harganya juga tak mahal untuk menu sekomplit ini. Hanya; Rp. 110.000.

        Puas menikmati hidangan dan pemandangan dan sebuah lagu Melayu cengeng dari empat anak pengamen, kami bergegas meninggalkan pusat kuliner yang indah ini. 

        Malam itu, malam Minggu. Jalanan tampak lebih ramai. Namun tak ada kemacetan. Sesampai di penginapan, kami masuk kamar di lantai dua. Dari balkon lantai dua Marina Inn ini, pemandangan tepi laut, kapal dan perahu yang lalu lalang, dan kerlip lampu-lampu kota, kendaraan yang ramai, tampak.

        Day 6

        Aku bangun pagi lebih awal, jam 4. Keluar ke Balkon, dan menikmati udara dingin. Laut yang tenang. Jalanan yang sepi. Satu jam kemudian, azan subuh mengalun. Langit terang. Bintang-bintang berkerlip. Musim kemarau ditandai dingin angin. 

        Jam 8 pagi, kami bergegas sarapan. Lalu membeli makanan di kantin hotel untuk persiapan perjalanan.  Tujuan kami, Pelabuhan Sape yang akan ditempuh selama dua jam dari Kota Bima. 

        Jam 12 siang kemudian. Kami meninggalkan Marina Inn, melewati keramaian Kota Bima. Di tepi jalan, kami melihat pedagang buah Kesemek dan daun serai (lemon grass). Cepat-cepat aku tepikan kendaraan. Di Bima, harga buah kesemek mahal sekali. Satu kilo seharga Rp 30.000. Satu biji buah naga seharga Rp. 15.000. Daun serai aku beli buat jamu kebugaran dan mengatasi radang. Biasanya aku minum sebelum tidur.

        Kami meninggalkan pedagang buah dan daun serai yang senyum sumringah setelah dua kilo buah kesemek dan sebiji buah naga miliknya terjual.

        Di jantung Kota Bima, kendaraan sangat ramai. Tapi tidak macet. Sebuah bus mini warna kuning dengan tulisan "Zaydan Baru" di badannya, memuat penumpang yang berjejal di siang yang terik. Bus kuning ini nanti akan kami jumpai lagi di Pelabuhan Sape, sesaat setelah kami tiba di sana. Rupanya, rute perjalanan bus ini antara Kota Bima dan Pelabuhan Sape sebagai perhentian terakhirnya.

        Kami belum makan siang. Ini sudah jam 1 siang. Selewat kota, kami berhenti di sebuah warung makan pinggir jalan yang akan menuju ke Pelabuhan Sape. Warung Ijo nama warung makan itu. Beberapa pembeli terlihat antre. Pedagangnya orang lokal, Orang Bima. Saya ingin membuktikan apakah benar orang setempat tidak terlalu pandai memasak, dibandingkan dengan kemahiran Orang Lombok mengolah masakan. Warung-warung Lombok merajalela di seantero Pulau Sumbawa, dari Sumbawa Besar hingga di ujung Bima, membuktikan bahwa selera masakan Lombok lebih diterima oleh banyak kalangan ketimbang masakan orang setempat. 

        Kami memesan empat porsi. Menunya masakan rumahan. Ada sayur nangka santan sebagai main menu. 

        Benarlah tebakanku... Setelah mencicip makanan di Warung Ijo ini, kami mendapatkan kesan  bahwa racikan bumbu masakannya tidak terlalu kuat. Hambar dan kurang memanjakan lidah.   Tapi, jadilah makan siang ini sekedar mengganjal lapar, sampai di Pelabuhan Sape nanti. 

        Butuh waktu dua jam untuk sampai di Sape dari Kota Bima. Sepanjang jalan, sebagaimana jalanan pada umumnya di sepanjang Pulau Sumbawa ini, didominasi jalan dengan tanjakan landai daerah berbukit dan bertebing.

        Jam 4 sore kami tiba di Sape. Singgah sembahyang di sebuah masjid sebelum masuk ke Pelabuhan Sape. Di Sape, kami menyewa satu kamar penginapan Losmen Mutiara yang terletak persis di sisi pintu gerbang pelabuhan dengan biaya Rp. 300.000 semalam untuk kamar ber-AC. Sebelumnya, kami memilih akan menginap di penginapan Terapung yang kondisi kamarnya cukup bagus menurut penilaian para traveler. Tetapi penginapan di sana sudah penuh. Akhirnya, kami sengaja memilih Losmen Mutiara, agar besok pagi bisa dengan mudah menuju pelabuhan. Bang Jul mengimbau kami untuk standby dari jam 7 pagi di pelabuhan.  


Saya berdiri di depan pintu gerbang Pelabuhan Sape/foto ida rosita


        Hingga sore itu, kami belum bersua muka dengan Bang Jul.      

        Setelah kami memarkir kendaraan, dan membayar uang sewa kepada seorang pemuda penjaga losmen, Bus Zaydan Baru berhenti di depan losmen dan menurunkan serombongan penumpang; seorang ibu berkerudung, anak balita di gendongan, dua anak laki-laki satu besar satu kecil, dan seorang anak perempuan sulung berjilbab. Rupanya, ibu dengan anak-anaknya ini adalah penumpang terakhir yang turun Pelabuan Sape. 

        Mereka membawa cukup banyak barang, tas besar, koper dan tas tentengan lainnya. Mereka juga akan menginap malam ini di Losmen Mutiara. 

         Pada jam 5 sore, kami keluar dari losmen dan mencari sebuah kedai makan di penginapan Terapung, namanya Kedai Terapung. Jaraknya hanya satu kilo dari penginapan Losmen Mutiara. Kami sudah punya ancang-ancang untuk menikmati lagi menu ikan laut bakar, seperti sore sebelumnya di Pantai Panda Bima. 

        Kedai ini rupanya berdiri di atas bekas rawa-rawa. Kaki - kaki penyangga bangunannya yang terdiri dari kayu-kayu, langsung menyelam di air. Seperti terapung, sesuai namanya. Cukup asyik tempatnya. Bersih. Nyaman. Yang tidak nyaman adalah saat kami hendak memesan makanan ikan-ikanan, tidak tersedia satu pun menu ikan laut seperti yang tertera pada daftar menu. Adanya cumak ayam bakar, tahu tempe, kentang goreng. Seperti menu lalapan tenda Warung Lamongan. 

        "Waduh, dissappointed.. unfortunately... sayang sekali. kita makan di tepi laut kok tidak tersedia menu ikan lautnya..."  kataku terus terang kepada pelayan kedai. 

        "Maaf pak, ikannya tidak ada kerana sedang musim angin," jawab pelayan tanpa nada bersalah. 

        Jadinya, kami memesan ayam goreng, tahu tempe, terung goreng.  

        Terapung-apunglah harapan kami untuk bisa menyantap ikan laut bakar di Kedai Terapung.   

        Ini sangat tidak mengesankan. Unreasonable banget...!!! Di Pantai Panda Bima, kedai-kedai menyediakan menu ikan bakar semua. Memangnya di Kota Bima sedang tidak ada angiiiin.....?!!

        Okelah.. okelah... Jadilah makan sore di Kedai Terapung sebagai pengganjal perut, tanpa kesan apa-apa.

        Hari telah petang. Adzan maghrib mengalun. Kami meninggalkan Kedai Terapung dan harapan terapung kami. 

        Kami kembali ke Losmen, setelah membeli sebuah tabung gas mini untuk kompor portable yang kami bawa. 

        Malam harinya, kamar lantai dua yang kami tempati lumayan berisik oleh ulah dua kakak beradik anak laki-laki yang saling berkejaran turun-naik tangga. Sesekali si adik nyelonong masuk ke kamar kami yang cukup luas. Dia meminta anggur dan kubiarkan dia mengambil sendiri. Aku memintanya keluar dari kamar. Dan di luar kamar, mereka membuat gaduh lagi. 

        Bang Jul, kurir pelabuhan datang menghampiri losmen. Badannya tidak tinggi. Rambut agak panjang dan tidak tersisir rapi, karena pakai helm. Menunggangi sepeda NMax merah.

         Dia mengajari kami bagaimana mengaplikasikan Ferizy untuk membeli tiket secara on-line. Dan Sejak inilah kami nantinya dan seterusnya akan menggunakan Ferizy ketimbang beli di konter tiket. Ahhhh.. rupanya orang kampung macam Bang Jul ini jauh lebih maju dari kami-kami. 

        Usai mengisi data manifest dan membeli tiket via Ferizy atas petunjuk Bang Jul, kami mengobrol sekedarnya. Aku memberinya uang tips Rp. 150.000. 

    Harga tiket penyeberangan dari Pelabuhan Sape ke Labuan Bajo untuk kendaraan minibus sebesar Rp. 1.700.000. Ditambah tiket kamar VIP sebesar Rp. 75.000 per kepala. Sewa matras Rp. 25.000 per matras, kalau mau pakai matras di ruang ber-AC VIP. Kamar VIP dimaksud bisa dibeli online, bisa dibeli off line melalui "Oknum" ABK. Jika membeli lewat Oknum cukup bayar Rp. 50.000. Rincian biaya-biaya tambahan ini akan kami ketahui keesokan hari setelah kami menaiki kapal yang akan membawa kami ke Labuan Bajo.

        Bang Jul lenyap bersama sepeda N Max warna merahnya setelah menerima tips dari kami. 

        Aku dan isteriku kembali ke kamar atas Losmen. Kami harus lebih dini beristirahat, sebab besok pagi-pagi, kami harus standby di depan ruang boarding pelabuhan. 

        Sebelum tidur, aku sempatkan memasak batang serai dengan kompor gas portable. Ramuan batang serai ini adalah jamu herbal agar aku bisa tidur lebih pulas dan tenaga kembali pulih. 

      

Day 7

      Jam 4 pagi aku terbangun. Isteriku, Nisa dan Yasi masih terlelap. 

        Aku bersiap untuk sholat malam, dan menunggu subuh. 

        Sholat subuh di masjid kampung Pelabuhan Sape rasanya lebih asyik. Begitu adzan bergema, aku turun dari lantai dua Losmen menuju pintu gerbang yang masih tertutup. Seorang tamu, pria berbadan besar dan bersarung, yang ternyata berasal dari Lombok, tampak kebingunan karena dilihatnya pintu gerbang halaman losmen itu terkunci gembok. Tidak sabar ingin segera sampai ke masjid, dia pun melompati pagar setinggi dua meter. Beruntung tidak ada yang meneriakinya sebagai "Maliiiiinnngggg". 

        Aku sendiri kebingungan bagaiaman mau keluar dari losmen. Masakan pemilik losmen tega-teganya menggembok pintu gerbang. Mungkin sih maksudnya baik, biar kendaraan kami aman. Tapi ini sudah subuh, dan penjaga losmen tidak ada di tempat. 

        Aku mencoba mencari-cari jalan keluar lain, selain pintu gerbang utama itu. Dan.... ketemu... di pojok barat-utara, ada pintu kecil di depan coffee shop losmen. Pintu kecil ini tidak terkunci. Aku keluar dari sana, melenggang menuju sebuah masjid yang tak jauh dari losmen. 

        Sekembali dari masjid, Aku berjalan-jalan menuju area pelabuhan, sekedar melihat keadaan di dalamnya.  Jam 7 pagi nanti kami akan keluar dari losmen dan memarkir kendaraan di dalam pelabuhan, sesuai petunjuk Bang Jul. 

        Setelah mandi pagi, kendaraan aku panaskan. Kami mengemas barang-barang dan siap meninggalkan losmen. Kucari-cari penunggu losmen, tetapi tidak ada di tempat. Entah dimana dia. Kunci kamar kami biarkan menggantung di lubang handel pintu. Kami turun dari lantai dua, menuju kendaraan. 

        Sejurus kemudian, kendaraan kami keluar dari losmen, tanpa berpamitan kepada si pemiliknya yang entah dimana. 

        Tepat jam 7, kendaraan kami sudah bersiap di area pelabuhan. Kendaraan kami adalah kendaraan kedua yang tiba di sana. 

        Ini terlalu pagi sebetulnya. Tapi tak mengapa lah. Kami hanya mengikuti saran Bang Jul. 

        Kendaraan kami biarkan terparkir, dan kami tinggalkan ke sebuah warung makan yang terletak di jalan masuk pintu pass menuju kapal. 

        Kami memesan tiga piring nasi, dan dua bungkus untuk dibawa ke kapal. Warung makan ini cukup ramai oleh banyaknya penumpang kapal yang akan naik kapal pagi ini. 

        Di dekat pintu masuk pemeriksaan tiket penumpang, seorang nenek tua, usianya mungkin sudah 80-an tahun, duduk menjajakan jajan tradisional bikinannya. Jajan ketan dengan gula merah dan parutan kelapa. 

        Menarik juga untuk mencoba jajan jualan si Nenek renta. Kami membelinya, dengan niat membantu "ekonomi sederhana" si Nenek tua. 

        Cukup lama kami menunggu di pelabuhan. Padahal kapal yang akan kami tumpangi sudah sedari tadi terlihat parkir di mulut dermaga. KMP CUCUT nama kapal itu. Diambil dari nama ikan di laut. Konon, kata banyak penumpang yang sudah terbiasa menyeberang dari Sape ke Labuan Bajo atau sebaliknya, KMP CUCUT ini tergolong kapal paling lambat renangnya, dibanding kapal KMP Cakalan dengan trayek yang sama. 

        Dua jam lebih kami menunggu, sambil isteriku melakukan perifikasi tiket ke loket setempat. Area pelabuhan itu berangsur-angsur kian ramai. Penumpang berdatangan. Umumnya orang-orang lokal, dan beberapa lagi terlihat bule-bule bercelana sepaha dan berbusana sekedarnya. 😁 

        Isteriku, Yasi dan Nisa berangkat naik ke kapal lebih dahulu. Aku menunggu di kendaraan. 

        Di langit tampak mendung hitam. Sepertinya akan hujan. Tapi tidak jadi. Hanya gerimis sebutir dua. 

         Jam 9 lewat lima belas, kendaraan sudah diperbolehkan masuk ke kapal.   

        Di atas kapal KMP CUCUT yang padat penumpang, kami menempati sebuah ruang VIP ber-AC yang tidak terlalu luas. Di dalamnya tersedia kursi-kursi busa. Sebagian tempat duduk ruangan sudah terisi penumpang. Lebih banyak yang kosong. Kami memilih lesehan, menyewa matras tiga buah dengan ongkos Rp. 25.000 per matras. Bisa sambil tiduran melemaskan otot. Sebab, jarak yang akan ditempuh nanti cukup jauh, tujuh jam lamanya. 

        Lama kelamaan, ruang VIP itu makin ramai terisi penumpuang. Lebih banyak yang bayar lewat jasa Oknum. Macam-macam rupa penumpangnya; 

Dua pasang gaek dari Bali yang sedang melancong.

Seorang lelaki gemuk yang wajahnya agak mirip komedian Cak Lontong yang sedang bicara dengan pasangan gaek dari Bali.  

Seorang perempuan berbusana stylis, bak penyanyi kafe, dengan bulu mata melengkung. 

Seorang perempuan berkacamata mengenakan syal hijau yang menyelimuti separuh badannya, mungkin seorang penulis atau apalah, dengan sebuah laptop di hadapannya. 

Sepasang suami isteri paruh baya, barangkali seorang pendeta atau pelayan rohani Protestan, karena seringnya mereka mengawali atau mengakhiri ucapan dengan kata-kata "Puji Tuhan".

Lantas masuk pasangan muda dengan seorang anak balita. Seorang Ibu lagi dengan anak balita dan seorang anak laki-laki umur tujuh tahun.  Masuk lagi ibu muda dengan empat orang anak yang sama-sama menginap di losmen tempat kami bermalam. Dia dan anak-anaknya mengambil tempat lesehan di sebelah kami. 

Tiba-tiba kami dikejutkan pula oleh masuknya seorang pemuda sakit dalam perawatan, dengan tabung infuse. Ia ditemani dua orang rekannya, satu lelaki satu perempuan. Dia mengambil tempat di sisi ibu dengan empat anak tadi. 

Makin ramailah keadaan di dalam ruang VIP itu. Bermacam-macam orang masuk menjadi penumpang VIP, karena di luar sendiri keadaannya sangat padat. 

Duduk di dekat kami, Ibu muda dengan empat anak, seorang balita yang dalam gendongan, mulai berbincang dengan isteriku. Dia lahir di Labuan Bajo, dari keluarga Bugis Bajo, berbahasa Bugis. Orang tuanya masih tinggal di sana. Mendiami sebuah rumah di jalan utama yang dihimpit oleh hotel dan penginapan. Di sisi rumah yang ditinggali orang tuanya, berdiri Hotel Blue Ocean dan hotel saya lupa apa namanya. 

Dia dengan suaminya tinggal bekerja di Pulau Sumba. 

Karena sedang libur, dia mengajak keempat anaknya untuk pulang kampung menjenguk orang tua. Dia naik kapal dari Sumba ke Bima. Dari Bima lantas menumpang bus Zaydan Baru menuju Pelabuhan Sape. Menginap semalam di Losmen Mutiara. 

Banyaklah cerita mengalir antara isteriku dengan ibu dengan empat anak itu. Isteriku sendiri menceritakan road trip kami dari Bali ke Sumbawa. Menaiki kapal dari Bali-Lombok. Lombok-Sumbawa, dan kini berada di geladak KMP Cucut menuju Labuan Bajo. 

Keadaan di ruang VIP makin ramai. Aku sudah tidak bisa mengidentifikasi siapa-siapa lagi yang masuk ke ruangan itu. Perempuan berkacamata bersyal hijau yang barangkali seorang penulis dengan laptop di hadapannya, memprotes kru kapal karena telah memasukkan penumpang terlalu banyak (overload) ke dalam ruangan VIP.  

Suami isteri rohaniawan Protestan berusaha membantu pasien pria yang tergeletak dengan infuse, sebab cairan infusenya tidak jalan. 

Beberapa pasien yang lain memberi peringatan pada si pasien dengan nada menakut-nakuti si pasien. Karena khawatir jika terjadi apa-apa dalam perjalanan nanti. 

Kapal KMP Cucut belum ada tanda-tanda akan bertolak. 

Pada jam 11.30, barulah terdengar dari loadspeaker, suara kru yang menjelaskan bahwa sebentar lagi KMP Cucut akan berlayar menuju Labuan Bajo, Manggarai Barat NTT.

Kru itu mengakhiri pengumumannya dengan sebuah pantun yang aku sudah lupa liriknya. 

Kapal berlayar. Angin bertiup bertiup sewajarnya. Di langit masih tersisa mendung. Dengan kamera handpone, aku mengambil beberapa titik objek dari jendela ruang VIP. 

Setelah dua jam perjalanan, keadaan berubah riuh. Balita kecil yang oleh ibunya dipanggil "Hana" terjaga dan menunjukkan jati dirinya sebagai seorang balita. Benar-benar tidak hirau dengan keadaan sekitar. Si Hana menangis histeris. Sebentar jeda dan menangis lagi. Begitu seterusnya. Sementara seorang anak laki-lakinya yang lebih kecil yang dipanggilnya "Salim", mondar mandir bersuara di ruangan itu. 

Anak tertuanya seorang perempuan berjilbab bernama Asiah, yang turut bersusah payah membantu ibunya menenangkan si kecil Hana. Yang nomor dua anak lelaki bernama Aqil.

Si ibu berkali-kali memanggil menyeru nama anak-anaknya. Dan semua orang di ruangan itu jadi tahu nama keempat anaknya.   

Sudah barang tentu keadaan itu sangat mengganggu penumpang lainnya. Tetapi, bersyukur tidak ada satu pun penumpang yang memprotes langsung kepada si ibu, kecuali menggerundel di dalam hati.  

Dua jam kira-kira lama waktu tangis si mungil Hana. Si ibu nyaris prustasi dengan keadaan bayinya. "Sudahlah naaakk. Kenapa menangis Hanaaa... sudahlah naaaakkk.. Hana jangan menangis naaakkk..." 

Dua orang penumpang masuk ke ruang VIP. Dua orang ibu-ibu. Nanti keduanya akan memperkenalkan diri kepada kami. Seorang yang  lebih muda usia, bekerja sebagai pedagang buah. Seorang lagi yang berusia paruh baya, tinggal di rumahnya di dekat bandara Labuan Bajo, bersama suaminya yang sudah pensiun sebagai pegawai di Taman Nasional Komodo.  

Keduanya segera mengambil tempat duduk di dekat kami, lalu perempuan paruh baya membaringkan badan di dekat Yasi, setelah terlebih dahulu meminta ijin. 

Di luar terlalu padat, menjemukan dan bikin pusing kepala. Itulah alasan kedua penumpang ibu-ibu ini pindah ke ruang VIP. 

Akan tetapi, di ruang VIP sendiri tak kalah jauh runyamnya oleh jerit tangis si mungil Hana. 

Kasihan melihat si ibu yang nyaris prustasi menenangkan bayinya, Si Ibu paruh baya itu mengambil si mungil Hana dari gendongan ibunya. 

Ia seperti sedang merapal do'a, sambil membelai kepala si kecil Hana dengan telapak tangannya. 

Si kecil Hana tiba-tiba tak bersuara. Ia tertidur. Pulas. Hening di ruangan itu. 

Si Ibu paruh baya setelah menyerahkan bayi kecil itu kepada ibunya, berkata: 

"Ketika kamu naik ke kapal tadi, ada (mahluk halus) yang mengikutimu. Ingatlah... kalau kamu hendak bepergian jauh bersama anak kecil, bawalah olehmu beberapa lembar daun kelor dan segenggam garam laut. Dan bacalah Sholawat kepada Nabi."

Si ibu pemilik bayi hanya terdiam mendengar nasehat bijak dari ibu paruh baya. Dia tampak senang sekali melihat bayinya Hana yang tertidur pulas sekali setelah dibelai kepalanya oleh ibu paruh baya.  

Nasihat itu adalah nasihat orang tua kuno. Suatu kearifan yang sulit dicerna dengan akal manusia jaman ini. Tetapi terbukti bahwa kearifan yang datang dari masa silam itu masih bertuah. Dan kali ini kearifan itu dirasakan manfaatnya oleh si ibu dan juga oleh penumpang lainnya yang sama merasa lega setelah jeritan panjang balita itu terhenti.

Di ruangan itu, lalu, terjadilah perbincangan hangat antara kami dengan ibu paruh baya dan temannya yang lebih muda, si ibu dengan empat anaknya, antara kami dengan dua gaek dari Bali yang akan naik Pinisi. 

Menarik menyimak pengalaman dua gaek sepasang suami isteri dari Bali ini. Mengetahui kami dari Bali, mereka meminta isteriku mendekat dan mengajaknya berbincang. Tanya ini tanya itu. 

Rupanya, gaek berusia senja ini adalah para traveler sejati. Begini penuturan mereka :  

"Kami berdua berangkat dari Bali, lima hari yang lalu. Fortuner kendaraan kami. Kendaraan itu kami tinggalkan di Sape. Sebab, nanti sekembali dari Labuan Bajo, kami akan menyeberang ke Sape lagi. Kami sudah membooking Pinisi di Labuan Bajo. By the way, kami  memang hobi jalan-jalan. Pekerjaan dan bisnis sudah dihandle anak-anak. Kami pernah ke Toraja, danau Toba. Hanya ke Papua yang belum."    

Beberapa kali Aku sodorkan kepalaku ke jendela, menyingkap tirai dan melihat jauh ke barisan pulau-pulau di depan sana. Matahari kian condong ke barat, dan kapal berlayar dengan tenang ke timur. 

Pria yang kubilang mirip Cak Lontong tadi berkata pada kami. "Satu setengah jam lagi kapal akan bersandar. Itu hotel Jayakarta, sebelah sana hotel La Prima dan itu Bintang Flores," katanya menjelaskan kepada kami sambil telunjukknya maju ke depan. 

Ketika langit jadi berubah gelap. Tampaklah kemilau lampu-lampu di kejauhan. Sebentar lagi KMP CUCUT akan bersandar di Labuan Bajo. Jarum jam menunjuk pukul 7 malam.            


Pemandangan Labuan Bajo di kala senja / foto Sam


Aku sendiri terkesima melihat pemandangan malam hari di jantung Labuan Bajo. Gemerlap lampu terpancar dari halaman hotel, vila, cotage, penginapan, diskotek, supermarket, resto, cafe. 

Sungguh kehidupan malam yang ramai, seramai di Kuta Bali. 

Padahal, sebelumnya aku membayangkan bahwa begitu kapal bersandar, aku akan menyaksikan deretan rumah-rumah panggung dari kayu milik suku Bajo, Bugis.

Akan tetapi sebaliknya....

Rumah-rumah tradisional itu sudah musnah. Kita tidak melihatnya lagi di jantung Labuan Bajo. Yang tampak adalah keramaian seperti keramaian kehidupan malam di sentra-sentra wisata di Bali seperti Sanur, Kute dan Canggu. 

Turun dari kapal, kami segera meluncur ke suatu tempat, pusat kuliner di Labuan Bajo, seperti disarankan oleh si ibu pedagang buah tadi. 

Nama tempatnya "Pendopo". Pusat kuliner laut. Segala macam makanan laut. Kami men-search tempat dimaksud. Dipandu google map, tibalah kami di Pendopo, Kampung Ujung. 

Asap mengepul dari berderet kedai-kedai pinggir laut. Kendaraan roda dua terparkir memadati bagian sisi kanan jalan. Kami memilih mencari tempat parkir yang lebih aman. 

Setelah memarkir kendaraan di tanah lapang, kami berjalan kaki ke kedai. Jaraknya hanya seratus meter dari parkiran tanah lapang.  Jejeran kedai-kedai itu sendiri terletak di tepian pantai. 

Order makanan: Seekor Kakap merah, seekor cumi, dua buah kelapa muda, dan dua cup jus semangka.   

Pengunjung cukup ramai di malam itu. Terlihat bule-bule korea ataukah Jepang bermata sipit berkulit seputih kapas. Bule Eropa juga hilir mudik di tempat itu. 

Cukup lama menunggu. Ada yang bikin kurang nyaman. Asap bakaran ikan menghambur ke arah kami yang sedang duduk di meja makan, sehingga bikin sesak nafas. 

Penataan yang demikian ini sebetulnya cukup mengganggu dan kurang tepat. Posisi deretan bangku dan meja tempat makan persis berada di belakang dapur pembakaran. 

Sayang sekali. Masih lebih bagus posisi di Pantai Panda Bima. Kedai dan dapur bakaran berada terpisah seberang jalan dari gazebo pinggir pantai tempat kami menikmati makan. Pengunjung tak perlu terganggu oleh kepulan asap. 

Malam itu, kami kurang menikmati makanan karena masalah mendasar ini. Kami terganggu oleh asap pembakaran. Yang kedua, kami juga terganggu oleh tarip menunya yang terlalu melambung tinggi. 

Untuk porsi yang kami pesan, ditambah dua gelas jus dan dua butir kelapa muda, kami membayar  Rp. 360.000. 

Buat kami harga ini tinggi lhoh... 

Esok hari, di tempat aku menginap, pada sebuah kolom celekit koran Pos Kupang yang kubaca, ada komen pembaca yang mengeluhkan tingginya tarif  makanan di Pendopo Kampung Ujung. 

Di medsos, beberapa komen para traveler juga tidak sedikit yang mengeluhkan tingginya tarif makan minum di Pendopo Kampung Ujung. 


Sekitar area Pelabuhan Labuan Bajo / Foto Sam


Angin malam berhembus dari laut. Beberapa orang menawarkan ke hadapan kami, kain khas Labuan Bajo. Indah-indah ragam kainnya. Namun, kami tidak berhasrat membelinya. Para pedagang itupun berlalu.  

Dari Pendopo Kampung Ujung, kami meluncur ke Jalan Pantai Pede, letak hotel Bintang Flores tempat kami akan menginap dua malam saja. 

Praktis, pusat keramaian di Labuan Bajo hanya terdapat di sepanjang Jalan Sukarno-Hatta. Lepas dari itu, memasuki jalan Pantai Pede, jalanan berobah lengang. 

Jam 10 malam tepatnya, kami tiba di penginapan Bintang Flores. 

Seorang pelayan menyambut kami, membawa barang-barang dan mengantarkan kami ke kamar. 

Day 8

Hari pertama kami di Manggarai Barat, sehabis sarapan pagi jam 9, kami bertolak ke Warloka, hendak menyaksikan kegiatan pasar barter di sana. Sistem jual beli dengan moda pertukaran antar barang. Sayur mayur, beras, singkong dan hasil alam lainnya yang dibawa dari lereng-lerang bukit yang jauh oleh para peladang, ditukar dengan ikan segar yang baru malam tadi diangkut dari laut oleh para nelayan. 

Butuh waktu 18 menit untuk sampai ke lokasi dari penginapan Bintang Flores. Dari jalan Pantai Pede, kendaraan kami berbelok ke kanan, melewati jalanan berbukit, berliku, dengan tanjakan dan belokan yang terjal.

Bagai surga bumi yang tersembunyi, pemandangan alam di Warloka tak kalah menarik dari tempat lainnya. Menakjubkan...!!

Tempat ini masih sunyi. Belum ada bangunan hotel, vila, resort, cottage, dan segala pendanda kegiatan bisnis tourisme lainnya seperti di Labuan Bajo.

Tetapi, itu tinggal menunggu waktu. Para crazy rich Jakarta sebentar lagi akan mencincang bukit-bukit Warloka, menanam beton, dan menyulap tempat sunyi itu menjadi pusat pelesiran yang ramai. 

Di sepanjang jalan di sisi-sisi bukit, kami melihat patok-patok papan nama para pemilik tanah kosong itu: "Irene Wongso", "Herlinda Tahir", "Candra Syahril", "Danil Kurnia", "Bang Edho", dll. 

Deretan nama-nama diatas jelas bukan nama penduduk setempat, bukan...??!!

Di ujung aspal paling penghabisan, tampaklah deretan rumah-rumah panggung para nelayan Bugis, dan bangunan pasar barter yang telah sepi. 

Sayang sekali, kami tiba di lokasi terlalu siang. Aku mengira aktivitas di pasar barter Warloka berlangsung hingga tengah hari, seperti di pasar barter Wulandoni dan Labala di Lembata, seperti yang pernah kutonton di film Ekspedisi Indonesia Biru karya Bung Dandhy Laksono dan Ucok.  

Aktivitas tukar menukar barang di pasar barter Warloka berlangsung hingga jam 7 pagi. 

Kami kembali dari tempat itu, setelah mengambil beberapa gambar foto. 

Pada sore hari, kami menghabiskan waktu menikmati senja. Nisa dan Yasi berenang di kolam renang dengan air berwana biru. 

Dengan kamera handphone, aku menunggu saat-saat sun set. Ini momen klise. Terlampau kise bahkan. Tetapi orang tetap ingin mengulang-ulang mengabadikan momen klise itu: Matahari dengan warna keemasan yang akan membenamkan diri ke dalam laut. 

Berikut ini contoh jepretan saya untuk momen yang kusebut "Klise". 

(Gambar foto sun set)

Malam hari kami keluar dari hotel, mencari resto yang menyajikan masakan rumahan. Kami temukan resto ini di dekat bandara Komodo Labuan Bajo. Aku lupa nama resto cakep ini.

Tempatnya cukup nyaman. Parkir luas. Sajiannya tidak kalah oke, kendati menunya standar. Standar rumah makan pada umumnya, karena masih kita temukan misalnya menu tahu tempe penyet dan sayur asem.

Sayur asemnya pun pakai bumbu ready made sacet yang rasa micinnya sangat dominan.    

Day 9

Pagi ini, pagi terakhir menginap di Bintang Flores. Kami membuat rencana berbeda. Isteriku dan anak-anak akan berkunjung ke beberapa pulau kecil, termasuk ke sebuah pulau yang jadi ikon : Pulau Komodo. Mereka akan dijemput agen wisata, dan dibawa dengan speed boat berkeliling pulau-pulau kecil. 

Aku sendiri tidak ikut. Karena tidak tertarik dengan objek wisata yang terlalu kesohor itu.  Aku lebih suka berjalan-jalan kaki, sambil melihat dari dekat kehidupan masyarakat di sini. 

Jam 6 pagi sekali, agen wisata telah tiba di pintu hotel. Isteriku, Yasi dan Nisa yang sudah menunggu di lobi, segera masuk kendaraan travel. 


Berangkat menuju Pulau Komodo / foto sam

Setelah mereka hilang dari pandangan mata bersama kendaraan travel, aku tidak langsung kembali ke kamar. Aku duduk-duduk di lobi. Ada tumpukan koran cetak Pos Kupang di meja. Edisi lama, dua tiga hari lalu. 

Membaca koran edisi cetak, terasa seperti kita masih hidup di jaman batu. Mengapa pula masih ada media yang bertahan menerbitkan edisi cetak?? 

Barangkali masih ada tersisa satu dua pelanggan setia. Termasuk aku sendiri yang masih menggemari membaca edisi cetak kertas. 😖👀

Bosan membolak balik koran, aku meluncur menuju resto hotel untuk sarapan. 

Usai sarapan, aku berjalan-jalan santai di tepi pantai Pede berpasir putih. 

Tak jauh disebelah bangunan Hotel Bintang Flores, ada sebuah hotel lama, namanya Pantai Pede Permai Hotel.

Bangunan hotel seperti kurang terawat. Tidak ada tamu. Sunyi. Di bagian belakang yang berhadapan dengan pantai yang indah, berdiri dua pohon beringing rindang. Karena ukuran pohon terlampau besar, jadi bikin aura hotel tambah angker.  

Sayang sekali, hotel ini kurang terawat. 

Aku membuat video pendek tentang hotel yang kosong ini, sebelum kemudian pergi meninggalkannya. 

Aku melangkah di tepian pantai dengan ombak yang berderai halus. Di sebelah hotel Pantai Pede Permai terdapat lahan kosong. Beberapa pedagang kecil ada di sana. Tidak banyak. Sepertinya, tanah kosong ini sedang dalam sengketa. Terdapat papan pengumuman bertinta merah di sana yang menyatakan tanah itu dalam perselisihan. 

Di tepian pantai di tanah kosong itu, beberapa buah speed boat terparkir. Sebagian mengangguk-angguk diayun ombak. Beberapa speed boat sudah rusak dan dibiarkan ditumbuhi tumbuhan rambat. 

Ada pula perahu-perahu nelayan tradisional pencari ikan. Para nelayan ini seperti terjepit diantara banyak hotel. Perahu-perahu mereka hanya diijinkan berlayar di lahan-lahan tertentu. Sebagian kawasan pantai itu sudah jadi milik hotel yang berdiri di tepiannya.  

Setelah tanah kosong, terdapat kuburan lama. Separuh tanah kuburan sepertinya sudah disulap jadi hotel juga. Namanya Hotel La Prima. Barang sesiapa menginap di Hotal La Prima Labuan Bajo, sama dengan tidur di atas tanah kuburan...!!! 💀😅

Lelah berjalan-jalan di pasir. Aku kembali ke penginapan. Diam di kamar sambil menikmati lagu-lagu manca kesukaanku. Salah satunya adalah lagu yang belakangan kerap kuputar di kanal Utube, lagu "IF" yang dinyanyikan group band bread. Dulu semasa tinggal di Yogya, aku suka sekali memutar lagu-lagu slow manca yang kukoleksi di MP3 hardisk komputer. Salah satu yang kerap terdengar adalah lagu IF ini.         

Jam 12 siang nanti, aku sudah harus keluar dari hotel Bintang Flores. Tadi malam kami sudah memesan penginapan; Kalton Hotel, yang letaknya masih di jalan Pantai Pede, dan lebih dekat ke pusat keramaian Labuan Bajo.  

Jadi, sepulang dari Pulau Komodo, anak-anak dan induknya sudah langsung berpindah hotel.    

Aku seorang diri membereskan segala yang masih tersisa; baju-baju, kotak kopi dan teh, buku, alat-alat mandi yang kami bawa sendiri. 

Ups... Kover buku The Name of The Rose milikku, agak mirip dengan kover Injil yang tersimpan di laci meja kamar hotel. Jadi, terpaksa kuletakkan bukuku di tas tentengan itu dengan posisi judul di bagian atas, agar petugas hotel tidak mengira aku mencuri Bibel milik hotel. 

Sebetulnya, bukan hal aneh bagiku jika menemukan kitab suci di kamar hotel. Dulu waktu menginap di sebuah hotel di Pamekasan Madura, Aku jumpai ada kitab suci Al-Qur'an di kamar.   

Jam 12, aku menelpon petugas hotel untuk membawakan barang-barang ke lobi. 

Setelah menyerahkan kunci kamar kepada resepsionis, aku mengambil kendaraan di tempat parkir, kembali ke lobi untuk memasukkan barang-barang, lalu pergi meninggalkan hotel megah itu. 

Siang itu, perutku sudah mulai kosong. Teringat warung Padang di sisi jalan Pantai Pede arah menuju Warloka, dari gerbang hotel Bintang Flores, stir kendaraan kubanting ke kanan. 

Tak seberapa jauh tibalah aku di warung Padang dengan tempat yang sederhana. Mungkin pedagangnya orang Padang, atau orang Jawa yang sudah jadi Padang. 

Sungguh luar biasa daya kreasi masakan Padang. Bisa diterima oleh beragam orang di semua tempat, sehingga dimana-mana kita bisa temukan warung Padang. Bahkan kata lelucon, waktu Niel Amstrong dan kawan-kawan mendarat di bulan, di sana dijumpainya ada warung Padang. 

Penjaga warung itu seorang pria bertubuh kecil. Perokok. Aku dipersilakan untuk memilih menu sesuka hati.

Keluar dari warung Padang dengan perut kenyang, aku melanjutkan perjalanan ke arah menuju Warloka, dimana di pinggir jalan terdapat perkampungan suku Bugis dan sebuah masjid yang cukup besar. 

Di masjid kampung Bugis itu aku bersembahyang sambil menunggu waktu check in di hotel berikutnya; Kalton Hotel. 

Kalton Hotel sebetulnya tidak buruk-buruk amat. Bangunannya masih terbilang baru. Harga menginap per malam jauh di bawah tarif Bintang Flores. Ini memang hotel buat backpacker. Tempat parkir kendaraan nyaman. Letaknya tidak jauh dari pusat keramaian Labuan Bajo. Beberapa bagian hotel masih dalam tahap pembangunan. 

Masuk ke dalam lobi Kalton Hotel, aku disambut seorang pria tirus yang bicaranya agak gagap dan kakinya telanjang tak beralas. Tetapi pria tirus ini bukan petugas resepsionis. Dia pembantu yang membawakan semua barang-barangku ke kamar di lantai 2.

Setelah melunasi pembayaran untuk satu malam menginap, Rp. 600.000 dengan tambahan extra bed, aku meluncur menuju lantai 2 diantarkan pemuda tirus yang bicara dalam bahasa Indonesia logat timur.  

Kamar hotelnya tidak sempit. Lumayan bersih. Hanya ada sebuah jendela ke arah luar yang memungkinkan kita bisa melihat ke halaman belakang hotel yang masih berupa kebunan semak tak beraturan. Tidak ada alarm asap di dalam kamar. "Kamar ini bisa jadi tempat masak air dengan kompor portable," pikirku.

Pada jam 5 sore, ketika warna matahari menguningkan tembok, atap, aspal, daun-daun, -Yasi, Nisa dan mamaknya tibalah di Kalton, diantar oleh kendaraan akomodasi wisata Komodo. 

Sore hari itu juga, menjelang senja, kami meluncur ke sebuah restoran. Taman Laut Handayani, nama restoran itu. 

Terletak di sebuah ketinggian sisi tebing, dari sana kita dapat menyaksikan dan menikmati pemandangan indah Labuan Bajo. Terutama di senja hari saat kami tiba di sana. Kapal-kapal pinisi, perahu-perahu nelayan, speed boat, terapung-apung di lautan yang tenang. Bukit-bukit gagah berdiri sebagai penjaga pantai. Menara syahbandar menjulang di tengah-tengah area pelabuhan. Manusia lalu lalang hilir mudik, tampak kecil seperti gerombolan kepiting, dilihat dari ketinggian itu.   

Menu di resto cukup beragam. Kami memesan beberapa; es kelapa gula merah, ikan kakap dan cumi-cumi.  Harganya...? sudah pasti standar-lah, untuk tempat makan sebagus itu. Cukup merogoh kocek Rp. 570.000, untuk menikmati makan dengan pemandangan indah. 

Terkadang aku berpikir; makan itu ternyata butuh seni juga. "Seni Memakan". Dan seni-itulah nilai jualnya.

Cobak dipikir. Buat apa bikin resto di ketinggian tebing? Jika bukan karena nilai fetisnya? Jika bukan karena nilai eksotisnya?

Urusan makan minum bukan lagi sekedar mengenyangkan perut, tetapi orang butuh seni, tempat yang nyeni, penyajian yang nyeni, masakan nyeni. Dus, kebutuhan dasar mengenyangkan perut itu bisa jadi urusan nomor dua. Orang rela buang rupiah lebih banyak, hanya buat nyari tempat makan yang lebih nyeni. 

Jean Baudrillard, pakar kebudayaan dan filsuf kontemporer asal Perncis itu, sudah lama bicara soal fetisisme nilai tanda ini. Aku tak perlu mengulasnya, karena aku sendiri sudah lupa, bagaimana harus menjelaskannya. Hehehe...

Day 10  

Jam 4 pagi aku terjaga. Sebentar lagi subuh tiba. Aku keluar dari hotel di jam itu. Tujuanku adalah ke jalan Sukarno-Hatta yang ramai, mencari masjid di perkampungan Bugis. 

Aku berjalan kaki menyusuri trotoar di pagi buta. Jalanan masih  sepi. Udara segar. Satu dua kendaraan yang melintas. Beberapa orang turis bule tampak berjalan kaki entah hendak kemana. 

Jalan Sukarno - Hatta ini adalah jantungnya keramaian di Labuan Bajo. Seperti Kuta kalau di Bali, atau Senggigi kalau di Lombok. Sisi kiri kanan jalan dipenuhi tempat - tempat penginapan; hotel, couttege, vila, homestay, pusat perbelanjaan, jasa tourisme dan banyak lagi.

Oya, jika diperhatikan, bentuk landskap kota di wilayah Labuan Bajo, seperti bertingkat-tingkat. Dulunya, kawasan ini adalah sebuah bukit dengan kemiringan yang tidak tajam. Jalan Sukarno -Hatta adalah jalan utama. Di atasnya masih ada ruas-ruas jalan lagi.  

Aku teringat cerita ibu dengan empat anak di kapal sewaktu kami menyeberang dari Sape tempo hari. 

Rumah orang tuanya persis berada di sisi jalan Sukarno - Hatta ini. Diimpit dua buah hotel, hotel Blue Ocean dan satu lagi saya lupa. 

Rumah orang tuanya pernah secara ilegal dipasangi patok oleh oknum makelar tanah dengan tulisan "Tanah ini Dijual". 

Memang benar... rumah dan tanah orang tua si Ibu itu pernah ditawar senilai dua miliyar. Tetapi orang tuanya menolak menjual tanah dan rumah mereka. Orang tua si ibu ingin tetap berada di pusat keramaian itu, sekaligus menjadi saksi sekian puluh tahun perkembangan yang terjadi di wilayah kampung halamannya. 

Cerita ini hanya sekelumit gambaran, betapa beringasnya industri "Pariwisata", dimana oknum makelar menjalankan usaha mereka secara sembarangan, untuk merebut tanah-tanah potensial milik warga setempat, dengan tawaran nilai jual yang menggiurkan. 

Azan subuh terdengar. Aku mencari sumber suara dari pengeras speaker toa itu.

Di tengah dunia yang gemerlap di pusat keramaian tempat pelesiran seperti ini, suara azan terdengar seperti mukjizat dari langit.

Aku menuruni sebuah anak tangga dari beton semen, masuk ke lorong sempit, tempat berjejal jejal rumah warga berada. Inilah pemandangan sebenarnya, keadaan kumuh tak beraturan, rumah-rumah tinggal warga yang tersisisih, berdampingan dengan pusat keramaian yang indah menawan di atasnya.   

Rumah-rumah kumuh itu seperti tersembunyi dibalik kemewahan hotel-hotel. 

Setelah beberapa langkah, melewati rumah-rumah warga yang berimpitan, tibalah Aku di sebuah masjid. Jama'ahnya lumayan banyak. Kebanyakan orang-orang tua. 

Usai sembahyang subuh dan membaca wiridan, Aku keluar dari masjid, kembali melalui jalan dari mana Aku datang tadi. 

Aku susuri kembali jalan Sukarno - Hatta yang belum ramai. Tujuanku adalah ke Pelabuhan, dekat menara syahbandar. 

Tanpa sengaja, Aku lewat di depan Hotel Blue Ocean. Dan benar saja.. di samping hotel itu, ada sebuah rumah lantai dua berdinding triplek sepertinya. 

Aku terus melangkah menuju pelabuhan. Di pelabuhan masih sepi. Aku berjalan mengitari menara syahbandar. Beberapa penumpang kapal pinisi yang akan menuju Pulau Komodo, terlihat berbondong-bondong naik ke kapal. 

Setelah duapuluh menit lamanya, Aku putuskan kembali ke penginapan. Mumpung matahari belum tinggi. 

Di tengah jalan di ruas jalan Sukarno-Hatta, Aku membeli beberapa kue dan dua bungkus nasi dari pedagang tepi jalan, entah pedagangnya orang Jawa, Bugis ataukah Melayu. 

Makanan ini untuk sarapan pagi. Sebab Kalton Hotel tidak menyiapkan sarapan makanan nasi, kecuali teh, kopi dan roti.  

Di kamar hotel, karena tidak ada alat pendeteksi asap, kami lalu dengan leluasa menghidupkan kompor portable, untuk memasak air, bikin wedang jahe dan minuman segar. 

Setelah mandi dan sarapan seadanya, kami berkemas. Jam 10 pagi kami akan check out dari hotel.  

Isteriku telah membikin appointment dengan rekan kulihanya di UGM dulu, orang Manggarai, namanya Romanus Barusan, bekerja sebagai PNS di kantor dinas sosial Manggarai Barat.

Kunci kamar kuserahkan kepada resepsionis. Kami pun meluncur meninggalkan Kalton Hotel. Sebelum ke kediaman Romanus, kami singgah di sebuah pusat belanja oleh-oleh, tak jauh dari Bandara Udara Komodo. 

Seperti kebanyakan tempat-tempat wisata, pusat oleh-oleh selalu menjadi destinasi sampingan. Barang-barang yang dijual di sana tak beda dengan tempat-tempat belanja pusat-pusat oleh-oleh di setiap daerah dari Sabang hingga Merouke. Kaos dengan cap sablon ikon tempat wisata, kopi lokal, jajanan lokal, karya kerajinan tangan, dan banyak lagi. 

Sebetulnya, Aku agak jemu mengunjungi tempat-tempat pusat belanja oleh-oleh macam ini.  Saya lebih tertarik mencari makanan-makanan khas (legend) suatu daerah yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat, tanpa harus masuk jadi ikon rumah belanja wisata.  Seperti Nasi Balap Puyung kalau di Lombok, atau sate Rembiga-nya, atau pelecing kangkungnya.

Unfortunately, di Labuan Bajo Manggarai, Aku tak menemukan makanan yang khas itu. 

Keluar dari rumah belanja, setelah membeli beberapa buah oleh-oleh; kaos, madu, kopi, jajanan cemilan, kami pun meluncur menuju kediaman Romanus, sesuai share location. 

Masuk ke sebuah gang dengan aspal yan buruk, kami harus bertanya beberapa kali untuk memastikan letak rumah Romanus. Ya, rumahnya terletak di sebuah komplek perumahan kelas BTN dengan kreditan. 

Romanus tak ada di rumah.  Dia masih di kantor. Isterinya keluar dengan anaknya. 

Kamipun pergi dari situ, dengan meninggalkan satu kresek jajanan yang kami beli dari swalyanan untuk anak-anak Romanus. 

Tengah hari, kami mampir di sebuah rumah makan, yang terletak di sisi badan jalan raya simpang. Lagi-lagi warung Lombok. Menunya lumayan. Air mineral untuk minum ada dua merk. Ruteng dan elBadjo. Di hotel mewah Bintang Flores tempat kami menginap, air mineral soft drinknya merk Ruteng. Nama daerah di kawasan tengah pulau Flores. 

Sehabis makan, setelah mengontak kami beberapa saat lalu, Romanus muncul dengan isteri dan dua anak perempuannya yang sebaya anakku. 

Kami mengobrol di warung itu. Kira-kira dua puluh menit. Romanus sebentar menghilang dan muncul lagi dengan satu kresek roti hangat khas Manggarai Barat, roti Kompiang namanya. "Ini masih hangat.. Baru turun dari open," kata Romanus. Kami diberi buah tangan satu kresek Roti Kompiang. Sewaktu makan sore hari di resto Handayani, di tebing itu, kami sempat melihat ada roti ini terpajang di etalase dekat kasir. Jadi, ini memang penganan khas Manggarai Barat. 

Setelah berfoto-foto bareng di tepi jalan, di atas trotoar. Kami meninggalkan Romanus, Induk dan dua anaknya.   

"Kami akan langsung menuju ke Pelabuhan Wae Kalambu, dimana nanti sore kami akan naik kapal Dharma Rucitra VIII yang akan menuju Lombok." kataku kepada Romanus. 

Jam 2 siang, kami sudah di pelabuhan. Belum terlalu banyak kendaraan. Aku memarkir kendaraan di bagian halaman parkir di dekat kantor pelabuhan, di bawah bayang sebatang pohon taman parkir. Tak jauh dari tempat itu terdapat sebuah musholla, lengkap dengan toilet. Di sinilah kami tunaikan sholat.  

Tampaknya, pelabuhan ini tergolong baru, sebab banyak bangunan-bangunan fisik yang tampak masih baru; dilihat dari dinding tembok, kaca dan atapnya. 

Aku sempat tanya ini tanya itu kepada petugas jaga pelabuhan yang kebetulan sedang bertugas di pos jaga di pintu masuk menuju pelabuhan.

Tiket kapal yang sudah kita beli, harus diverifikasi terlebih dahulu, di petugas Pelni yang kantornya terletak di depan jalan simpang tiga di luar pelabuhan.

Kurang lebih satu setengah jam menunggu, petugas perifikasi tiket muncul dan duduk di tempatnya. Secara bergiliran penumpang maju menghadap petugas perifikasi tiket. 

Menjelang sore, sekira jam 5, ketika matahari sudah makin condong ke barat, barulah kendaraan kami masuk menuju area boarding pelabuhan yang cukup luas. Tetapi, kami tidak langsung masuk menuju kapal, melainkan menunggu lagi selama hampir empat puluh menit.  

Dari tempat kami menunggu sejauh kira-kira 150 meter, ke mulut dermaga, terlihat sebuah kapal besar, KMP Dharma Rucitra VIII, bagai seekor hiu raksasa yang terdampar.        

Setelah memarkir kendaraan, aku mengeluarkan tikar lipat yang kuhamparkan di tepi sisi pagar tepi laut, duduk-duduk sambil menikmati langit cerah, makanan ringan, roti kompiang, angin sore, dan matahari senja. 

Ada banyak kendaraan yang sedang parkir: truk dan mobil pribadi. 

Kami menyapa seorang sopir dan temannya yang turun dari sebuah truk double berplat DK, yang duduk kongkow tak jauh dari kami, yang tentu saja dari Bali.

Dia baru saja menyelesaikan tugas ekspedisi mengirim barang berupa telur ayam merah ke Manggarai. Kini, truk yang akan kembali ke Bali itu penuh muatan kacang tanah. 

Keduanya menceritakan bagaimana perjalanan dari Bali ke Manggarai, dengan lama masa tempuh hampir enam hari perjalanan, karena mereka harus ekstra hati-hati menjaga kecepatan lari kendaraan agar ribuan butir telur yang ada di bak truk tidak tergoncang atau meloncat ke aspal.      

Truk dengan muatan ribuan butir telur tentu tergolong "High risk".

Matahari sudah terbenam. Angin laut bertiup perlahan. Barangkali sudah maghrib. Petugas pelabuhan memberi aba-aba agar kendaraan bersiap masuk ke kapal. 

Wow.. Ini kali kami naik kapal laut berperut besar dan panjang, dengan tempat parkir bertingkat-tingkat. 

Kendaraan kami diarahkan ke tempat parkir bawah. Mungkin terbawah dari tiga tingkat yang ada. 

Dari tempat parkir, kami naik menuju ruang penumpang dengan sebuah lift, dan tiba di lantai di ruang resepsionis. Ada banyak penumpang duduk maupun tiduran di sofa panjang di ruangan ini. Koper-koper besar mereka diletakkan begitu saja di sisi tempat duduk, di dekat pintu menuju ruangan lain.  Tempat tidur kami terletak di ruangan di luar ruang resepsionis. Setelah menyerahkan tiket, kami diantar petugas menuju sebuah ruangan di lantai itu, dengan berjalan melewati para penumpang dengan koper-koper besar. 

Seperti fasilitas yang kerap kami jumpai di kapal-kapal milik DLU (Dharma Lautan Utama), ranjang tidur memanjang kami terdiri dari dua tingkat. Kami berempat di tingkat atas. Persis di bawah kami ada penumpang lain. Di sebelah kami juga penumpang lain yang tidak kami kenal, sampai kami tiba di tujuan nanti. 

Tempat tidur hanya berlapis karpet tipis. Demikian pula bantalnya yang tidak empuk, sehingga kami mengelurakan selimut tebal untuk membuat tempat tidur lebih nyaman dan bantal agar kepala terasa empuk. 

Ada tiga macam pilihan ruang di kapal, tergantung tiket yang kita pilih; kelas VIP, kelas 2, dan kelas 3. Ada juga yang tanpa kelas, alias penumpang tanpa tempat tidur. Mereka bergelimpangan di selasar dan koridor kapal, seperti gelandangan. 

Agak ramai juga penumpang kapal. Ada yang dengan tujuan hingga di Lombok, seperti kami. Ada pula yang hendak turun di tujuan akhir; di Tanjung Perak Surabaya. 

Tak jauh dari posisi kami, ada AC yang membuat ruangan sejuk. Ada juga sebuah televisi dinding yang dinyalakan, tetapi tidak ditonton dengan serius oleh penumpang yang lebih banyak memelototi layar handphone. 

Di lantai itu juga terdapat musola tempat sholat yang letaknya di ruangan lain. Malam keberangkatan kami ini malam Jumat. Sehabis sholat jama' qoshor, seperti biasa Aku membaca wiridan selama hampir 20 menit.

Keluar dari musola, Aku melihat-lihat sejenak ke luar ruangan. Angin malam berhembus pelan. Lautan sudah menjadi gelap. Tak ada warna biru seperti di siang hari.   

Aku kembai ke tempat dimana Yasi, Nisa dan mama sudah terlihat akan lelap. Akupun ingin cepat-cepat terlelap, sebab tidak ada pemandangan yang bisa dilihat selama hampir sebelas jam ke depan dalam pelayaran ini. Nonton televisi pun juga tak minat. 

Day 11

Jam 4 Aku terjaga. Suasana sepi, karena hampir seluruh penumpang di ruangan itu pulas dalam mimpi mereka masing-masing. 

Aku beranjak ke kamar kecil, kemudian ke musola untuk sholat. Waktu subuh kurang setengah jam lagi. Aku menunggu, mengisi jeda waktu subuh dengan sholat malam. 

Ketika masuk waktu subuh. Seorang muazzin berdiri mengumandangkan azan. Ramailah ruangan musola itu oleh para laki-laki dan perempuan yang sholat subuh. 

Keluar dari mushola, matahari terlihat merah di timur. Air laut yang tenang sudah terlihat. Entah sudah sampai dimana kapal ini berlayar. Mungkin sudah di Sumbawa Besar atau lebih jauh lagi.

Waktu sarapan tiba. Nasi dibagikan petugas. Kita tinggal menunjukkan kupon makan. Kebetulan kami akan mendapat jatah dua kali makan; pagi dan siang.     

Kami mencari tempat makan yang nyaman. Tidak di tempat tidur. Terlalu sumpek. 

Keluar dari ruangan, kami menuju ke lantai di bawahnya. Eiit... Rupanya ada ruang baca di kapal ini. Sebuah perpustakaan mini dengan sedikit koleksi buku. Aku ingin mencoba melihat-lihat koleksi bukunya. Tapi nanti setelah sarapan saja. 

Matahari kian terang. Jam 8 pagi. Kami masuk ke sebuah kantin yang cukup ramai. Tapi masih tersisa sebuah meja kosong dengan bangku empat buah. Cukup untuk kami berempat. 

Kami menyantap sarapan di kantin dan memesan beberapa menu tambahan, termasuk sebotol susu kacang kedelai kesukaanku. Aku tak terlalu tertarik memperhatikan, siapa saja yang bergerumun di ruangan itu. Sebagian besar mereka orang-orang Timur. Orang-Timur yang kumaksud adalah orang-orang  NTT dengan logat bahasanya yang khas. Mereka rata-rata anak muda. Mungkin mahasiswa, atau pekerja yang akan mengadu nasib ke kota besar seperti Denpasar atau Surabaya.

Usai sarapan, kami keluar melihat laut yang luas. Berfoto di anjungan kapal dengan latar belakang lautan biru. 

Setelahnya kami kembali menuju kamar istirahat. Aku dan si kecil Nisa masuk ke ruang baca. Penasaran ingin melihat apa saja buku yang tersedia di rak ruang baca. Di ruang itu juga ada sebuah komputer PC, jika kita ingin on-line. Tetapi komputernya sedang tidak berfungsi. 

Dari sekian banyak buku yang ada, hanya kebetulan ada sebuah buku yang menarik perhatianku. "Gus Dur Guru Papua" judulnya. Ditulis oleh orang Papua bernama Titus Pekei. Buku lawas. 

Dari penjelasan di buku itu, aku dapat mengingat kembali bagaimana muasal nama Irian Jaya dikembalikan ke nama aslinya; "Papua" dan diijinkannya mengibarkan bendera Bintang Kejora, di masa pemerintahan Presiden Gus Dur. Ini merupakan bagian dari pendekatan kultural yang dijalankan oleh Gus Dur guna meredam gejolak politik di tanah Papua.   

Satu jam Aku dan Nisa di ruang baca. Ada juga anak-anak kecil yang bermain dan melihat-lihat buku di ruangan itu. 

Jam 10 Aku kembali ke ruang tidur. Istirahat. Sebelum itu, aku ke tolilet kapal. Di toilet lumayan ramai. Ada beberapa orang berdiri antre. Ada enam ruangan kalau tidak salah. Yang di dalam toiliet ada yang sedang mandi, ada juga yang sedang jongkok mengeluarkan isi perut. Ruang toilet kecil. Cukup untuk satu badan seorang dewasa yang gembrot dengan berat badan 150 kg. Berhubung badanku kecil kurus, jadi lumayan cukup di ruangan itu. 

Hari semakin siang. Kapal berlayar dengan tenang. Tak ada gelombang. Siang itu hari Jum'at. Barangkali akan ada orang yang melaksanakan ibadah Jumat di kapal, pikirku. Tetapi ternyata tidak. Masing-masing orang sholat sendiri-sendiri. Aku juga sholat sendiri, sholat musafir.             

Pulau Lombok tingggal beberapa mil lagi di depan. Kapal akan sandar pada jam 1 siang di Pelabuhan Gili Mas. Kami akan turun dari kapal dan menuju ke desaku di Mujur. Menginap dua malam di kampung bersama ortu, sebelum kemudian kami menyeberang lagi ke Bali.            

     sekian. 

             

         

        

              

            

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...