
Saya seperti pernah mengenal nama itu, Frida Kahlo. Tapi di mana saya pernah menemukannya? Saya berusaha mengingat kembali dan.. O, Frida Kahlo. Saya teringat sajak yang ditulis Goenawan Mohamad, di lembaran majalah Kalam, mungkin edisi 1993 atau '94.
di alismu langit berkabung dengan jerit hitam dua burung di ragamu tiang patah di kamar narkose, ampul tertebar : rasa sakit dan sejarah
GM menulis sajak itu khusus untuk Frida Kahlo. Frida seorang perempuan, pelukis, aktivis liga pemuda komunis, yang menjalani hidup dengan lika liku kontroversial. Ibunya seorang Mexico, Katolik yang taat, yang mendukung gerakan revolusioner Zapata (Zapatista). Sementara ayahnya, Wilhelm (Guilermo) keturunan Jerman-Hongaria dan punya darah Yahudi, dan tidak percaya kepada Kristus. Silsilah yang kemudian membuat masa kecil Frida di sekolah begitu membosankan, lantaran dia kerap diolok-olok sebagai seorang keturunan Yahudi oleh teman-temannya.
Frida bersikeras bahwa dia seorang Mexico. Dia lahir pada 1907, tetapi lebih suka mengakui tanggal kelahirannya tiga tahun lebih muda: 1910, tahun permulaan revolusi di Mexico. Tahun yang kemudian paling dikenang oleh anak-anak sekolah dalam sejarah Mexico.
Frida perempuan yang cacat. Masa kecil, dia diserang penyakit polio yang membuat sebelah kakinya pincang. Di sekolah dia diolok sebagai "si pincang". Tetapi, Frida selalu tahu bagaimana caranya terus tetap dapat percaya diri. Di antara keahlian Frida yang dikagumi Cristina adalah kepintaran Frida menyembunyikan kekurangannya.
Frida seorang yang keras kepala. Paling banyak mendapat perhatian kedua orang tuanya. Dia narsis. Tapi juga cerdas. Karena itu dia diterima di sekolah paling bergengsi di negara itu, sekolah Preparatoria (Prepa), sekolah yang banyak mencetak siswa berprestasi. Di Prepa, Frida bergabung dengan Chachuchas, sekelompok anak muda beraliran kiri yang kerap membikin ulah di sekolah. Satu dari pemuda dalam kelompok itu menjadi pacar Frida, Alejandro (Alex).
Dari kelompok itu, dia banyak menyerap pikiran Freud, Marx dan Hegel. Sesuatu yang membuat dirinya berpikiran bebas dan memiliki kepercayaan diri sebagai seorang pemberontak. Di Prepa, awal mula dia berkenalan dengan seorang pelukis (mural) terkenal bernama Diego Rivera. Kelak, lelaki seniman yang digambarkan dengan menjijikkan (perut gendut, paha berlemak, kepala sebesar biji kacang, mata seperti kodok, bibir tebal) tapi selalu dapat membuat takluk perempuan itu, menjadi suami Frida.
Sebelumnya, Frida pernah menjalin hubungan asmara dengan Alejandro, lelaki yang bersamanya saat terjadi kecelakaan tabrakan trem yang mereka tumpangi. Tetapi kemudian Alex meninggalkannya. Frida juga menjalin hubungan seksual dengan seorang perempuan pegawai perpustakaan. Peristiwa yang kemudian mengguncangkan jiwa ibunya yang Katolik.
Pada akhirnya, Frida jatuh di pelukan Diego. Mereka menikah dalam upacara yang serba komunis: tanpa pendeta, tanpa baju pengantin, karena ini mengindikasikan tradisi borjuis. Pernikahan dengan Diego berlangsung tidak membahagiakan. Diego masih meneruskan kebiasaan lamanya; menggauli setiap perempuan yang disukainya.
Leon Trotsky, pemimpin komunis Rusia yang dikagumi Diego, datang ke Mexico. Frida sempat menjalin hubungan intim dengannya, demi membalas rasa sakit hati kepada Diego. Beberapa hari kemudian, Trotsky yang telah berambut putih itu tewas dengan kepala hancur. Seseorang dari lawan politiknya mengirim pembunuh untuk Trotsky.
Setelah kematian Trotsky, jalinan hubungan antara Frida dan Diego kian rapuh. Mereka bercerai, tapi kemudian menikah lagi. Frida mengalami keguguran. Dia menderita lumpuh di masa akhir hayatnya. Frida wafat pada 7 Februari 1954.
Barbara Mujica menulis kisah Frida dengan sangat cantik dari perspektif Cristina, adik kandung Frida yang mencemburui sekaligus mencintai Frida. Lalu tulis GM dalam sajak untuk Frida Kahlo:
Di ruang Meksiko itu, dengan gaun putih Tehuana, Frida menghentikan kursi rodanya. Kamar berubah suhu, tapi hidup, seperti dulu, adalah kini yang berganti-ganti... Apakah mati sebenarnya? Konon di tempat tidurnya -- sebelum orang mengangkatnya ke api kremasi -- ada seorang yang datang dan mencium parasnya, penghabisan kali, "Frida, kau adalah ketakjuban kepada harum brendi, senyum di percakapan dan ranum pisang dalam sajian makan malam. Kau tergetar kepada apa yang sebentar" "Apa yang akan ku lakukan tanpa yang absurd dan yang sementara?" Benar, begitulah ia pernah bertanya.
Komentar