Langsung ke konten utama

Isa di Mata Sigit

DIANTARA daftar lukisan yang tertera pada sebuah katalog, saya tertarik melihat satu karya yang dibuat F. Sigit Santoso. Judulnya, My Name Isa (Namaku Isa). Lukisan itu menampilkan wajah Isa (Yesus) yang kurang lazim. Yesus yang diimajinasikan Sigit di atas kanvasnya bukan Yesus seperti yang kita lihat pada umumnya: berwajah Eropa, berambut pirang, mata biru dan hidung yang menonjol. Di tangan Sigit, Yesus berubah wajah menjadi perempuan, berambut hitam panjang dan dalam jubah keabuan. Elemen-elemen seperti piring dan sepotong ikan yang terbelah oleh pisau dapur, menambah kuatnya asosiasi kita tentang Yesus perempuan.

SAYA tahu dari cerita seorang kawan bahwa Sigit adalah seorang Katolik yang taat. Dia mengetahui seluk beluk tarikh gereja. Tetapi kali ini, ketaatan Sigit tidak menghalanginya untuk mencoba menggarap imajinasi yang berhubungan dengan wilayah yang sensitif: transfigurasi wajah Yesus. Sigit ingin bermain-main dengan wilayah simbolik agama ini dengan tujuan mengajak kita untuk tidak berlaku kaku terhadap keyakinan formal. Hal-hal simbolik dalam agama dapat dijadikan wilayah main-main.

KARANGAN Sigit ini juga ingin membalik asumsi dominan tentang Yesus yang maha kasih dan dalam sejarahnya diperankan oleh sosok lelaki. Sejauh ini, menurut kepercayaan semua agama, tokoh Nabi yang diutus Alah selalu diperankan oleh lelaki. Semua agama punya spirit maskulin. Tak terkecuali agama bumi.

SIGIT menolak asumsi itu. Dia membayangkan kemungkinan seorang Nabi itu perempuan. Barangkali Yesus itu seorang perempuan. Kalau kita boleh mempercayai kebenaran bahwa Yesus lahir dari rahim Maryam yang tanpa melalui proses hubungan intim, maka apalah salahnya juga jika kita mempercayai bahwa sebetulnya Yesus itu bukan laki-laki.

HAL terpenting yang ingin disampaikan Sigit lewat karya ini adalah sebaiknya kita jangan terlalu fanatik di dalam mengimani simbol-simbol agama. Sebab sikap kaku di dalam mengimani simbol agama ini jua yang kerapkali menjadi pemicu perpecahan antara umat beragama. Karya Sigit ini seperti mencoba memberi terapi bagi kita yang terlalu lelah mengimani simbol agama secara kaku. Sebagaimana juga Sigit, saya rasa, Tuhan tidak seserius yang kita bayangkan...

Komentar

Anonim mengatakan…
oke bgt. lu bs jg tls sn rpa. komen lu dpt.

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Larantuka

Ada dua jalur yang akan ditempuh untuk sampai ke Ende. Pertama, dengan kapal laut yang bertolak dari Surabaya. Kedua, dengan kapal laut yang sama yang bertolak dari Lombok. Keduanya sama-sama pilihan yang ambigu.  Setelah berdiskusi, akhirnya kami ambil opsi kedua; bertolak dari Gilimas Lombok. Itu artinya, kami harus menyeberang ke Lombok dulu dari Padangbay menuju Lembar. Perjalanan dari rumah kami di Jembrana Bali, dimulai pada jam 2 siang, tanggal 10 Juni 2025, hari Selasa, bertepatan tanggal 14 Dzulhijjah 1446 tahun hijriyah.  Kendaraan masih Toyota Rush Konde legendaris yang sudah hampir dua belas tahun menemani perjalanan kami. Segala sesuatu persiapan terkait kendaraan ini sudah Aku cukupi. Mulai dari servis berkala, penggantian oli mesin, ganti bearings (klaher) di bagian roda depan kiri, perbaikan seal rem yang rusak, hingga penggantian empat buah ban roda. Kali ini Aku coba pakai GT Savero untuk mengganti merk ban asli Dunlop.  Harga GT Savero lebih murah 450.0...