
SAYA tahu dari cerita seorang kawan bahwa Sigit adalah seorang Katolik yang taat. Dia mengetahui seluk beluk tarikh gereja. Tetapi kali ini, ketaatan Sigit tidak menghalanginya untuk mencoba menggarap imajinasi yang berhubungan dengan wilayah yang sensitif: transfigurasi wajah Yesus. Sigit ingin bermain-main dengan wilayah simbolik agama ini dengan tujuan mengajak kita untuk tidak berlaku kaku terhadap keyakinan formal. Hal-hal simbolik dalam agama dapat dijadikan wilayah main-main.
KARANGAN Sigit ini juga ingin membalik asumsi dominan tentang Yesus yang maha kasih dan dalam sejarahnya diperankan oleh sosok lelaki. Sejauh ini, menurut kepercayaan semua agama, tokoh Nabi yang diutus Alah selalu diperankan oleh lelaki. Semua agama punya spirit maskulin. Tak terkecuali agama bumi.
SIGIT menolak asumsi itu. Dia membayangkan kemungkinan seorang Nabi itu perempuan. Barangkali Yesus itu seorang perempuan. Kalau kita boleh mempercayai kebenaran bahwa Yesus lahir dari rahim Maryam yang tanpa melalui proses hubungan intim, maka apalah salahnya juga jika kita mempercayai bahwa sebetulnya Yesus itu bukan laki-laki.
HAL terpenting yang ingin disampaikan Sigit lewat karya ini adalah sebaiknya kita jangan terlalu fanatik di dalam mengimani simbol-simbol agama. Sebab sikap kaku di dalam mengimani simbol agama ini jua yang kerapkali menjadi pemicu perpecahan antara umat beragama. Karya Sigit ini seperti mencoba memberi terapi bagi kita yang terlalu lelah mengimani simbol agama secara kaku. Sebagaimana juga Sigit, saya rasa, Tuhan tidak seserius yang kita bayangkan...
Komentar