Ada beberapa nama yang identik dengan penerbit LKiS. Salah satunya, Mas Imam Aziz. Lainnya ada M. Jadul Maula, Hairus Salim, Ahmad Fikri, Farid Wajidi.
Ketika saya baru tiba di Yogya tahun 1999, penerbit LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) itu sudah menjulang. Buku-buku terbitannya bermutu dan laris di pasaran.
Jika tidak salah ingat, buku terbitan LKiS pertama yang kubeli berjudul "Kiri Islam" karya Kazuo Shimogaki yang berisi gagasan Hassan Hanafi, dan "Tuhan Tidak Perlu Dibela" bunga rampai esai-esai Gus Dur.
Terus terang, selain kenal nama, saya tidak mengenal Mas Imam Aziz secara personal. Ia pernah diundang dalam beberapa diskusi di kampus. Tetapi, sebagai mahasiswa anak bawang, saya belum paham betul apa yang sedang dibicarakan dalam diskusi-diskusi itu.
Majalah kampus tempatku bergiat pernah meminjam gedung LKPSM di Tompeyan atas ijin Mas Imam Aziz.
Belakangan, setelah saya terlibat jadi kader di lingkaran PMII, saya baru mengerti apa proyek besar yang sedang digarap oleh Mas Imam di tahun-tahun 2000-an itu.
Ia membentuk Syarikat (Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat). Sebuah wadah untuk menjembatani proses rekonsiliasi antara pelaku dan korban kekerasan massal tahun 1965.
Pembentukan Syarikat tidak lepas dari gagasan besar Gus Dur yang menghendaki agar rakyat Indonesia harus segera dibebaskan dari belenggu masa lalu sejarah.
__
Saya sudah lama tidak mendengar kabar dimana dan bagaimana para dedengkot LKiS itu kini berkiprah.
Kabarnya, masing-masing sudah memilih jalan sendiri. Ada yang mendirikan pesantren, seperti Mas Imam Aziz, dan Mas Jadul Maula. Ada yang tetap menerbitkan buku seperti Mas Hairus Salim.
Mas Imam Aziz sudah tiada. Kabar wafatnya beredar hari Sabtu 12 Juli lalu. Semoga Allah merahmatinya. Pahala amal perjuangannya semoga senantiasa mengalir.
Komentar