Dari Negara Bali, kami (Saya, Isteri, Yasi dan Nisa putriku) berangkat dengan Bus Gunung Harta menuju Yogya, pada jam 15.30 wita. sore. Barang bawaan kami tidak banyak. Satu koper dan sebuah tas jinjing berisi pakaian. Satu kresek plastik isi makanan.
Menyeberangi selat Bali, ombak laut berarus deras ini tidak terlalu besar. Kebetulan sedang tidak berangin. Penumpang kapal cukup banyak. Kebanyakan dari mereka mungkin seperti kami yang akan berlibur ke suatu tempat.
Tiba di Jawa, matahari sudah mulai menguning. Bus melanjutkan perjalanan dari pelabuhan Ketapang ke jalur utara menuju Pantura (Situbondo, Besuki, Probolinggo, Pasuruan... dst.). Aku tertidur di dalam Bus. Nisa, si bungsu demikian pula. Dia terlelap dari semenjak Bus turun dari kapal tadi.
Hari telah gelap ketika kami terjaga. Bus tiba di perhentian pertama, di sebuah rumah makan tua, yang cat dindingnya berwarna pink, di sebelah selatan jalan-raya Situbondo-Banyuwangi. Kira-kira lima kilometer di timur Pesantren Salafiyah Sukorejo.
Waktu Maghrib masih tersisa beberapa dua puluh menit lagi. Aku dan Yasi si Sulung, bergegas mencari tempat wudlu dan toilet, lalu sholat jama' taqdim qoshor (maghrib-isya). Lepas itu, kami makan.
Menu masakannya kurang menggairahkan. Setidaknya buat Aku yang tidak doyan makan daging. Menunya; ayam sayur, tahu, oseng kol dan wortel. Minumnya teh hangat.
Setengah jam setelah waktu istirahat. Bus kembali melaju. Nisa terlelap. Aku terjaga untuk beberapa menit saja. Selewat gerbang selatan Pesantren Sukorejo tempat Aku mondok dulu, tak lupa Aku berkirim Fatihah untuk para masyayikh. Aku bayang-bayangkan wajah-wajah masyayikh, sebelum kemudian ikut terlelap karena dinginnya AC di ruangan bus itu.
Bus melaju dengan kecepatan tinggi, antara 80 - 100 km per jam. Dari Probolinggo, bus masuk jalur tol. Aku beberapa kali terjaga, tertidur, terjaga lagi, tidur lagi, jaga lagi, hingga Bus tiba di Surakarta. Jarum jam telah menunjuk pukul 4 pagi.
Matahari pagi telah menerangi halaman-halaman rumah, toko-toko, jalanan aspal, ketika Bus masuk Kota Yogya. Ini kota seribu kenangan. Kota yang hampir delapan tahun Aku diami. Untuk menjelajah sebagian dari tempat di kota ini, Aku tak memerlukan bantuan Google Map, saking lekatnya ingatanku akan jalan-jalan di Yogya. (Aku telah membuat catatan khusus mengenai perjalananku pertama kali ke Yogya).
Perhentian terakhir Bus yang kami tumpangi adalah Terminal Jombor di Yogya barat. Dari terminal ini nanti, kami akan melanjutkan perjalanan ke Borobudur di Magelang.
Turun dari Bus, kami berbenah dan mencari tempat sembahyang. Beruntung di tengah-tengah area terminal, tak jauh dari ruang tunggu penumpang, terdapat sebuah Musholla, juga toilet.
Lepas sembahyang subuh, kami duduk di ruang tunggu. Dan tak lama berselang, sebuah bus mini tua antar kota, merapat di tempat keberangkatan. Seorang lelaki tua yang kebetulan bekerja sebagai calo pencari penumpang di terminal itu setengah berteriak: "Borobudur...Borobudur... Borobudur.
Bus mini tua itu akan menuju terminal Borobudur. Kami bergegas mengemas barang dan menaiki bus mini tua itu. Aku dan Yasi mengambil tempat paling depan. Tepat di sisi kemudi supir. Mamak dan Nisa berada di kursi belakang supir.
Supir bus mini tua itu juga sudah tak muda. Tetapi masih cekatan mengendalikan porseneleng dan stir. Orangnya ramah. Tipe orang Jawa Tengahan yang suka menyapa dan mengobrol dengan sejuta basa basi.
Sudah ada sekitar tujuh penumpang di bus mini tua itu, dan berangkatlah meninggalkan terminal Jombor. Di tengah jalan, masih ada satu dua penumpang yang naik dan yang turun. Setiap penumpang yang akan turun tak lupa menghaturkan terimakasih kepada Pak Supir tua. "Monggo Pak, matur nuwun.." Dijawab oleh Pak Supir dan kondektur tua " Enggeeehh.. monggo..."
Sungguh ini menggambarkan suatu jiwa keakraban dan rasa kekeluargaan yang dalam diantara para pengguna jasa angkutan dan supir angkutan di wilayah Jawa Tengah ini. Barangkali, para penumpang itu adalah pengguna setia jasa angkutan umum di sekitar wilayah itu.
Aku sempat meminta nomor telepon Pak Supir tua yang ramah itu. Siapa tahu nanti sekembali dari Borobudur, kami akan naik angkot bus mini lagi dari Borobudur ke Yogya.
Butuh waktu satu jam lamanya untuk tiba di terminal Borobudur dari terminal Jombor Yogya. Pagi itu, kesibukan tampak dari pemandangan ramai para pedagang lapak; sayur mayur, buah-buahan dan segala macam hasil kebun lainnya di Pasar Borobudur.
Kami turun dari bus mini tua itu. Ongkos perjalanan dari Jombor ke Borobudur untuk kami berempat cuma Rp. 60.000. Atau cuma Rp. 20.000 per orang. Nisa tidak masuk hitungan kerna tergolong anak kecil.
Aku sebetulnya tidak asing dengan terminal Borobudur ini. Pernah suatu masa, Aku dan Ahmad Adib Saifuddin (alm.) sobat sekamarku di Pesantren Wahid Hasyim Gaten Sleman, menempuh perjalanan dari Umbul Harjo (terminal lama Yogya) menuju terminal Borobudur. Waktu itu, Aku diajak Kang Adib mengunjungi sebuah pesantren tempat adik Kang Adib mondok. Aku sudah lupa nama pesantren itu. Letaknya kira-kira enam kilometer dari terminal Borobudur.
Dari Terminal Borobudur, bersama Kang Adib, Aku diajak menempuh perjalanan 6 kilo jalan kaki, melewati sawah, kebun, rumah-rumah penduduk, dan meniti jembatan gantung di atas sebuah sungai yang cukup lebar, Kali Progo. Lalu lewat di sebuah pemakaman Kristen tak jauh di pinggir kali itu.
Cukup melelahkan juga perjalanan 6 kilo jalan kaki. Di tengah perjalanan, saat kami berada di sebuah perkampungan, gerimis turun. Kang Adib mengajakku singgah ke sebuah rumah. Aku lupa nama Akang yang punya rumah itu. Konon, si pemilik rumah itu adalah kawan baik Gus Duja, adik dari Kang Adib.
Kami singgah di waktu yang tepat. Sebab, setelah gerimis, disusul hujan deras sekali. Kami disuguhkan kopi oleh tuan rumah. Kami meringkuk kedinginan.
Kisah perjalananku mencari pesantren inilah yang kuceritakan pada isteriku saat tiba di terminal Borobudur. (Akan dilanjutkan......).
Komentar