Matahari di langit Madura tak seberapa terik, ketika kami menyeberangi Suramadu dan tiba di Bangkalan.
Kami segera menuju sebuah rumah makan yang sangat ramai pengunjung di pinggir jalan raya Burneh, Restoran Bebek Sinjai.
Jam 12 siang perut terasa keroncongan setelah menempuh perjalanan hampir 10 jam dari Negara Bali.
Kendati saya bukan penggila kuliner, terpaksa saya harus sedikit mereview Rumah Makan Bebek Sinjai ini. Ini rumah makan yang terbilang sangat terkenal di Madura, dan sudah menjalar menjadi waralaba.
Apa yang berkesan? Ramainya pengunjung.
Soal rasa?
Inilah masalahnya. Sajian masakan di Bebek Sinjai ini terasa kurang nendang. Dingin. Tak bergairah. Layu, jika saya bandingkan dengan sajian masakan di warung makan Bebek Rizky di lajur jalan yang sama.
Alhasil, kami semua memberi angka 4 (1~10) untuk masakan Bebek Sinjai.
Tidak perlu panjang lebar membicarakan BeBek Sinjai. Jika Anda ingin coba makan disana, coba saja, dan abaikan penilaian saya.
Dari Burneh, kami meluncur ke Demangan, menuju Pesarean makam Syaikhona Mohammad Kholil bin Lathif. Seorang ulama yang memiliki jangkauan pengaruh cukup luas di Nusantara.
Banyak dari santri yang pernah berada dalam asuhan Syaikhona, menjadi pendiri dan pengasuh pesantren besar, khususnya di Jawa dan Madura.
Yang terbayang-bayang dalam benak saya ketika memasuki Bangkalan adalah kisah perjalanan seorang pemuda santri Syaikhona yang bernama Raden As'ad bin Raden Ibrahim (Kiai Haji Syamsul Arifin), ketika membawa misi wasiat
tongkat dan tasbih.
Seperti dituturkan sendiri oleh Kiai As'ad kepada para santrinya. Sewaktu mindok di Asembagus dulu, saya pernah berkali-kali mendengar kisah ini.
Komentar