Buya Syafi'i hari ini pergi. Dia meninggalkan kita semua, bangsa yang kokoh meski terbelah. Terbelah oleh perbedaan pandangan, oleh aspirasi politik dan kepentingan. Suatu keadaan yang mungkin masih ditangisinya hingga akhir hayat.
Saya ingin mengenang satu perjumpaan pertama saya dengan Buya Syafi'i. Pernyataan Buya Syafi'i dalam pertemuan itu sangat membekas dalam ingatan saya.
Tahun 2001, saya sudah lupa hari dan tanggalnya. Ada acara bedah buku berjudul "Demokrasi untuk Indonesia" karya Hasan Tiro, bertempat di Ruang Pertemuan Lantai 2 Fisipol UGM.
Satu diantara pembicara dalam pertemuan itu adalah Dr. Ahmad Syafii Maarif. Lainnya, Tengku Ibrahim namanya.
Acara dimulai jam 10 pagi. Peserta diskusi tidak banyak, karena ada beberapa kursi kosong. Saya hadir dalam acara itu bersama-sama empat rekan sesama mahasisawa IAIN Sunan Kalijaga yang doyan hadir dalam pertemuan-pertemuan seminar, bedah buku, diskusi publik dan apa saja yang tidak memungut biaya. 😀
Begitu memasuki ruangan, pria berbadan ramping dan tinggi itu langsung kami kenali.
Mengenakan celana kain, kemeja lengan pendek dibalut rompi dengan empat saku. Berkacamata bening dengan gagang kacamata bertali rantai, sehingga saat kacamata dicopot, tergantung-gantung di leher.
Jalannya tegap dan energik, dengan tas kain berisi buku yang dicangklong di bahu.
Dialah Buya Syafi'i. Saat itu menjabat Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah menggantikan Amin Rais.
Diskusi bedah buku itu berlangsung 2 jam lebih. Tentu saya sudah lupa apa isi pembicaraan dalam bedah buku itu.
Yang mengesankan adalah cara penyampaian Buya Syafi'i yang runut, biasa dan memberi pengertian dengan mudah. Sangat berbeda dari cara para aktivis-aktivis pada masa itu berbicara dengan bahasa-bahasa canggih yang sulit dimengerti.
Cara bicara yang sederhana dan mudah dipahami ini sudah cukup jadi bukti dari kedalaman wawasan beliau.
Dua jam lebih setelah diskusi itu berakhir, Buya Syafi'i bergegas meninggalkan ruangan, diikuti sejumlah wartawan yang mewawancarainya sambil berjalan di tangga.
Satu dari wartawan bertanya dan meminta pendapat Buya Syafii mengenai wacana Presiden Abdurrahman Wahid yang menghendaki agar TAP MPR/MPRS tahun 1966 tentang Larangan ajaran Komunisme, Marxisme, dicabut.
Apa jawab Buya Syafii?
" Itu tindakan Ahistoris...! Ahistoris...!"
Bagi Buya Syafii, wacana pencabutan TAP MPRS 1966 itu tidak berdasar. Seolah Buya mengatakan "Gus Dur ahistoris"
Buya Syafii tidak setuju TAP MPRS 1966 dicabut.
Dengan kata lain, Buya Syafii masih memandang bahwa komunisme adalah sebuah ancaman, sebagaimana jamak menjadi pandangan kaum intelektual Islam haluan 'agak kanan'. Termasuk Buya Syafii sendiri.
Pernyataan Buya usai bedah buku itu tadi yang masih kuingat sampai kini.
Pernyataan itu terlontar dalam konteks ketika posisi beliau sedang menjabat ketua Muhammadiyah. Buya Syafii masih berada dalam horison pemikiran yang memandang komunisme sebagai lawan dari Islam, sekaligus musuh negara, dengan dua bukti upaya pemberontakan besar yang pernah dilakukan Partai Komunis Indonesia, Peristiwa Madiun dan Tragedi 1 Oktober 1965.
Di tahun awal pasca reformasi itu, kecuali intelektual muda NU yang bergerak maju dengan misalnya membentuk organisasi Syarikat yang bertujuan mencari jalan dalam upaya "mematahkan pewarisan ingatan" tragedi 65, Muhammadiyah belum melangkah jauh ke arah itu.
Hal itu antara lain tergambar dari sikap Buya Syafii atas usulan pencabutan TAP MPR/MPRS 1966.
Komentar