Langsung ke konten utama

Artidjo


2004

Pria itu duduk di kursi paling belakang. Belum banyak mahasiswa yang masuk ruangan Aula I Kampus IAIN Sunan Kalijaga untuk mengikuti seminar dengan pembicara utamanya, Pak Artidjo Alkostar. 

Kami segera mengenalinya, kerna tampak paling beda diantara beberapa orang di ruangan itu. 

Berjas putih kusam kemeja putih dan pantalon putih kusam. Sepatunya terlihat tidak mewah dan jarang disemir. Berkacamata. Berbadan kurus. Rambutnya tak mengkilap sebagaimana rambut orang-orang yang bekerja di bidang hukum. Wajahnya seperti terlalu sering kena matahari. Padahal ia seorang hakim agung. 

"Itu dia Pak Artidjo".

Kami bertiga; saya, kawan Agus Salim dan Ahmad Munir, menghampirinya tanpa rasa sungkan, kerna penampilannya tak mewah.  

Setelah menguraikan maksud, berlangsunglah wawancara setengah jam dengan Pak Artidjo. 

Dia merespon pertanyaan kami dengan antusias, kendati cuma majalah berskala kampus. 

Kalau tak salah tema wawancara soal hak Sarjana Syariah untuk jadi Advokat karir setara sarjana hukum. 

Saya pribadi tak punya cita-cita jadi Advokat, apalagi jadi hakim. 😄 

Itulah sesingkat perjumpaan fisik saya dan Pak Artidjo. 

Lantaran saya tidak terlalu tertarik wacana hukum, saya tidak tau banyak kemana lika liku Pak Artidjo. 

Selama menjabat hakim agung, ia sering memberatkan hukuman bagi para koruptor yang mengajukan banding ke MA. 

Pensiun dari posisi hakim agung tahun 2018, Pak Artidjo diangkat jadi dewan pengawas KPK, sampai tutup usia. 

Pak Artidjo mewariskan semangat pembela keadilan. 

Tetapi seorang Artidjo Alkostar saja tak cukup untuk memberesi pekerjaan menegakkan keadilan di negeri Pancasila, tempat para hakim itu mirip pelacur; bisa dibeli, disuap dan diharapkan memuaskan hawa nafsu belaka. 

Si pengacara jalanan itu tutup usia. Banyak yang terkejut, tak kecuali saya. 

Dia pergi. Sedang bangunan hukum di negerinya sangat rapuh. 

Dia pergi. Sedang rasa keadilan dianaktirikan. 

Dia pergi. Dan saya teringat pertemuan tahun 2004 silam itu. 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...