Langsung ke konten utama

Sehimpunan Puisi-Puisiku

Bagian ini akan memuat puisi-puisi yang kutulis pada suatu waktu, dalam suatu situasi.  

Yang Berjalan Murung
 
O, yang berjalan murung,
hendak meninggalkan kota-kota sebelum waktunya.
 
Di kepalamu, mimpi indah berkeping bagai vas bunga
tergelincir dari balkon gedung lantai lima
 
Siang kemarin,
Tuan Mandor tempatmu bekerja
menggebrak meja:
“Tak ada pesangon...!
Tak ada THR Lebaran...!
Perusahaan tutup..!!
Pergi segera...!!
Atau... bersiaplah dikarantina..!!”
 
Dan kamu setengah bersujud, mengiba.
Seakan cukup Tuan Mandor penentu hidup matimu.
 
O, kini nasibmu.
Kemanakah akan kamu bawa sepotong nyawamu,
anak dan isterimu.
 
Bekalmu cuma ongkos kerja harian,
setelah dipotong uang makan,
rokok, dan sedikit hiburan.
 
Siapa sudi memberimu tempat tinggal percuma
tanpa ongkos bulanan; listrik, air dan pulsa
 
O, langit biru di kepalamu.
Mataharinya terik merajam tubuhmu.
 
Pintu-pintu perbatasan,
menatapmu siaga,
dengan termodetektor dan disinfektan.
 
Kampung halaman,
mengutukmu dari jauh:
“Laknat... Jangan pulang...
Jangan bawa itu penyakit...
Atau kamu bakal dikurung bagai binatang..”
 
O, langit malam di kepalamu,
hitamnya kian jelaga,
memenjara harapanmu yang karam.
 
Semenjak kamu angkat kaki,
setelah Tuan Mandor mempersembahkan hadiah caci maki,
rembulan berwarna api,
kota-kota sekarat, dan mati.
Siapa peduli,
menadah perih dan nyerimu.
 
Matamu kemarau.
Barisan toko-toko dan swalayan bertekuk lutut,
hotel-hotel suram,
rumah-rumah bordil menggigil,
gedung-gedung murung,
gerai-gerai megah kehabisan gairah,
papan reklame, baliho, spanduk iklan mengigau kesepian
 
Sejengkal jarak dari sisi trotoar yang kamu lewati,
sebuah baliho iklan komersial nakal, bisu dan celaka
seperti mengejek peruntunganmu:
Buruan Belanja...!!
Berkah Ramadhan,
Jangan Lewatkan,
Diskon besar-besaran...”
 
O, matamu kemarau.
isteri dan anak menjerit,
gemetar tanganmu menodong pintu langit
berharap belas mengentasmu
dari kolong derita yang menghimpit
 
O, nasibmu berayun antara pulang atau tetap disini...
O, nasibmu berayun antara pulang atau bunuh diri...
O, nasibmu berayun
antara tiba di kampung
atau nekat meloncat dari pintu gerbong ekonomi kereta api
yang tengah berlari membawa getirmu.
 
Dimana, sisa sepotong nyawamu akan berakhir...?!
Tak ada jaminan.
Tak ada uluran tangan sesiapa bagi pengangguran macam kamu.
Bahkan ketika kamu sudah jadi mayat sekalipun..!!
 
Kecuali esok, kematianmu yang tragis dan sunyi,
diangkat jadi berita selingan sebuah televisi,
dan hanya dilihat sekelebat sebagai hiburan belaka,
bagi mereka yang #TinggalDirumahSaja.
 
Hmmm...
Siapa peduli,
nyawa pekerja sial macam kamu di musim pandemi ??!!!
 
 
Jembrana, 27 April 2020 / 4 Ramadhan 1441 Hijriyah.



Akhir Ramadhan

Ramadhan,
akhirnya kau kan berlalu
di langit 
bulan menyipit
menyerupai lengkung sabit

Ramadhan, 
Aku melepasmu dengan tertawa
bukan dengan airmata
seperti perpisahan antara dua teman yang kujumpai
saban pagi

Ramadhan,
Kau berlalu, 
seraya membelai -belai kepalaku
sebagai kekasih
seraya menangisiku
Tetapi tawaku kian riang, 
dan berharap dalam do'a yang pura-pura, 
tahun depan dipertemukannya Aku denganMu lagi.

Jembrana, Ramadhan 1441 Hijriyah  


Kepada Sahabat Masa Kecilku

Lupakah kau akan jalan pulang,
jalan kampung berlumpur dan berbatu 
Tempat kanak-kanak membendung sisa hujan, kini aspal menghitam, ke dalam layar android kanak-kanak tenggelam.

Langit siang menabur hujan
Sunyi jalanan
Lenyap gelak dan sorak.

Jembrana, 29 Desember 2017

Pulang ke Asembagus 
Mengenang Satu Abad Pondok Pesantren Sukorejo Asembagus. 

Pulang ke Asembagus,
Aku menemukan kampung masa remajaku,
tempat berguru cara membaca nawaitu sebelum berwudlu.

Pulang ke Asembagus,
Aku menemukan beribu kenangan masa remajaku, 
tertinggal pada berlapis-lapis debu
yang menempel di kelambu 
bekas kamarku.

Ah, sudah lama kiranya Aku tak datang kemari
anak yang hilang dan lupa diri
lupa melunasi hutang budi
pada guru-guru mengaji. 

Ketika Aku terbangun pada sebuah pagi
menjelang subuh hari
Mataku menerawang
menembus lorong-lorong kenangan 
Suara kaleng bekas dan benda-benda bergemerincing
yang dipukulkan di ujung malam.
Anak-anak yang terbangun malas
meninggalkan alas tidur dan bergegas
membasuh muka, menenteng kitab untuk didaras
Lalu seruan adzan dua kali, dua kali
dari surau di samping kediaman Kiai
Setelah bunyi terakhir lonceng baja besi 
dipukulkan empat kali.

Masih hidupkah Si Tukang Pukul Lonceng itu? (tanya saya)
Seorang lelaki tua, 
Kiai Syakir panggilannya
Menunggu sepanjang malam buta
tidur dan terbangun tepat waktu saja
saat tangannya harus memukulkan kentongan baja

"ia telah meninggal dunia
kini diganti putranya"
kata sebuah berita
Oh, ternyata... bunyi lonceng itu masih sama 

Pulang ke Asembagus
Aku menemukan kampung masa remajaku 

Selepas subuh, anak-anak santri tertidur bergelimpangan 
berbantal lengan, di emperan masjid 
dibangunkan paksa ketika matahari mulai meninggi.
Waktu bermimpi sudah selesai
Saatnya ke sekolah lagi

Di jeding raksasa mereka mengantre 
menunggu giliran mandi
kadang-kadang sambil becanda dan saling menjahili.

Beberapa dari mereka menenteng nasi
sarapan pagi 
dengan terung bakar, tahu tempe dan sepotong teri.

Pukul delapan sudah
di madrasah diniyah
terdengar siswa bersama-sama membaca tasrifan
dan nazham imrithy 
sebelum pelajaran dimulai

Ingin sekali Aku duduk berdesakan di antara mereka
diantara yang tertidur dan terjaga
merima pelajaran pertama 
tentang macam-macam air dan bagian-bagiannya. 

Pulang ke Asembagus 
Aku menemukan kampung masa remajaku

Waktu siang tak tersiakan
saatnya menerima pelajaran umum; kimia, fisika
matematika yang serba eksakta
sejarah, geografi, bahasa yang serba humaniora

"agar kalian tak gagap memandang zaman
agar kalian tak gelap mata menatap masa depan 
berbekal dua jenis ilmu; ilmu agama dan ilmu terapan" 
(kata guru kami menasihati)

Pulang ke Asembagus
Masih kujumpai potret kenangan nakal masa remajaku
Dari anak-anak santri yang melemparkan sandal kayu dan sepatu
ke arah buah mangga muda yang menggantung berjeruju.
Dari mereka yang lari bersembunyi ke tengah-tengah batang-batang tebu
membuang bosan dengan menghabiskan berbatang rokok Mojo dan Bentoel Biru
Dari mereka yang menyimpan bacaan-bacaan dewasa di lemari buku
membacanya sambil ngumpet diam-diam dan malu-malu
Dari mereka yang gemar bangun malam lebih dulu
sambil belajar membuka sarung temannya yang masih lugu.

Pulang ke Asembagus
Dari komplek pesantren, 
Ingin sekali Aku berjalan kaki ke timur
Berlindung di bawah rerimbun bambu
membenamkan badan yang berkeringat
ke dalam dingin aliran air Sungai Bindung.

Atau berjalan kaki ke utara
menemukan ceruk-ceruk dengan air jernih 
diantara pohon-pohon pisang, mangga dan batang sirih. 

Pulang ke Asembagus
Aku menemukan kampung masa remajaku
tempat kali pertama belajar menulis sajak
tentang cinta anak-anak rantau yang jauh dari ibu bapak

Tiba di Asembagus
Aku berjalan dari sudut ke sudut
dari lorong ke lorong antara Asta, masjid, auditorium, asrama dan bangunan madrasah. 
Warung-warung makan tepi jalan, minimarket
Toko-toko baju ramai bermunculan
Beragam jenis buku-buku bacaan 
dijajakan sembarangan
Lalu kebisingan 
dari raung kendaraan santri Luaran
dari lalu lalang becak bertenaga motor yang tak lagi dikayuh kaki. 

Angin bulan Mei memutar debu 
hinggap di mataku
daun-daun kering jatuh.

Hari telah gelap...
Aku jejalkan badanku yang kotor penuh noda dunia
di antara berbaris-baris saf santri belia
yang menjalankan ibadah fardlu bersama-sama.
Pada rakaat terakhir, Aku memperlama bersujud
terhirup aroma debu
kenangan yang lalu-lalu
dosa-dosaku pada guru
pada pesantren
...Bagaimanakah menitipkan airmata penyesalanku??!!

Selepas Maghrib
Aku berjalan mencari warung makan
mengisi perutku yang keroncongan
tetapi tak ada satu pun warung makan yang buka pada jam itu
Sebuah peraturan baru diterapkan
antara Maghrib dan Isya', aktivitas duniawi berjual beli
sementara dihentikan. 

Tak jauh dari tempatku duduk memandang langit
terdengar kitab kuning dibacakan dari masjid
Tetapi buka suara tua diselingi batuk-batuk pendek dan irit
Suara khas Kiai Dhofir Jazuli (semoga Allah merahmatinya) 
tempat Aku mengaji kitab Kasyifatussaja' karya Syeikh Nawawi Al-Bantani. 

Sudah berapa tahun lamakah Aku meninggalkan tempat ini??? 

Noda kudis dan kurap sudah lama hilang dari tubuhku
Tersisa cerita-ceritanya saja
sebagai bumbu penyedap saat saling berkisah
antara sesama alumni Salafiyah-Syafi'iyah

Hari makin gelap...
Angin bulan Mei memutar debu
hinggap di mataku
daun-daun kering jatuh

Usai adzan Isya'
Senandung Aqidatul Awam dalam bahasa awam dibacakan
sebuah syi'ir mula mengenal Tuhan
karya Raden Ibrahim Sang penemu tanah rimba tak bertuan
cikal bakal taman aqidah yang diimpikan

Konon, syi'ir Aqidatul Awam dalam bahasa awam itu
dipahat di dinding gubuk kayu tempat tinggalnya
sebelum kemudian dihujamkan ke ulu hati para begal, penyamun dan pendosa.
Kini masih dibaca setelah hampir seabad lamanya
dan akan terus dibaca hingga akhir dunia. 

Pulang ke Asembagus
Aku menemukan kampung masa remajaku

Dari surau kecil di tengah asrama pinggir jalan itu,
dulu.. Kiai Wahid membacakan Al-Kabair bakda Isya' 
diikuti santri yang berjibun hingga di tepian jalan
Tetapi,, musholla sederhana itu, beserta orang yang selalu menjadi imam di dalamnya, sudah tak ada kini. 

Tinggallah tersisa (brangkali satu-satunya)
suara lembut dan bersahaja, Kiai Afiffuddin Muhajir
mendaras kitab setelah lantunan bait-bait syi'ir keutamaan ilmu berakhir.

Angin bulan Memi memutar debu
hinggap di mataku
Berlembar kenangan masa remajaku terkubur di sini. 

Berapa tahun lamakah Aku meninggalkan tempat ini??!!
Bangunan-bangunan lama banyak tiada
berganti bangunan baru yang lebih bagus dan berlantai dua

Banyak wajah orang-orang yang masih kukenali
dan sebagian lagi nyaris tidak dapat kutandai
kecuali dari air muka mereka yang terus berseri-seri

Guru-guruku tercinta
bergelar almarhum depan namanya

Menara masjid Jami' yang menjulang itu,
kemana pula?? 
Bangunan kuno madrasah di depan surau sudah tiada
Dapur umum di utara kampus, tergusur juga
Santri lebih suka membeli daripada memasak sendiri.
Hilanglah sudah satu model keguyuban unik ala anak pondokan;
menanak bersama dan makan bersama dalam satu nampan. 

Pulang ke Asembagus
tiba di jalan selatan
Aku masih jumpai
deretan pohon-pohon asam tambun menjulang tinggi
dari pucuk-pucuknya tahun demi tahun mengalir
menyaksikan sejarah berganti. 

Asembagus, tengah Mei 2014







 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...