1993. tahun kedatanganku ke Pesantren Asembagus Sukorejo. Jam 9 pagi, bus Akas yang aku tumpangi berhenti di gerbang selatan, setelah sekira satu jam melaju dari pelabuhan Ketapang. Segera kerumunan Abang Becak mengerubuti bus, menyodorkan tempat duduk becak mereka di pintu keluar bus, bagai menadah buah jambu yang rontok saat dijolok.
Aku, dengan kupiah hitam yang kukenakan dari rumah, duduk bersama ayah dan ibuku dalam satu becak yang akan mengantarkan kami ke sebuah tempat yang sudah dipersiapkan sebagai persinggahan: "Kelapa Cabang!"
Segera Abang Becak meluncur, mengayuh dengan kaki becak yang membawa kami, di atas jalanan beraspal kasar; kanan-kiri tegalan, pohon-pohon tebu, rumah-rumah kayu khas Jawa.
Lalu tak berapa lama terlewati pula tembok bercat putih yang panjang. "Disini pesantrennya" kata ayah menuding telunjuk ke tembok panjang itu. Setelah tembok panjang putih itu, kebun-kebun dengan pohon-pohon besar dan rimbun, rumah-rumah, lalu becak belok ke kanan, berhenti tepat di bawah pohon kelapa bercabang sembilan itu.
Nama tempat yang kami tuju dikenal dengan Kelapa Cabang, karena disitu terdapat sebuah pohon kelapa dengan sembilan cabang. Tidak diketahui siapa penanam pohon kelapa unik yang diklaim sudah berusia seratus tahun ini. Cerita yang lebih masyhur dan lebih mabrur mengenai sosok penanam pohon kelapa itu ialah beliau Kiai Syamsul Arifin, peletak batu pertama pendiri Pesantren Sukorejo.
Cabang sembilan. Tentu angka 9 ini punya makna tersendiri dalam kosmos dunia santri di Jawa. 9 melambangkan jumlah para Wali paling populer penyebar ajaran agama samawi yang dibawa dari jazirah Arab di tanah Jawa. Karena itu, lambang organisasi perhimpunan kebangkitan Ulama; "Nahdlatul Ulama" disertai dengan sembilan buah bintang. Disamping itu, sembilan merupakan angka maxim dalam urutan matika.
Maka ketika pohon kelapa ini mengeluarkan secara alami sembilan buah cabang, dengan segera orang akan memberi tafsir atas peristiwa alami ini sebagai "karamah".
Lantaran berusia tua, saat Aku pertama kali melihatnya, pohon kelapa bercabang sembilan itu sudah tinggal memiliki sekerat pelepah. Daun-daunnya sudah tidak hijau lagi seperti pada gambar foto yang pernah Aku lihat.
Tak jauh dari pohon kelapa itu, terdapat rumah kayu bergaya limasan lama milik Pak Taufik, tempat kami menginap sementara, sebelum nanti Aku dan temanku Masriadi akan dibawa menghadap kepada pengasuh pesantren sebagai calon santri.
Diantara tatakrama menuntut ilmu di pesantren itu ialah seorang calon santri / pelajar harus menemui pengasuh, atau sosok yang mengampu kepemimpinan di pesantren, beserta orang tua wali.
Malam itu pukul 9 kurang, selepas isya. Saya sudah lupa malam apa. Aku dan kawanku beserta kedua orang tua kami, dan seorang pengantar kami, Mustafa alias Tapok, duduk di kursi di ndalem serambi kediaman pengasuh.
Di atas meja yang kami hadapi, terhidang makanan ringan dalam toples. Seorang khadim mengantarkan minuman hangat, kalau tak keliru orson jeruk, dalam segelas kecil yang ditempatkan di hadapan kami satu-satu.
Seeokor burung beo di sudut tempat itu, tampak ceria mengetahui kehadiran kami. Sesekali burung latah itu berucap "Alam ekum." yang berarti "Assalamu'alaikum".
Sudah setengah jam kami duduk. Belum juga tampak sosok pengasuh yang kami tunggu. Seorang khadim memberitau kepada pengantar kami Mustafa bahwa beliau Kiai Fawaid sedang ada acara di luar pesantren, dan kemungkinan akan kembali tak lama lagi.
Karena merasa lelah, Aku terkantuk-kantuk di atas kursi ruang ndalem. Sesekali jemariku menggaruk-garuk. Entah kenapa, badanku di bagian tertentu terasa seperti disengat binatang kecil. Dan memang benar, diantara celah, rongga-rongga mungil di kursi kayu yang kami duduki, bermukim kepinding, temayong (bahasa Sasak).
Aku, dengan kupiah hitam yang kukenakan dari rumah, duduk bersama ayah dan ibuku dalam satu becak yang akan mengantarkan kami ke sebuah tempat yang sudah dipersiapkan sebagai persinggahan: "Kelapa Cabang!"
Segera Abang Becak meluncur, mengayuh dengan kaki becak yang membawa kami, di atas jalanan beraspal kasar; kanan-kiri tegalan, pohon-pohon tebu, rumah-rumah kayu khas Jawa.
Lalu tak berapa lama terlewati pula tembok bercat putih yang panjang. "Disini pesantrennya" kata ayah menuding telunjuk ke tembok panjang itu. Setelah tembok panjang putih itu, kebun-kebun dengan pohon-pohon besar dan rimbun, rumah-rumah, lalu becak belok ke kanan, berhenti tepat di bawah pohon kelapa bercabang sembilan itu.
Nama tempat yang kami tuju dikenal dengan Kelapa Cabang, karena disitu terdapat sebuah pohon kelapa dengan sembilan cabang. Tidak diketahui siapa penanam pohon kelapa unik yang diklaim sudah berusia seratus tahun ini. Cerita yang lebih masyhur dan lebih mabrur mengenai sosok penanam pohon kelapa itu ialah beliau Kiai Syamsul Arifin, peletak batu pertama pendiri Pesantren Sukorejo.
Cabang sembilan. Tentu angka 9 ini punya makna tersendiri dalam kosmos dunia santri di Jawa. 9 melambangkan jumlah para Wali paling populer penyebar ajaran agama samawi yang dibawa dari jazirah Arab di tanah Jawa. Karena itu, lambang organisasi perhimpunan kebangkitan Ulama; "Nahdlatul Ulama" disertai dengan sembilan buah bintang. Disamping itu, sembilan merupakan angka maxim dalam urutan matika.
Maka ketika pohon kelapa ini mengeluarkan secara alami sembilan buah cabang, dengan segera orang akan memberi tafsir atas peristiwa alami ini sebagai "karamah".
Lantaran berusia tua, saat Aku pertama kali melihatnya, pohon kelapa bercabang sembilan itu sudah tinggal memiliki sekerat pelepah. Daun-daunnya sudah tidak hijau lagi seperti pada gambar foto yang pernah Aku lihat.
Tak jauh dari pohon kelapa itu, terdapat rumah kayu bergaya limasan lama milik Pak Taufik, tempat kami menginap sementara, sebelum nanti Aku dan temanku Masriadi akan dibawa menghadap kepada pengasuh pesantren sebagai calon santri.
Diantara tatakrama menuntut ilmu di pesantren itu ialah seorang calon santri / pelajar harus menemui pengasuh, atau sosok yang mengampu kepemimpinan di pesantren, beserta orang tua wali.
Malam itu pukul 9 kurang, selepas isya. Saya sudah lupa malam apa. Aku dan kawanku beserta kedua orang tua kami, dan seorang pengantar kami, Mustafa alias Tapok, duduk di kursi di ndalem serambi kediaman pengasuh.
Di atas meja yang kami hadapi, terhidang makanan ringan dalam toples. Seorang khadim mengantarkan minuman hangat, kalau tak keliru orson jeruk, dalam segelas kecil yang ditempatkan di hadapan kami satu-satu.
Seeokor burung beo di sudut tempat itu, tampak ceria mengetahui kehadiran kami. Sesekali burung latah itu berucap "Alam ekum." yang berarti "Assalamu'alaikum".
Sudah setengah jam kami duduk. Belum juga tampak sosok pengasuh yang kami tunggu. Seorang khadim memberitau kepada pengantar kami Mustafa bahwa beliau Kiai Fawaid sedang ada acara di luar pesantren, dan kemungkinan akan kembali tak lama lagi.
Karena merasa lelah, Aku terkantuk-kantuk di atas kursi ruang ndalem. Sesekali jemariku menggaruk-garuk. Entah kenapa, badanku di bagian tertentu terasa seperti disengat binatang kecil. Dan memang benar, diantara celah, rongga-rongga mungil di kursi kayu yang kami duduki, bermukim kepinding, temayong (bahasa Sasak).
Komentar