Diantara kenangan yang sangat membekas selama tahun-tahun pertama saya di Yogya ialah lagu-lagu pop Jawa Mas Didi Kempot.
Stasiun Balapan, Terminal Tirtonadi, dua lagu yang gandrung dinyanyikan anak-anak mahasiswa jaman itu.
"Neng Stasiun Balapan,
Kuto Solo sing dadi kenangan,
kowe karo akuuu.."
Kadang diplesetkan " kowe karo asuuu..."
Beberapa stasiun radio yang secara khusus memiliki program mengudarakan lagu-lagu pop Jawa, seperti GCD FM Gunung Kidul, Istakalisa FM, kerap dibanjiri pendengar yang gemar merequest lagu-lagu Mas Didi.
Tengoklah di tahun 2000-an awal itu, jika kita sempat berjalan-jalan di perkampungan Yogya, suara emas Mas Didi Kempot membahana di lorong-lorong, gang-gang sempit, warung-warung makan, angkringan, disamping lagu Perahu Layar karya Ki Narto Sabdo yang dipopulerkan ulang oleh grup Campursari.
Di jalanan, para pengamen profesional atau yang sekadar bermodal gitar kencrung, krencek dari tutup botol minuman, melantunkan lagu-lagu hits Mas Didi.
Warna-warna lagu Mas Didi sangat khas, mengisahkan patah hati, rindu, kasmaran, namun dengan langgam musik nge-dangdut yang ceria. Sebut saja misalnya lagu Terminal Tirtonadi. Sebelum diaransemen ulang menjadi lagu pop sedih di edisi berikutnya, lagu ini awalnya terdengar nge-dangdut ceria meski mengisahkan hal yang sedih: rindu berat. Maka tak jarang, orang yang mendengar lagunya Mas Didi memilih bergoyang ketimbang merenung.
Kalau saya mau berargumen secara esensialis, apakah cara Mas Didi melagukan lagu sedih dengan iringan musik ceria merupakan penggambaran dari jiwa "Orang Jawa" di dalam menghadapi sebuah ketertekanan psikologis atau kesulitan hidup?
Saya pernah mencoba memahami bagaimana cara "Orang Jawa" terutama orang-orang kecil di desa-desa di dalam menyikapi deraan persoalan hidup mereka. Kalau kita sempat berbincang bersama mereka, kerap kali mereka melontarkan uneg-uneg diselingi guyonan. Seorang ibu petani di sebuah pedesaan di Grobogan Jawa Tengah pernah saya ajak berbincang ngalor ngidul. Ketika saya tanya apa pekerjaannya, si ibu tadi menjawab: "Aku iki Jakso, Mas............. Jejek Rekoso."
Jakso berarti Jaksa atau Pegawai Kejaksaan. Tetapi yang dimaksud Jakso oleh si Ibu Petani itu adalah "jejek rekoso" (tetep sengsara).!!!
Guyonan yang dipercakapkan dalam kehidupan sehari-hari adalah cara lain orang-orang kecil menghadapi persoalan. Guyonan lahir dari sebuah ketidakberdayaan menanggung beban secara serius, apalagi hendak berusaha sekuat tenaga merobah nasib. Maka guyonan itu adalah sebuah pelipur lara, atau sebut saja sebagai "opium of the people" dalam bahasa Pak Jenggot Karl Marx. Tetapi tentu kita tidak dapat memaknai guyonan itu sebagai sebuah pasifisme, sikap serba tunduk dan terima nasib.
Justeru di dalam guyonan itulah kita menemukan sikap aktif, sebuah daya hidup orang-orang melarat, yakni kesiapan mereka untuk menghadapi ketertindasan itu sendiri.
Kalau kita alihkan kepada problem patah hati kaum remaja, guyonan adalah cara menghadapi ketertekanan itu sendiri.
Seolah-olah lagu-lagu Mas Didi hendak mengatakan kepada kaum patah hati: "Kamu boleh nelongso, patah hati, ambyar, terluka, tercabik-cabik, tetapi jangan kalah, tetaplah bergoyang, berdendang dan nikmati rasa lukamu itu...."
Nalikane ing tirtonadiNgenteni tekane bis wayah wengiTanganmu tak kanthiKowe ngucap janjiLungo mesti bali
Rasane ngitung nganti laliWis pirang taun anggonku ngenteniNgenteni sliramuNeng kene tak tungguNganti saelingmu
Moso rendeng wis ganti ketigoOpo kowe ra krosoNek kowe esih eling lan tresnoKudune kowe kroso
Nalikane ing tirtonadiNgenteni tekane bis wayah wengiTanganmu tak kanthiKowe ngucap janjiLungo mesti bali
Wis suwe3xKangen sing tak rasakkeRasane3xRasane koyo ngeneNeng kene3xAku ngenteni koweAku kangenKangenku mung kanggo kowe
Rasane ngitung nganti laliWis pirang taun anggonku ngenteniNgenteni sliramuNeng kene tak tungguNganti saelingmu
Wis suwe3xKangen sing tak rasakkeRasane3xRasane koyo ngeneNeng kene3xAku ngenteni koweAku kangenKangenku mung kanggo kowe
Hal lain yang menjadi ciri khas lagu-lagu Mas Didi adalah kebiasaannya untuk menggunakan tempat-tempat yang berhubungan dengan transportasi sebagai latar belakang lirik lagu patah hati dan kasmarannya. Stasiun, Terminal, Pelabuhan, adalah tempat-tempat perjumpaan dan perpisahan. Saya belum dengar Mas Didi bikin lagu tentang bandara. Mungkin karena tempat ini lebih populer sebagai tempat kelas menengah yang tidak terjangkau orang-orang kecil.
Seolah kesedihan yang dalam itu tumpah di tempat-tempat tadi; stasiun, terminal, pelabuhan, minus bandara.
Stasiun Balapan, Terminal Tirtonadi, dua lagu yang gandrung dinyanyikan anak-anak mahasiswa jaman itu.
"Neng Stasiun Balapan,
Kuto Solo sing dadi kenangan,
kowe karo akuuu.."
Kadang diplesetkan " kowe karo asuuu..."
Beberapa stasiun radio yang secara khusus memiliki program mengudarakan lagu-lagu pop Jawa, seperti GCD FM Gunung Kidul, Istakalisa FM, kerap dibanjiri pendengar yang gemar merequest lagu-lagu Mas Didi.
Tengoklah di tahun 2000-an awal itu, jika kita sempat berjalan-jalan di perkampungan Yogya, suara emas Mas Didi Kempot membahana di lorong-lorong, gang-gang sempit, warung-warung makan, angkringan, disamping lagu Perahu Layar karya Ki Narto Sabdo yang dipopulerkan ulang oleh grup Campursari.
Di jalanan, para pengamen profesional atau yang sekadar bermodal gitar kencrung, krencek dari tutup botol minuman, melantunkan lagu-lagu hits Mas Didi.
Warna-warna lagu Mas Didi sangat khas, mengisahkan patah hati, rindu, kasmaran, namun dengan langgam musik nge-dangdut yang ceria. Sebut saja misalnya lagu Terminal Tirtonadi. Sebelum diaransemen ulang menjadi lagu pop sedih di edisi berikutnya, lagu ini awalnya terdengar nge-dangdut ceria meski mengisahkan hal yang sedih: rindu berat. Maka tak jarang, orang yang mendengar lagunya Mas Didi memilih bergoyang ketimbang merenung.
Kalau saya mau berargumen secara esensialis, apakah cara Mas Didi melagukan lagu sedih dengan iringan musik ceria merupakan penggambaran dari jiwa "Orang Jawa" di dalam menghadapi sebuah ketertekanan psikologis atau kesulitan hidup?
Saya pernah mencoba memahami bagaimana cara "Orang Jawa" terutama orang-orang kecil di desa-desa di dalam menyikapi deraan persoalan hidup mereka. Kalau kita sempat berbincang bersama mereka, kerap kali mereka melontarkan uneg-uneg diselingi guyonan. Seorang ibu petani di sebuah pedesaan di Grobogan Jawa Tengah pernah saya ajak berbincang ngalor ngidul. Ketika saya tanya apa pekerjaannya, si ibu tadi menjawab: "Aku iki Jakso, Mas............. Jejek Rekoso."
Jakso berarti Jaksa atau Pegawai Kejaksaan. Tetapi yang dimaksud Jakso oleh si Ibu Petani itu adalah "jejek rekoso" (tetep sengsara).!!!
Guyonan yang dipercakapkan dalam kehidupan sehari-hari adalah cara lain orang-orang kecil menghadapi persoalan. Guyonan lahir dari sebuah ketidakberdayaan menanggung beban secara serius, apalagi hendak berusaha sekuat tenaga merobah nasib. Maka guyonan itu adalah sebuah pelipur lara, atau sebut saja sebagai "opium of the people" dalam bahasa Pak Jenggot Karl Marx. Tetapi tentu kita tidak dapat memaknai guyonan itu sebagai sebuah pasifisme, sikap serba tunduk dan terima nasib.
Justeru di dalam guyonan itulah kita menemukan sikap aktif, sebuah daya hidup orang-orang melarat, yakni kesiapan mereka untuk menghadapi ketertindasan itu sendiri.
Kalau kita alihkan kepada problem patah hati kaum remaja, guyonan adalah cara menghadapi ketertekanan itu sendiri.
Seolah-olah lagu-lagu Mas Didi hendak mengatakan kepada kaum patah hati: "Kamu boleh nelongso, patah hati, ambyar, terluka, tercabik-cabik, tetapi jangan kalah, tetaplah bergoyang, berdendang dan nikmati rasa lukamu itu...."
Nalikane ing tirtonadiNgenteni tekane bis wayah wengiTanganmu tak kanthiKowe ngucap janjiLungo mesti bali
Rasane ngitung nganti laliWis pirang taun anggonku ngenteniNgenteni sliramuNeng kene tak tungguNganti saelingmu
Moso rendeng wis ganti ketigoOpo kowe ra krosoNek kowe esih eling lan tresnoKudune kowe kroso
Nalikane ing tirtonadiNgenteni tekane bis wayah wengiTanganmu tak kanthiKowe ngucap janjiLungo mesti bali
Wis suwe3xKangen sing tak rasakkeRasane3xRasane koyo ngeneNeng kene3xAku ngenteni koweAku kangenKangenku mung kanggo kowe
Rasane ngitung nganti laliWis pirang taun anggonku ngenteniNgenteni sliramuNeng kene tak tungguNganti saelingmu
Wis suwe3xKangen sing tak rasakkeRasane3xRasane koyo ngeneNeng kene3xAku ngenteni koweAku kangenKangenku mung kanggo kowe
Hal lain yang menjadi ciri khas lagu-lagu Mas Didi adalah kebiasaannya untuk menggunakan tempat-tempat yang berhubungan dengan transportasi sebagai latar belakang lirik lagu patah hati dan kasmarannya. Stasiun, Terminal, Pelabuhan, adalah tempat-tempat perjumpaan dan perpisahan. Saya belum dengar Mas Didi bikin lagu tentang bandara. Mungkin karena tempat ini lebih populer sebagai tempat kelas menengah yang tidak terjangkau orang-orang kecil.
Seolah kesedihan yang dalam itu tumpah di tempat-tempat tadi; stasiun, terminal, pelabuhan, minus bandara.
Komentar