Pagi jum'at 27 Maret. Ini adalah hari Jumat yang menyedihkan. Sebab, siang nanti kami mesti patuh imbauan MUI, DMI, Kemenag, untuk meniadakan sementara kegiatan ibadah yang melibatkan banyak orang (jumatan), demi memutus rantai Covid 19 / coronavirus disease 19.
Meski dalam suasana serba hati-hati, saya harus berangkat juga ke tempat kerja. Jarak rumah dari gudang sejauh 11 kilometer.
Jam 7.30 pagi, kendaraan yang kutumpangi keluar dari mulut gang, di pertigaan jalan raya besar Gilimanuk-Denpasar. Selagi menunggu sepi untuk berbelok ke jalan besar, mataku tertuju pada seorang lelaki tua, dengan tongkat kayu, berjalan kaki, menutup kepalanya dengan topi kuncung, berkacamata, bercelana panjang, baju sweeter panjang dan berkaus tangan, memanggul ransel di punggung, bersepatu dekil.
Dia berusaha dengan melambaikan tongkat, memberi isyarat agar kendaraan melambat, menyeberangkan seorang nenek tua di jalan besar itu.
Aku pikir, lelaki tua ini pastilah seorang yang setengah kurang waras.
Setelah diseberangkannya nenek tua warga tetangga kampungku itu, lelaki tua bertongkat, melanjutkan perjalanan, ke arah barat.
Aku juga sedang menuju arah yang sama.
Sempat terpikir, siapa gerangan lelaki tua yang baik hati mau menyeberangkan nenek tua tadi. ?
Mungkin kurang waras, gumamku.
Sampai di tempat kerja, aku telah lupa sama sekali dengan lelaki tua pejalan kaki yang kujumpai tadi.
Satu jam berselang, sekembali dari gudang, ketika kendaraanku melaju di jalan besar, tak jauh di barat tanjakan Tukadaya, mataku menyaksikan lagi lelaki tua bertongkat pejalankaki yang senantiasa menundukkan pandangannya itu.
Wah, lelaki tua ini lagi. Ia baru sampai disini, gumamku.
Kendaraanku terus melaju, memapasi lelaki tua pejalan kaki.
Tak berapa lama, terbetik rasa penasaran, ingin aku kenali lelaki tua itu. Minimal wajahnya. Dan aku berniat memberinya uang, sekedar untuk membeli sebungkus nasi jika dia merasa lapar di perjalanan.
Sampai di depan Masjid Al Ikhlas Nuris, kendaraan kuputer balik di depan halaman parkir masjid, kembali ke arah barat, hendak mengejar lelaki tua pejalan kaki.
Ternyata sudah cukup jauh juga lelaki itu berjalan.
Setelah melewatinya, di depan halaman sebuah toko, kuputer balik lagi kendaraan menghadap timur, di sisi jalan yang bakal dilalui lelaki tua itu. Kaca mobil kubuka lebar. Kusiapkan uang selembar 20.000 yang kurogoh dari dompet.
Ketika lelaki tua itu persis berada di hadapan kendaraanku, kukeluarkan tangan. Lelaki tua itu menghentikan langkah sejenak, lalu kuulurkan uang kehadapannya, yang segera disambut tangan. Dia seperti berucap terimakasih dari mulutnya yang tak terdengar, dia menampakkan senyumnya, dan aku tersenyum pula.
Kemudian dia berlalu.
Akupun berlalu.
Aku ingat wajahnya. Kulit hitam, hidung mancung, mata agak bulat, terlihat dari balik kacamatanya, berwajah setengah arab. Rambut panjangnya yg tertutup topi kuncung, tergerai sebagian.
Entahlah, siapakah lelaki tua itu. Dia bukan orang sembarangan, gumamku kini, mencoba berbaiksangka dan tak menganggapnya gila.
Airmataku tumpah...
Kenapa tadi aku tidak turun dari kendaraan dan menanyakan identitas si lelaki tua itu?
Biarlah, biarlah.. mungkin saja dia orang setengah waras, setengah gila. Aku berusaha menghibur diri, agar tak kuputerbalik lagi kendaraan dan berusaha menebus penasaran dengan mengejar lagi lelaki tua itu.
Airmataku tumpah lagi...
Sudahlah, sudahlah,
tak guna sesal. Biarlah aku tak perlu mengenali terlalu jauh identitas siapa lelaki tua itu...
Dia orang gilakah, orang putus asakah, atau jangan jangan seorang pengamal Malamatiyah, wali yang menyembunyikan diri dari pandangan orang normal dengan menghina-papakan diri....
Begitulah aku mencoba menghibur diri, di pagi hari jumat, ketika nanti tak ada jumatan, lantaran wabah corona.
***
Dicatat di Banyubiru Negara, Sabtu dinihari, 28 Maret 2020.
Meski dalam suasana serba hati-hati, saya harus berangkat juga ke tempat kerja. Jarak rumah dari gudang sejauh 11 kilometer.
Jam 7.30 pagi, kendaraan yang kutumpangi keluar dari mulut gang, di pertigaan jalan raya besar Gilimanuk-Denpasar. Selagi menunggu sepi untuk berbelok ke jalan besar, mataku tertuju pada seorang lelaki tua, dengan tongkat kayu, berjalan kaki, menutup kepalanya dengan topi kuncung, berkacamata, bercelana panjang, baju sweeter panjang dan berkaus tangan, memanggul ransel di punggung, bersepatu dekil.
Dia berusaha dengan melambaikan tongkat, memberi isyarat agar kendaraan melambat, menyeberangkan seorang nenek tua di jalan besar itu.
Aku pikir, lelaki tua ini pastilah seorang yang setengah kurang waras.
Setelah diseberangkannya nenek tua warga tetangga kampungku itu, lelaki tua bertongkat, melanjutkan perjalanan, ke arah barat.
Aku juga sedang menuju arah yang sama.
Sempat terpikir, siapa gerangan lelaki tua yang baik hati mau menyeberangkan nenek tua tadi. ?
Mungkin kurang waras, gumamku.
Sampai di tempat kerja, aku telah lupa sama sekali dengan lelaki tua pejalan kaki yang kujumpai tadi.
Satu jam berselang, sekembali dari gudang, ketika kendaraanku melaju di jalan besar, tak jauh di barat tanjakan Tukadaya, mataku menyaksikan lagi lelaki tua bertongkat pejalankaki yang senantiasa menundukkan pandangannya itu.
Wah, lelaki tua ini lagi. Ia baru sampai disini, gumamku.
Kendaraanku terus melaju, memapasi lelaki tua pejalan kaki.
Tak berapa lama, terbetik rasa penasaran, ingin aku kenali lelaki tua itu. Minimal wajahnya. Dan aku berniat memberinya uang, sekedar untuk membeli sebungkus nasi jika dia merasa lapar di perjalanan.
Sampai di depan Masjid Al Ikhlas Nuris, kendaraan kuputer balik di depan halaman parkir masjid, kembali ke arah barat, hendak mengejar lelaki tua pejalan kaki.
Ternyata sudah cukup jauh juga lelaki itu berjalan.
Setelah melewatinya, di depan halaman sebuah toko, kuputer balik lagi kendaraan menghadap timur, di sisi jalan yang bakal dilalui lelaki tua itu. Kaca mobil kubuka lebar. Kusiapkan uang selembar 20.000 yang kurogoh dari dompet.
Ketika lelaki tua itu persis berada di hadapan kendaraanku, kukeluarkan tangan. Lelaki tua itu menghentikan langkah sejenak, lalu kuulurkan uang kehadapannya, yang segera disambut tangan. Dia seperti berucap terimakasih dari mulutnya yang tak terdengar, dia menampakkan senyumnya, dan aku tersenyum pula.
Kemudian dia berlalu.
Akupun berlalu.
Aku ingat wajahnya. Kulit hitam, hidung mancung, mata agak bulat, terlihat dari balik kacamatanya, berwajah setengah arab. Rambut panjangnya yg tertutup topi kuncung, tergerai sebagian.
Entahlah, siapakah lelaki tua itu. Dia bukan orang sembarangan, gumamku kini, mencoba berbaiksangka dan tak menganggapnya gila.
Airmataku tumpah...
Kenapa tadi aku tidak turun dari kendaraan dan menanyakan identitas si lelaki tua itu?
Biarlah, biarlah.. mungkin saja dia orang setengah waras, setengah gila. Aku berusaha menghibur diri, agar tak kuputerbalik lagi kendaraan dan berusaha menebus penasaran dengan mengejar lagi lelaki tua itu.
Airmataku tumpah lagi...
Sudahlah, sudahlah,
tak guna sesal. Biarlah aku tak perlu mengenali terlalu jauh identitas siapa lelaki tua itu...
Dia orang gilakah, orang putus asakah, atau jangan jangan seorang pengamal Malamatiyah, wali yang menyembunyikan diri dari pandangan orang normal dengan menghina-papakan diri....
Begitulah aku mencoba menghibur diri, di pagi hari jumat, ketika nanti tak ada jumatan, lantaran wabah corona.
***
Dicatat di Banyubiru Negara, Sabtu dinihari, 28 Maret 2020.
Komentar