Hari ini tersiar kabar Kiai kharismatik pemangku pesantren Sarang Rembang Mbah Maimoen Zubair wafat di Makkah saat tengah berhaji.
Usia beliau sudah lanjut. 90 tahun kini. Keberangkatan beliau ke baetullah, rumah Allah, kota Makkah yang menjadi jantung religi umat Islam seakan-akan sebuah panggilan untuk bertemu Tuhan dalam arti yang sebenarnya.
Saya punya sedikit saja kenangan tentang Mbah Moen, yang ingin sekali kutuliskan setelah mendengar kabar duka ini.
Di lemari kecilku aku mencari sebuah buku catatan perjalanan. buku mungil yang berisi catatan-catatan singkat perjalananku ke suatu tempat antara tahun 2001 hingga 2003.
Hari itu Ahad 24 Agustus 2002. Aku merencanakan akan pergi ke sebuah tempat perkampungan nelayan di Sarang. Ini bagian dari rangkaian perjalanan tahap keduaku meliput kegiatan "sedekah laut" masyarakat pesisir utara Jawa yang akan dimuat dalam Laporan Utama Majalah Advokasia Fakultas Syariah IAIN Suka.
Pada perjalanan tahap pertama sebelumnya dalam bulan Juli, aku ditemani kawan Ibnul Arobi (alm.) sesama awak Advo.
Perjalanan tahap dua dalam bulan Agustus, Aku berangkat seorang diri ke Rembang. Aku menginap di kediaman kawan Muchroz Mawardi di Gandrirojo, Kecamatan Sedan, kira-kira 9 kilometer ke arah selatan dari pertigaan Pandangan Pantura Rembang. (Tentang perjalananku ke Rembang ini sudah kutulis di blog ini saat mengenang kepergian Kawan Ibnul Arobi).
Kembali ke cerita Hari Ahad 24 Agustus tadi. Setelah diantar ke pertigaan Pandangan oleh kawan Muchroz, dari sana Aku naik bus ukuran kecil yang berjalan ke arah timur. Tujuanku ke sebuah kampung nelayan di Sarang, menziarahi sebuah makam ulama dari Hadramawut yang dikenal sebagai makam Mbah Sangkrah di Sarang.
Penumpang bus mini hari Ahad itu didominasi laki-laki berpeci yang ternyata bermaksud untuk hadir pada pengajian mingguan Mbah Moen yang diadakan di Pesantren Al-Anwar Sarang.
Itu aku ketahui setelah Aku bertanya kepada salah seorang lelaki berpeci yang Aku duduk di sebelahnya... Dia bilang mau ke Pengajian Mbah Moen. Aku bertanya pada lelaki itu lagi tentang keberadaan makam Mbah Sangkrah, dan dia tahu belaka mengenai keberadaan makam itu yang ternyata letaknya tidak seberapa jauh dari Pesantren Mbah Moen.
Sebelumnya Aku tidak berniat akan berkunjung ke Pesantren Sarang, berhubung Aku belum pernah datang ke sana, maka setelah perbincanganku dengan lelaki berpeci tadi, seketika itu Aku membelokkan niat umtuk terlebih dulu mengikuti langsung kegiatan pengajian kitab tafsir Jalalain yang diampu Mbah Moen.
Turun dari bus, aku mengikuti orang-orang berpeci dan bersarung tadi masuk ke pekarangan Pesantren Mbah Moen. Mereka para peserta pengajian ini sebagian besar adalah orang-orang kecil; entah nelayan, pedagang warungan, petani, yang masih berharap meraup percikan berkah Mbah Moen.
Di tempat pengajian itu berlangsung, di sebuah bangunan ruangan besar yang berhadapan dengan kediaman Mbah Moen, Aku betul-betul menjadi 'orang asing' karena hanya Akulah peserta pengajian yang bercelana panjang, tidak berpeci dan membawa sebuah ransel pula. Ransel itu berisi sebuah kamera analog dan buku catatan.
Meskipun berpenampilan paling beda, Aku sedikitpun tidak merasa canggung berada di tengah-tengah keramaian peserta pengajian itu, sebab barangkali karena pada diriku masih melekat perasaan jiwa sebagai seorang santri. Dan kali ini Aku merasa menjadi santri Mbah Moen. Walau sehari.
Di dalam ruangan besar itu, Mbah Moen adalah pusat segala perhatian. Pandangan mata fisiknya masih tajam melafal kalimat-kalimat dalam halaman kitab kuning yang dibacanya. Atau barangkali beliau sudah hafal belaka isi dari kitab Tafsir Jalalain itu. Dengan fasih beliau menerangkan kalimat- demi kalimat dalam bahasa masyarakat kebanyakan, bahasa Jawa.. Dan yang masih samar-samar kuingat dari penjelasan Mbah Moen ialah ketika beliau mengait-ngaitkan isi kitab yang dibacanya dengan realitas politik pada masa itu, sesekali diselingi humor-humor satire ala santri. Jadi, penjelasan Mbah Moen terdengar sangat politis. Maklum,, beliau adalah ulama yang konsisten menapakkan sebelah kakinya di gelanggang politik dan yang sebelah lagi tetap di pesantren. Sebab, beliau berangkat dari sebuah keyakinan bahwa urusan negara yang mesti ditangani dengan alat politik, bagaimanapun pelik dan tampak duniawinya adalah merupakan bagian dari urusan agama itu sendiri.
Usai pengajian kitab tafsir yang ditutup doa oleh Mbah Moen, orang-orang berebut menjabat tangan kiai sepuh itu. Pemandangan paling unik yang kulihat di ruangan itu adalah ketika satu persatu jamaah pengajian itu bergiliran meminum segelas air sisa minuman Mbah Moen. Bahkan ketika air di dalam gelas itu sudah habis, mereka masih bergantian mencengkram gelas dan meminum dari gelas kosong itu....!!!
Nama Kiai Maimoen Zubair pertama kali Aku kenal diantara sekian banyak nama kiai NU ialah pada sekitar tahun 1997 ketika Aku dan kawanku hadir memenuhi undangan lomba Syarhil Quran antar pesantren dalam rangka haul salah seorang pengasuh di Pesantren Tambak Beras Jombang.
Waktu itu Mbah Moen menjadi pengisi ceramah pada puncak acara.
Berhubung Aku belum begitu faham bahasa Jawa, jadi ceramah Mbah Moen terdengar seperti bunyi belaka yang tidak Aku fahami.
Ketika jamaah tertawa, Aku bingung dan mikir sendiri apa yang mereka tertawakan dari ceramah Mbah Moen.
Akan tetapi sangat tampak dari cara menyampaikan ceramahnya bahwa beliau seorang yang berwawasan luas, menguasai persoalan..
Hanya agak belakangan saya ketahui bahwa Mbah Moen ternyata seorang kiai aktivis yang sepanjang hayatnya mengabdi untuk negeri lewat kendaraan bernama partai (PPP).
Keteguhan sikap dan pendiriannya terlihat dari tetapnya pilihan untuk PPP, terlepas dari pasang surut dan baik buruknya partai ini.
Suatu sikap yang jarang dimiliki oleh politisi jaman ini yang lebih gemar loncat pagar, gonta ganti baju partai...!!
*Catatan ini untuk mengenang kepergian KH. Maimoen Zubair yang wafat hari ini Selasa 5 Dzulhijjah 1440 Hijri.
Usia beliau sudah lanjut. 90 tahun kini. Keberangkatan beliau ke baetullah, rumah Allah, kota Makkah yang menjadi jantung religi umat Islam seakan-akan sebuah panggilan untuk bertemu Tuhan dalam arti yang sebenarnya.
Saya punya sedikit saja kenangan tentang Mbah Moen, yang ingin sekali kutuliskan setelah mendengar kabar duka ini.
Di lemari kecilku aku mencari sebuah buku catatan perjalanan. buku mungil yang berisi catatan-catatan singkat perjalananku ke suatu tempat antara tahun 2001 hingga 2003.
Hari itu Ahad 24 Agustus 2002. Aku merencanakan akan pergi ke sebuah tempat perkampungan nelayan di Sarang. Ini bagian dari rangkaian perjalanan tahap keduaku meliput kegiatan "sedekah laut" masyarakat pesisir utara Jawa yang akan dimuat dalam Laporan Utama Majalah Advokasia Fakultas Syariah IAIN Suka.
Pada perjalanan tahap pertama sebelumnya dalam bulan Juli, aku ditemani kawan Ibnul Arobi (alm.) sesama awak Advo.
![]() |
Catatan Perjalananku saat berkunjung ke Pesantren Sarang asuhan Mbah Moen |
Perjalanan tahap dua dalam bulan Agustus, Aku berangkat seorang diri ke Rembang. Aku menginap di kediaman kawan Muchroz Mawardi di Gandrirojo, Kecamatan Sedan, kira-kira 9 kilometer ke arah selatan dari pertigaan Pandangan Pantura Rembang. (Tentang perjalananku ke Rembang ini sudah kutulis di blog ini saat mengenang kepergian Kawan Ibnul Arobi).
Kembali ke cerita Hari Ahad 24 Agustus tadi. Setelah diantar ke pertigaan Pandangan oleh kawan Muchroz, dari sana Aku naik bus ukuran kecil yang berjalan ke arah timur. Tujuanku ke sebuah kampung nelayan di Sarang, menziarahi sebuah makam ulama dari Hadramawut yang dikenal sebagai makam Mbah Sangkrah di Sarang.
Penumpang bus mini hari Ahad itu didominasi laki-laki berpeci yang ternyata bermaksud untuk hadir pada pengajian mingguan Mbah Moen yang diadakan di Pesantren Al-Anwar Sarang.
Itu aku ketahui setelah Aku bertanya kepada salah seorang lelaki berpeci yang Aku duduk di sebelahnya... Dia bilang mau ke Pengajian Mbah Moen. Aku bertanya pada lelaki itu lagi tentang keberadaan makam Mbah Sangkrah, dan dia tahu belaka mengenai keberadaan makam itu yang ternyata letaknya tidak seberapa jauh dari Pesantren Mbah Moen.
Sebelumnya Aku tidak berniat akan berkunjung ke Pesantren Sarang, berhubung Aku belum pernah datang ke sana, maka setelah perbincanganku dengan lelaki berpeci tadi, seketika itu Aku membelokkan niat umtuk terlebih dulu mengikuti langsung kegiatan pengajian kitab tafsir Jalalain yang diampu Mbah Moen.
Turun dari bus, aku mengikuti orang-orang berpeci dan bersarung tadi masuk ke pekarangan Pesantren Mbah Moen. Mereka para peserta pengajian ini sebagian besar adalah orang-orang kecil; entah nelayan, pedagang warungan, petani, yang masih berharap meraup percikan berkah Mbah Moen.
Di tempat pengajian itu berlangsung, di sebuah bangunan ruangan besar yang berhadapan dengan kediaman Mbah Moen, Aku betul-betul menjadi 'orang asing' karena hanya Akulah peserta pengajian yang bercelana panjang, tidak berpeci dan membawa sebuah ransel pula. Ransel itu berisi sebuah kamera analog dan buku catatan.
Meskipun berpenampilan paling beda, Aku sedikitpun tidak merasa canggung berada di tengah-tengah keramaian peserta pengajian itu, sebab barangkali karena pada diriku masih melekat perasaan jiwa sebagai seorang santri. Dan kali ini Aku merasa menjadi santri Mbah Moen. Walau sehari.
Di dalam ruangan besar itu, Mbah Moen adalah pusat segala perhatian. Pandangan mata fisiknya masih tajam melafal kalimat-kalimat dalam halaman kitab kuning yang dibacanya. Atau barangkali beliau sudah hafal belaka isi dari kitab Tafsir Jalalain itu. Dengan fasih beliau menerangkan kalimat- demi kalimat dalam bahasa masyarakat kebanyakan, bahasa Jawa.. Dan yang masih samar-samar kuingat dari penjelasan Mbah Moen ialah ketika beliau mengait-ngaitkan isi kitab yang dibacanya dengan realitas politik pada masa itu, sesekali diselingi humor-humor satire ala santri. Jadi, penjelasan Mbah Moen terdengar sangat politis. Maklum,, beliau adalah ulama yang konsisten menapakkan sebelah kakinya di gelanggang politik dan yang sebelah lagi tetap di pesantren. Sebab, beliau berangkat dari sebuah keyakinan bahwa urusan negara yang mesti ditangani dengan alat politik, bagaimanapun pelik dan tampak duniawinya adalah merupakan bagian dari urusan agama itu sendiri.
Usai pengajian kitab tafsir yang ditutup doa oleh Mbah Moen, orang-orang berebut menjabat tangan kiai sepuh itu. Pemandangan paling unik yang kulihat di ruangan itu adalah ketika satu persatu jamaah pengajian itu bergiliran meminum segelas air sisa minuman Mbah Moen. Bahkan ketika air di dalam gelas itu sudah habis, mereka masih bergantian mencengkram gelas dan meminum dari gelas kosong itu....!!!
Nama Kiai Maimoen Zubair pertama kali Aku kenal diantara sekian banyak nama kiai NU ialah pada sekitar tahun 1997 ketika Aku dan kawanku hadir memenuhi undangan lomba Syarhil Quran antar pesantren dalam rangka haul salah seorang pengasuh di Pesantren Tambak Beras Jombang.
Waktu itu Mbah Moen menjadi pengisi ceramah pada puncak acara.
Berhubung Aku belum begitu faham bahasa Jawa, jadi ceramah Mbah Moen terdengar seperti bunyi belaka yang tidak Aku fahami.
Ketika jamaah tertawa, Aku bingung dan mikir sendiri apa yang mereka tertawakan dari ceramah Mbah Moen.
Akan tetapi sangat tampak dari cara menyampaikan ceramahnya bahwa beliau seorang yang berwawasan luas, menguasai persoalan..
Hanya agak belakangan saya ketahui bahwa Mbah Moen ternyata seorang kiai aktivis yang sepanjang hayatnya mengabdi untuk negeri lewat kendaraan bernama partai (PPP).
Keteguhan sikap dan pendiriannya terlihat dari tetapnya pilihan untuk PPP, terlepas dari pasang surut dan baik buruknya partai ini.
Suatu sikap yang jarang dimiliki oleh politisi jaman ini yang lebih gemar loncat pagar, gonta ganti baju partai...!!
*Catatan ini untuk mengenang kepergian KH. Maimoen Zubair yang wafat hari ini Selasa 5 Dzulhijjah 1440 Hijri.
Komentar