Dari jendela lantai 5 hotel swiss-belinn, sepetak sawah seluas kira-kira dua hektar itu, tampak bagai permadani antik di tengah kepungan bermacam bangunan-bangunan beton di sekelilingnya. Di tengah kota Surabaya.
Ada tanaman padi yang masih tegak di sana. Ditanam tangan-tangan petani, jika masih mungkin layak disebut petani, yang masih menggantung harapan penghidupannya dari sawah itu. Selebihnya, di luar musim tanam dan waktu panen, petani ini entah bekerja sebagai apa: tukang tambal ban kah? Pulisi cepek kah? Buruh pabrik kah? Tukang parkir liar kah? Pegawai negeri kah?
Di tengah rimba kota, sawah jadi barang antik. Bisa jadi daya tarik bagi wisatawan yang kebetulan menyaksikan pemandangan ini. Bisa jadi daya tarik bagi si pemodal rakus yang melirik dan menaksir berapa milyar dibutuhkan uang untuk merebut dan mengalihfungsikan sawah itu jadi ladang bisnis yang tidak lagi membuahkan bulir padi melainkan membuahkan uang. Semata uang...!
Si pemilik sawah ini pun mungkin sedang melambungkan mimpi, kapan akan tiba pembeli yang melontarkan tawaran harga menggiurkan yang hasilnya dapat dipakai "naik haji" sekeluarga, membeli rumah dan mobil, lalu sisanya didepositokan.
Entah. Aku sendiri tidak tau siapa pemilik sawah di tengah kota ini. Mungkin saja sawah ini sudah beralih tangan menjadi pemilik si Pemodal Rakus.
Menengok keluar dari jendela hotel tempatku menginap, Aku tertegun menyaksikan dari jauh; di tengah sawah hijau itu seekor burung bangau gelisah mencari mengais diantara batang padi entah kodok atau serangga. Hanya sendiri.... Lalu lima atau enam ekor burung emprit yang asyik becanda diantara julur julur batang padi tak jauh dari bangau yang sendirian.
Keesokan pagi. Menjelang terbit matahari dari timur. Aku menengok lagi ke luar jendela. Ke tengah hijau hamparan sawah itu. Burung-burung emprit bernyanyi. Bangau tak lagi sendiri. Dari pinggiran sawah, berdiri "si petani" pemilik tanaman padi. (Entah apakah dia juga masih menjadi pemilik tanah tempat padi itu tumbuh??)
Si Petani menarik-narik seutas tali panjang yang diberi potongan rumbai-rumbai dari plastik, membentang diantara dua sisi sawah itu, berjejer dalam jarak antara sepuluh meter. Sambil dari mulutnya melengking suara, bermaksud menghela gerombolan emprit dan bangau yang tengah berpesta di sanĂ .
Emprit dan bangau tak peduli. Mereka menyingkir dari satu titik dan hinggap ke sudut lain. Si Petani pindah bergeser ke tempat lain, menarik narik lagi seutas tali.. emprit dan bangau menyingkir lalu hinggap di sudut yang lain. Begitu seterusnya, sampai matahari meninggi, si petani pulang ke rumah, mandi, sarapan, lalu pergi meninggalkan rumah dan sawah, menitipkan perlindungan sawah itu pada Tuhan.
Ada tanaman padi yang masih tegak di sana. Ditanam tangan-tangan petani, jika masih mungkin layak disebut petani, yang masih menggantung harapan penghidupannya dari sawah itu. Selebihnya, di luar musim tanam dan waktu panen, petani ini entah bekerja sebagai apa: tukang tambal ban kah? Pulisi cepek kah? Buruh pabrik kah? Tukang parkir liar kah? Pegawai negeri kah?
![]() |
Persawahan di sisi timur Swiss Bellinn Surabaya/ 12-12-2018/foto by samsulbahri |
Di tengah rimba kota, sawah jadi barang antik. Bisa jadi daya tarik bagi wisatawan yang kebetulan menyaksikan pemandangan ini. Bisa jadi daya tarik bagi si pemodal rakus yang melirik dan menaksir berapa milyar dibutuhkan uang untuk merebut dan mengalihfungsikan sawah itu jadi ladang bisnis yang tidak lagi membuahkan bulir padi melainkan membuahkan uang. Semata uang...!
Si pemilik sawah ini pun mungkin sedang melambungkan mimpi, kapan akan tiba pembeli yang melontarkan tawaran harga menggiurkan yang hasilnya dapat dipakai "naik haji" sekeluarga, membeli rumah dan mobil, lalu sisanya didepositokan.
Entah. Aku sendiri tidak tau siapa pemilik sawah di tengah kota ini. Mungkin saja sawah ini sudah beralih tangan menjadi pemilik si Pemodal Rakus.
Menengok keluar dari jendela hotel tempatku menginap, Aku tertegun menyaksikan dari jauh; di tengah sawah hijau itu seekor burung bangau gelisah mencari mengais diantara batang padi entah kodok atau serangga. Hanya sendiri.... Lalu lima atau enam ekor burung emprit yang asyik becanda diantara julur julur batang padi tak jauh dari bangau yang sendirian.
Keesokan pagi. Menjelang terbit matahari dari timur. Aku menengok lagi ke luar jendela. Ke tengah hijau hamparan sawah itu. Burung-burung emprit bernyanyi. Bangau tak lagi sendiri. Dari pinggiran sawah, berdiri "si petani" pemilik tanaman padi. (Entah apakah dia juga masih menjadi pemilik tanah tempat padi itu tumbuh??)
Si Petani menarik-narik seutas tali panjang yang diberi potongan rumbai-rumbai dari plastik, membentang diantara dua sisi sawah itu, berjejer dalam jarak antara sepuluh meter. Sambil dari mulutnya melengking suara, bermaksud menghela gerombolan emprit dan bangau yang tengah berpesta di sanĂ .
Emprit dan bangau tak peduli. Mereka menyingkir dari satu titik dan hinggap ke sudut lain. Si Petani pindah bergeser ke tempat lain, menarik narik lagi seutas tali.. emprit dan bangau menyingkir lalu hinggap di sudut yang lain. Begitu seterusnya, sampai matahari meninggi, si petani pulang ke rumah, mandi, sarapan, lalu pergi meninggalkan rumah dan sawah, menitipkan perlindungan sawah itu pada Tuhan.
Komentar