Kira-kira dalam tahun 2001 persisnya. Saya diajak seorang kawan, Ahmad Adib Saifuddin (Allahuyarhamh), berkunjung ke sebuah pesantren di Kaliangkrik Magelang Jawa Tengah. Di pesantren itu, tinggal menuntut ilmu adik dari kawan saya ini bernama Ahmad Amin Badrudduja.
Selepas turun dari terminal Candi Borobudur, kami berjalan kaki melawati jalanan kampung, kebun-kebun, persawahan, sungai yang curam dengan sebuah jembatan gantung yang menghubungkan kedua tebingnya, lalu pekuburan Nasrani, persawahan lagi, dan sampailah di tempat yang disebut pesantren itu. Hari telah beranjak senja. Waktu shalat Ashar hampir habis.
Sangat sederhana.. bersahaja..!! Begitulah berkali-kali Aku mengungkapkan kesanku melihat pesantren ini. Tempat tinggal santri hanya berupa bangunan kayu berdinding bedek bambu beratap anyaman daun kelapa dan asbes. Ukurannya kecil. Cukup menampung lima orang di dalamnya. Satu-satunya lampu penerang hanyalah bola lampu berdaya 5 watt warna kuning yang membuat mata memicing dan dahi mengernyit kalau kebetulan sedang baca buku atau kitab. Terdapat sekitar delapan buah bangunan serupa dengan keadaan yang sama di lingkungan pesantren itu.
Agak terpisah dari letak deretan bangunan pondok bedek itu, kira-kira limapuluh langkah jaraknya, berdiri rumah pengasuh pesantren yang kata kawan saya tidak ada fasilitas lampu listriknya. Teras depan kediaman sang kyai yang cukup luas dimanfaatkan sebagai tempat belajar mengajar. Di teras rumah itulah para santri berkumpul menghimpun di sekitar sang kyai, memelototi kitab kuning yang dibaca secara bandongan, dan anehnya hanya dengan bantuan penerangan lampu teplok ( bukan lampu listrik).
Kawan saya bilang, lampu listrik 5 watt itu hanya mengalir ke bilik-bilik santri. Sementara ndalem sang kyai tidak memakai lampu listrik. Tidak ada televisi. Juga tidak ada radio. Handphone pun tidak ada (karena pada tahun itu memang handphone belum dikenal..🤣🤣)
Selepas magrib, lingkungan pesantren berubah gulita. Dari teras rumah kyai terdengar para santri mengaji. Suara mereka merambat dari balik daun daun dan pohon pisang, hingga ke bilik bedek tempatku bermalam, seperti bersahutan dengan suara jangkrik, kodok dan serangga malam lainnya. Keadaan ini tentu berbeda jauh dengan situasi di pesantren tempat mukimku di Jogja (Pesantren Wahid Hasyim Gaten).
Orang yang menjadi patron yang disebut kyai di pesantren itu tidak lain adalah seorang petani. Alumni sebuah pesantren entah dimana. Pagi hari selepas subuh, sang kyai melangkah meninggalkan bilik, memanggul pacul menenggelamkan setengah kakinya ke dalam lumpur sawah. Ia menyela waktu kerjanya ketika suara azan memanggil. Kemudian kembali lagi menekuni pekerjaannya semula hingga menjelang senja.
Alasan tidak digunakannya penerang listrik secara berlebihan di pesantren itu kemungkinan untuk menghemat biaya pengeluaran. Kata para santri menuturkan, kyai mereka ini tipe orang yang ogah menerima bantuan dari pemerintah, apalagi dari orang partai.
Santri yang mondok tidak dipungut sepeserpun biaya. Merekalah yang membawa bekal sendiri. Memasak sendiri. Sebentar lagi Aku sudah dapat mencicip menu makan malam anak-anak santri di tempat itu, kira-kira selepas sholat isya.
Seorang santri yang baru selesai memasak, membawa sepanci nasi yang masih mengepul ke dalam bilik bedek yang sempit itu. Bersama sepanci nasi, secobek sambal mentah yang terdiri dari cabe dan garam yang dihaluskan, dan beberapa potong kerupuk. Inilah menu makan kami.
Berlima kami mengepung sajian istimewa itu. Karena perutku yang kosong, tak terasa Aku seperti yang lain, ikut 'mengamuk' menghabiskan sepanci nasi hingga kerak-keraknya.
Ketika sajian itu berakhir, bergantian kami mengambil sebatang rokok dari tempat dimana sebungkus rokok itu dibanting di hadapan kami. Larutlah kami dalam obrolan santai, seraya menghisap rokok yang kadang-kadang asapnya sengaja kami semburkan menyerupai huruf O dan lalu pudar menari-nari menggapai langit-langit atap bilik bedek.
Malam makin jauh beringsut ke lorong kegelapan. Sudah tidak terdengar lagi suara para santri junior yang mengaji. Nyala teplok di teras kediaman sang kyai sudah pudar, dan menyisakan malam yang pekat. Udara terasa amatlah dinginnya. Bilik itu berlantai tanah belaka. Alas tidur kami berupa lipatan tumpukan kardus bekas dan diatasnya diberi lapis karung gabah.
Aku tertidur meringkuk bagai anjing kedinginan di musim dingin. Berhimpitan kami tidur.
Aku cukupkan kisah pengalaman nyataku ini sampai disini. Sambil kugantung-gantung diatas kepalaku satu pernyataan keheranan yang keluar dari pikiranku sendiri: "Kok ya ada di jaman ini pesantren macam begini????"
Aku tidak tahu kini. Apakah pesantren itu masih tetap berdiri setelah 18 tahun lalu Aku mendatanginya secara kebetulan. Jika pun masih tetap berdiri, masihkah para santrinya menjalani kehidupan serba prihatin itu? Masih tetapkah pendirian Sang Kyai pengasuhnya? Mengingat jaman sudah banyak berubah. Jaman bergerak dengan cepat.
Apa yang ingin kukatakan ketika mengingat kembali pengalamanku itu adalah bahwa bagaimanapun yang namanya pesantren itu adalah tempat pendidikan mandiri yang dalam skala tertentu memiliki dan menyimpan misterinya masing-masing. (Kalau Aku menyebut pesantren itu misterius, tak lain karena pengalaman subjektifku merasakan tinggal di lingkungan subkultur ini).
Setiap kali Aku berkunjung ke sebuah pesantren, selalu Aku dapat merasakan nuansa magis yang khas dan misterius yang dipancarkan dari kesederhanaan dan kebersahajaan pola hidup para santri-santri, dan jejak riwayat para kiyainya yang kharismatik.
Mengapa begitu??? Sependek yang kuketahui tentang pesantren, pesantren didirikan tidak sembarang berdiri. Tidak asal mau berdiri. Prosesnya panjang dan rumit karena melibatkan seutuhnya pengalaman intelektual cum spiritual sang pendiri pesantren. Boleh jadi sang kyai melakukan ritual 'tapa' dengan berpuasa sepanjang tahun, atau dengan melazimkan bangun malam dan berzikir, mengamalkan bacaan-bacaan tertentu, sebelum kemudian mendapat petunjuk untuk mendirikan tempat menampung anak-anak pembelajar ilmu agama (pesantren). Dan lalu Sang Kyai mempersembahkan seluruh hidupnya untuk melayani para pembelajar agama ini dengan tulus.
Aku pikir itulah yang membuat pesantren menjadi 'misterius'. Ada landasan nilai ketulusan yang mendasari sikap dan pola hidup orang-orang di dalamnya. Satu sikap yang jarang dan langka. Sikap yang tidak memerlukan pengakuan atas kerja-kerja mulia yang telah dilakukan entah itu untuk masyarakat maupun dalam lingkup lebih luas untuk bangsa dan negara ini.
Betapapun besarnya sumbangsih pesantren terhadap bangsa dan negara ini, pesantren tetaplah menganggap hal itu sebagai bagian dari 'kewajiban' yang memang harus dijalankan, karena semata panggilan tugas suci yang memiliki dimensi ilahiyah dan tidak memerlukan pengakuan apapun yang bersifat duniawi, profan.
Ketika mendengar gagasan akan dicetuskannya Hari Santri Nasional (HSN), Aku membatin. Bertanya pada diriku sendiri: Untuk apa harus ada Hari Santri Nasional??? Yang konon ditetapkan pada 22 Oktober saat dikeluarkannya Resolusi Jihad oleh Hadratussyeikh Kyai Hasyim Asy'ari, yang di kemudian hari memicu meletusnya peristiwa 10 November Surabaya.
Tentu banyak orang-orang pesantren yang menyambut gagasan ini dengan sukacita. Seolah-olah mau mengatakan ; ini loh kami para santri...!! Kami bangga jadi kaum sarungan..!! Lihatlah betapa besar jasa para kyai kami dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa ini..!! Jangan anggap remeh kami...!!
Tidak diragukan memang jasa besar Kyai Hasyim dalam hal ini. Itulah mengapa beliau dinobatkan sebagai salah seorang pahlawan nasional.
Tetapi bahwa penetapan Hari Santri Nasional yang kemudian diresmikan pemerintah, Jokowi-Jk, dan akan menjadi hari seremoni resmi setiap tahunnya, memiliki implikasi yang jauh. Pesantren serasa diseret ke dalam arus materialisasi. Ia tidak lagi berada pada posisinya yang 'jauh', 'pinggiran', namun tetap dianggap 'penting' dan 'misterius' itu.
Bukankah dengan diperingatinya hari santri nasional itu artinya pemerintah berhasil mengkooptasi dan mengkapitalisasi nilai-nilai luhur pesantren yang jauh dari sikap memamerkan diri. Tetap bersahaja. Dan di dalam kebersahajaan itu mampu memberikan sumbangsih bagi bangsa dan negara yang tak ternilai harganya.
Kapitalisasi nilai luhur itu membuat pesantren serasa kehilangan kesan 'sakral'nya. Kesan magisnya. Berangsur-angsur, para kyainya tidak lagi bagai harimau penunggu belantara, melainkan laksana harimau kebun binatang yang kini jadi tontonan menghibur...!!
Dicatat di Jembrana 22 Oktober 2018, pada momen perayaan hari santri nasional yang ramai dan riuh.
Selepas turun dari terminal Candi Borobudur, kami berjalan kaki melawati jalanan kampung, kebun-kebun, persawahan, sungai yang curam dengan sebuah jembatan gantung yang menghubungkan kedua tebingnya, lalu pekuburan Nasrani, persawahan lagi, dan sampailah di tempat yang disebut pesantren itu. Hari telah beranjak senja. Waktu shalat Ashar hampir habis.
Sangat sederhana.. bersahaja..!! Begitulah berkali-kali Aku mengungkapkan kesanku melihat pesantren ini. Tempat tinggal santri hanya berupa bangunan kayu berdinding bedek bambu beratap anyaman daun kelapa dan asbes. Ukurannya kecil. Cukup menampung lima orang di dalamnya. Satu-satunya lampu penerang hanyalah bola lampu berdaya 5 watt warna kuning yang membuat mata memicing dan dahi mengernyit kalau kebetulan sedang baca buku atau kitab. Terdapat sekitar delapan buah bangunan serupa dengan keadaan yang sama di lingkungan pesantren itu.
Agak terpisah dari letak deretan bangunan pondok bedek itu, kira-kira limapuluh langkah jaraknya, berdiri rumah pengasuh pesantren yang kata kawan saya tidak ada fasilitas lampu listriknya. Teras depan kediaman sang kyai yang cukup luas dimanfaatkan sebagai tempat belajar mengajar. Di teras rumah itulah para santri berkumpul menghimpun di sekitar sang kyai, memelototi kitab kuning yang dibaca secara bandongan, dan anehnya hanya dengan bantuan penerangan lampu teplok ( bukan lampu listrik).
Kawan saya bilang, lampu listrik 5 watt itu hanya mengalir ke bilik-bilik santri. Sementara ndalem sang kyai tidak memakai lampu listrik. Tidak ada televisi. Juga tidak ada radio. Handphone pun tidak ada (karena pada tahun itu memang handphone belum dikenal..🤣🤣)
Selepas magrib, lingkungan pesantren berubah gulita. Dari teras rumah kyai terdengar para santri mengaji. Suara mereka merambat dari balik daun daun dan pohon pisang, hingga ke bilik bedek tempatku bermalam, seperti bersahutan dengan suara jangkrik, kodok dan serangga malam lainnya. Keadaan ini tentu berbeda jauh dengan situasi di pesantren tempat mukimku di Jogja (Pesantren Wahid Hasyim Gaten).
Orang yang menjadi patron yang disebut kyai di pesantren itu tidak lain adalah seorang petani. Alumni sebuah pesantren entah dimana. Pagi hari selepas subuh, sang kyai melangkah meninggalkan bilik, memanggul pacul menenggelamkan setengah kakinya ke dalam lumpur sawah. Ia menyela waktu kerjanya ketika suara azan memanggil. Kemudian kembali lagi menekuni pekerjaannya semula hingga menjelang senja.
Alasan tidak digunakannya penerang listrik secara berlebihan di pesantren itu kemungkinan untuk menghemat biaya pengeluaran. Kata para santri menuturkan, kyai mereka ini tipe orang yang ogah menerima bantuan dari pemerintah, apalagi dari orang partai.
Santri yang mondok tidak dipungut sepeserpun biaya. Merekalah yang membawa bekal sendiri. Memasak sendiri. Sebentar lagi Aku sudah dapat mencicip menu makan malam anak-anak santri di tempat itu, kira-kira selepas sholat isya.
Seorang santri yang baru selesai memasak, membawa sepanci nasi yang masih mengepul ke dalam bilik bedek yang sempit itu. Bersama sepanci nasi, secobek sambal mentah yang terdiri dari cabe dan garam yang dihaluskan, dan beberapa potong kerupuk. Inilah menu makan kami.
Berlima kami mengepung sajian istimewa itu. Karena perutku yang kosong, tak terasa Aku seperti yang lain, ikut 'mengamuk' menghabiskan sepanci nasi hingga kerak-keraknya.
Ketika sajian itu berakhir, bergantian kami mengambil sebatang rokok dari tempat dimana sebungkus rokok itu dibanting di hadapan kami. Larutlah kami dalam obrolan santai, seraya menghisap rokok yang kadang-kadang asapnya sengaja kami semburkan menyerupai huruf O dan lalu pudar menari-nari menggapai langit-langit atap bilik bedek.
Malam makin jauh beringsut ke lorong kegelapan. Sudah tidak terdengar lagi suara para santri junior yang mengaji. Nyala teplok di teras kediaman sang kyai sudah pudar, dan menyisakan malam yang pekat. Udara terasa amatlah dinginnya. Bilik itu berlantai tanah belaka. Alas tidur kami berupa lipatan tumpukan kardus bekas dan diatasnya diberi lapis karung gabah.
Aku tertidur meringkuk bagai anjing kedinginan di musim dingin. Berhimpitan kami tidur.
Aku cukupkan kisah pengalaman nyataku ini sampai disini. Sambil kugantung-gantung diatas kepalaku satu pernyataan keheranan yang keluar dari pikiranku sendiri: "Kok ya ada di jaman ini pesantren macam begini????"
Aku tidak tahu kini. Apakah pesantren itu masih tetap berdiri setelah 18 tahun lalu Aku mendatanginya secara kebetulan. Jika pun masih tetap berdiri, masihkah para santrinya menjalani kehidupan serba prihatin itu? Masih tetapkah pendirian Sang Kyai pengasuhnya? Mengingat jaman sudah banyak berubah. Jaman bergerak dengan cepat.
Apa yang ingin kukatakan ketika mengingat kembali pengalamanku itu adalah bahwa bagaimanapun yang namanya pesantren itu adalah tempat pendidikan mandiri yang dalam skala tertentu memiliki dan menyimpan misterinya masing-masing. (Kalau Aku menyebut pesantren itu misterius, tak lain karena pengalaman subjektifku merasakan tinggal di lingkungan subkultur ini).
Setiap kali Aku berkunjung ke sebuah pesantren, selalu Aku dapat merasakan nuansa magis yang khas dan misterius yang dipancarkan dari kesederhanaan dan kebersahajaan pola hidup para santri-santri, dan jejak riwayat para kiyainya yang kharismatik.
Mengapa begitu??? Sependek yang kuketahui tentang pesantren, pesantren didirikan tidak sembarang berdiri. Tidak asal mau berdiri. Prosesnya panjang dan rumit karena melibatkan seutuhnya pengalaman intelektual cum spiritual sang pendiri pesantren. Boleh jadi sang kyai melakukan ritual 'tapa' dengan berpuasa sepanjang tahun, atau dengan melazimkan bangun malam dan berzikir, mengamalkan bacaan-bacaan tertentu, sebelum kemudian mendapat petunjuk untuk mendirikan tempat menampung anak-anak pembelajar ilmu agama (pesantren). Dan lalu Sang Kyai mempersembahkan seluruh hidupnya untuk melayani para pembelajar agama ini dengan tulus.
Aku pikir itulah yang membuat pesantren menjadi 'misterius'. Ada landasan nilai ketulusan yang mendasari sikap dan pola hidup orang-orang di dalamnya. Satu sikap yang jarang dan langka. Sikap yang tidak memerlukan pengakuan atas kerja-kerja mulia yang telah dilakukan entah itu untuk masyarakat maupun dalam lingkup lebih luas untuk bangsa dan negara ini.
Betapapun besarnya sumbangsih pesantren terhadap bangsa dan negara ini, pesantren tetaplah menganggap hal itu sebagai bagian dari 'kewajiban' yang memang harus dijalankan, karena semata panggilan tugas suci yang memiliki dimensi ilahiyah dan tidak memerlukan pengakuan apapun yang bersifat duniawi, profan.
Ketika mendengar gagasan akan dicetuskannya Hari Santri Nasional (HSN), Aku membatin. Bertanya pada diriku sendiri: Untuk apa harus ada Hari Santri Nasional??? Yang konon ditetapkan pada 22 Oktober saat dikeluarkannya Resolusi Jihad oleh Hadratussyeikh Kyai Hasyim Asy'ari, yang di kemudian hari memicu meletusnya peristiwa 10 November Surabaya.
Tentu banyak orang-orang pesantren yang menyambut gagasan ini dengan sukacita. Seolah-olah mau mengatakan ; ini loh kami para santri...!! Kami bangga jadi kaum sarungan..!! Lihatlah betapa besar jasa para kyai kami dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa ini..!! Jangan anggap remeh kami...!!
Tidak diragukan memang jasa besar Kyai Hasyim dalam hal ini. Itulah mengapa beliau dinobatkan sebagai salah seorang pahlawan nasional.
Tetapi bahwa penetapan Hari Santri Nasional yang kemudian diresmikan pemerintah, Jokowi-Jk, dan akan menjadi hari seremoni resmi setiap tahunnya, memiliki implikasi yang jauh. Pesantren serasa diseret ke dalam arus materialisasi. Ia tidak lagi berada pada posisinya yang 'jauh', 'pinggiran', namun tetap dianggap 'penting' dan 'misterius' itu.
Bukankah dengan diperingatinya hari santri nasional itu artinya pemerintah berhasil mengkooptasi dan mengkapitalisasi nilai-nilai luhur pesantren yang jauh dari sikap memamerkan diri. Tetap bersahaja. Dan di dalam kebersahajaan itu mampu memberikan sumbangsih bagi bangsa dan negara yang tak ternilai harganya.
Kapitalisasi nilai luhur itu membuat pesantren serasa kehilangan kesan 'sakral'nya. Kesan magisnya. Berangsur-angsur, para kyainya tidak lagi bagai harimau penunggu belantara, melainkan laksana harimau kebun binatang yang kini jadi tontonan menghibur...!!
Dicatat di Jembrana 22 Oktober 2018, pada momen perayaan hari santri nasional yang ramai dan riuh.
Komentar