Langsung ke konten utama

Nasihat Pernikahan dari Kiyai Marwi Untukku

Dalam bulan puasa tahun 2008 silam, Aku tinggal beberapa hari menjelang lebaran di kediaman kawanku Mustatho' di Prambon Soko Tuban Jawa Timur.

Ayah kawanku ini, seorang "Kyai Kampung" menurut istilah Gus Dur untuk menamai sosok tokoh panutan level ndeso dengan sejumlah pengikut fanatiknya.

Orang memanggil namanya Ustadz Marwi, atau lebih sering juga dipanggil Kyai Marwi. Tinggal di sebuah rumah sederhana, di kampung, di tengah keramaian penduduk, dengan sebuah musholla berfisik beton yang baru berdiri tak jauh  di belakang rumahnya, tempat sehari-hari beliau rutin memimpin ibadah lima waktu berjama'ah.

Di desanya, Kyai Marwi tergolong segelintir sosok yang dituakan. Jabatan semi-formal yang disandangnya adalah sebagai pengurus Syuriah Nahdlatul Ulama kecamatan.

Kyai Marwi semasa hidup,
 foto kiriman kawan mustatho'

Luasnya pergaulan dan pengaruh Kyai Marwi terlihat dari beragam latarbelakang orang-orang yang datang bertamu ke kediamannya.

Pada diri Kyai Marwi antara keahlian wawasan agama, wawasan politik, bersenyawa dengan kemampuan di bidang supranatural. Kemampuan semacam ini lahir dari proses tempaan bertahun-tahun menjalani laku hidup zuhud yang sangat langka dimiliki oleh kyai atau ustadz di jaman kita saat ini.

Dari balik bilik kamar berdinding kayu tempat tidurku yang bersebelahan dengan ruangan tempat Kyai Marwi menerima  tamu-tamunya, Aku kerapkali mendengar langsung pembicaraan-pembicaraan antara Kyai Marwi dengan tamu-tamunya.

Di satu kesempatan, datang kepada Kyai Marwi beberapa tamu yang menanyakan mengenai masalah-masalah hukum fiqih, lantaran si tamu tadi sedang tersandung satu persoalan entah yang membutuhkan penjelasan sudut pandang hukum Islam (Fiqh).

Di kesempatan lain, bertandang ke rumah Kyai Marwi, tamu-tamu berpenampilan necis, bermobil yang rupanya orang-orang politik yang merasa memerlukan konsultasi dengan beliau. Maka terlibatlah Kyai Marwi dalam pembicaraan berjam-jam bersama tamunya mengenai isu politik.

Di kesempatan lain lagi, datang tergopoh-gopoh tamu dari desa sepasang suami isteri dan seorang anaknya yang sakit dan membutuhkan pengobatan. Mereka meminta air do'a sebagai "obat" kesembuhan untuk anak mereka dari Kyai Marwi.

Pada kesempatan lain lagi, datang seseorang yang memikul keluh kesah mengenai persoalan rumahtangga. Si tamu curhat mengenai hubungan yang kurang harmonis dengan isterinya, dan meminta resep bagaimana memulihkan hubungan yang geger itu.

Begitulah, bermacam-macam orang datang bertamu di kediaman Kyai Marwi, memohon bantuan agar dapat keluar dari persoalan yang tengah mereka hadapi. Dan Kyai Marwi selalu dapat menempatkan diri dalam posisi sesuai dengan kebutuhan tamu-tamunya.

Mengenai kemampuannya dalam membantu memecahkan banyak masalah yang dihadapi banyak orang ini,  suatu hari Kyai Marwi berujar padaku: bahwa dirinya hanyalah perantara, bukan penentu bagi keberhasilan mengobati atau memecahkan masalah. "Saya ini cuma perantara. Allah lah yang menentukan segalanya." Ujar Kyai Marwi.

Nasihat Perkawinan

Pada suatu siang, saat sedang tidak ada tamu berkunjung, Kyai Marwi mengajakku ngobrol.

Macam-macamlah obrolan kami. Sampai pada satu tema pembicaraan yang pada waktu itu terdengar agak asing bagiku yang masih lajang. Ya.. semacam wejangan. Tapi lebih tepat kusebut nasehat perkawinan.

Namun, kelak...lama beberapa tahun kemudian, setelah Aku hidup berkeluarga, berhadapan dengan masalah-masalah dalam rumahtangga, kata-kata Kyai Marwi ini selalu terngiang di benakku.

Pada waktu itu, belum terlintas dalam pikiranku kapan Aku akan menikah. Aku masih berkonsentrasi penuh bagaimana merampungkan studiku.

Kyai Marwi, sambil bercanda bertanya padaku kapan Aku akan menikah. Sebab umurku telah 28 tahun. Usia yang dalam kacamata orang kebanyakan dianggap sudah siap untuk meminang seorang gadis.

Seperti biasa, Aku kerap tersipu kalau ditanya masalah yang sensi ini. Tiba-tiba saja terasa ada gembok besi mengunci kedua bibirku...!! Calon saja belum punya. Bagaimana mau meminang?? Jawabku.

Kyai Marwi menggodaku dengan menanyakan wanita macam apa yang menjadi daya tarik bagiku. Belum sempat kujawab, buru-buru beliau menambahkan bahwa sebaiknyalah mencari gadis yang sudah merasakan kehidupan di pesantren, sebagaimana Aku yang juga lulusan dari pesantren, agar tahu sama tahu...!!! Alasan yang sederhana, tapi penting..!!

Lantas Kyai Marwi berpanjang kalam mengutarakan "nasihat perkawinan" untukku si jomblo yang belum punya bayangan kapan akan mengakhiri masa lajangnya ini.

Kata Kyai Marwi padaku di suatu siang yang terik itu:

Kalau kamu sudah beristeri, dalam hidup rumahtangga itu pasti ada cobaannya. Kalian pasti akan dihadapkan pada masalah yang berujung pada pertengkaran. Pada saat inilah dibutuhkan sikap saling mengalah. Salah satu dari kalian harus ada yang merendahkan suara. Jika isteri naik pitam meninggikan suara. Kamu harus merendahkan suara. Giliran kamu bersuara keras, isteri harus merendah. Lah.. kalau  suami isteri sama-sama bersuara keras, sama-sama panas, ujung-ujungnya bisa beterbangan piring dan gelas...!! Hancur perkakas..!! 😭😭😭

Belakangan, saat Aku  hadir memenuhi undangan di acara-acara pernikahan di kampungku, nasihat semacam itu berkali-kali Aku dengar dari si tukang nasihat. Seperti nasihat yang pernah diutarakan Kyai Marwi padaku dulu.

Nasihat ini terdengar gamblang, mudah diucapkan, tetapi amatlah berat dijalankan.

Kyai Marwi menegaskan, itulah sebetulnya kunci di dalam menjaga kelanggengan berkeluarga. Harus ada yang bersedia merendahkan suara ketika terjadi "perang dunia" dalam rumahtangga..... ..... .....

Aku mengingat kembali nasihat berharga Kyai Marwi ini, dan menuliskannya dalam catatanku pagi ini, setelah baru saja Aku mendapat kabar kyai yang sederhana itu telah berpulang menghadap Allah.

 Semoga amal baiknya diterima. Salah khilafnya diampuni. Amiin.

Jenazah Kyai Marwi
Menuju rumah terakhir,
Foto kiriman kawan mustatho'

Rupanya Aku terlambat mendapat kabar wafatnya Kyai Marwi. Kawanku Musthato putra beliau terlambat berkirim berita. Kyai Marwi wafat 8 Agustus silam.

 Tak terbayang betapa banyak pelayat yang memadati jalan-jalan kampung yang akan dilalui keranda yang membawa jenazah kyai yang telah menjadi tumpuan hidup banyak orang-orang susah itu....!!!

😢

Dicatat di Jembrana Bali, 1 Oktober 2018. Jam 9-10 pagi. Sebagai ungkapan rasa hormat dan takzimku kepada Kyai Marwi.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Larantuka

Ada dua jalur yang akan ditempuh untuk sampai ke Ende. Pertama, dengan kapal laut yang bertolak dari Surabaya. Kedua, dengan kapal laut yang sama yang bertolak dari Lombok. Keduanya sama-sama pilihan yang ambigu.  Setelah berdiskusi, akhirnya kami ambil opsi kedua; bertolak dari Gilimas Lombok. Itu artinya, kami harus menyeberang ke Lombok dulu dari Padangbay menuju Lembar. Perjalanan dari rumah kami di Jembrana Bali, dimulai pada jam 2 siang, tanggal 10 Juni 2025, hari Selasa, bertepatan tanggal 14 Dzulhijjah 1446 tahun hijriyah.  Kendaraan masih Toyota Rush Konde legendaris yang sudah hampir dua belas tahun menemani perjalanan kami. Segala sesuatu persiapan terkait kendaraan ini sudah Aku cukupi. Mulai dari servis berkala, penggantian oli mesin, ganti bearings (klaher) di bagian roda depan kiri, perbaikan seal rem yang rusak, hingga penggantian empat buah ban roda. Kali ini Aku coba pakai GT Savero untuk mengganti merk ban asli Dunlop.  Harga GT Savero lebih murah 450.0...