Aku terduduk di bangku ruang tunggu keberangkatan pesawat Bandara Ngurah Rai, ditemani isteriku, putriku Yasi dan Nisa yang baru 4 bulan.
Kami akan bertolak ke lombok sore ini. Pesawat yang akan membawa kami delay 1 jam. Nisa ditidurkan di bangku ruang tunggu yang ramai. Yasi berjalan hilir mudik. Bunda menjaga Nisa. Dan Aku,, setelah lumayan bosan menunggu, kuraih Android, membuka kolom blog, mulai menulis.
Ke seberang, Aku sudah kirimkan kabar kepada sanak yang menjemput bahwa jadwal terbang mundur.
Pulang kampung ke lombok kali ini adalah perjalanan yang sebelumnya sudah kami rencanakan. Aku memesan tiket pergi-pulang pada tanggal 4 Agustus hari Sabtu. Atau sehari sebelum Gempa bumi bertenaga 7 skala richter membelalakkan mata kami semua.
Gempa hebat ini terjadi pada 5 Agustus Minggu malam sekira jam 7. 35 malam. Saat Aku dan beberapa orang sedang sholat isya' di mesjid. Goncangannya lumayan terasa. Aku dan beberapa orang yang berada di belakang imam lari keluar dari masjid. Di luar masih sempat terasa dan terdengar dinding kaca yang gemetar.
Setelah beberapa saat. Kami kembali masuk ke barisan sholat dan melanjutkan sholat.
Pulang dari masjid, Aku menghidupkan televisi dan menyimak info mengenai gempa yang baru saja terjadi. Ternyata gempa tadi berpusat di Lombok. Kampung halamanku..!
Aku mengontak sanak keluarga di Lombok. Berusaha menanyakan kabar ibu bapak dan sanakku yang lain... Tak ada jawaban dari seberang. Sambungan telepon sempat terputus. Aliran listrik mati. Lampu seantero pulau padam. Sejenak berobahlah pulau itu jadi pulau paling gelap sedunia..!!!
Sejurus kemudian, setelah Aku terus berusaha mengontak semua nomor telepon, akhirnya terdengar jawaban dari sepupuku di desa. Dialah yang menceritakan keadaan di pulau yang sementara waktu berobah gelap dan menyeramkan itu.
Gempa magnitud 7 sr ini merupakan susulan dari gempa yang terjadi seminggu sebelumnya, pada 29 Juli berpusat di wilayah Obel obel Lombok Timur.
BMKG menyebut gempa 7 sr ini sebagai "gempa utama" dari hasil pergerakan lempeng bumi sesar Flores. Teori yang Aku sendiri tidak mengerti, kecuali bagi mereka yang sudah mempelajari mengenai teori gempa.
Jam menunjuk pukul 6 sore. Terdengar panggilan untuk penumpang penerbangan lion JT 954 tujuan Praya Lombok. Kami yang semula menunggu di gate 5, diminta pindah ke gate 3 dan langsung berduyun meluncur ke mulut pesawat.
Setengah jam berselang, pesawat take off. Dari ketinggian sekian puluh kaki, tampak wajah Kota Denpasar berparas lampu-lampu. Ya,, hanya lampu-lampu dan keriuhan jalanan oleh lalu lalang kendaraan yang terlihat seperti barisan semut.
Yasi putriku yang baru 6 tahun, menahan takutnya dengan memegang kuat lenganku seraya berkali-kali melafal surah fatihah. Nisa terlelap kembali setelah sebelumnya sempat rewel.
Semakin jauh... lampu-lampu itu makin tampak meluas dan merata. Seolah tak ada lagi tempat yang tidak dihuni sekawanan manusia di pulau itu.
Ketika pesawat menikung, di bawah kami terlihat awan dan permukaan bumi yang gelap dan kosong dari cahaya. Ini pertanda kami tengah berada beratus ratus kaki di atas hamparan laut selat Lombok. Sebentar lagi kami akan tiba di Lombok. Jarak tempuh Bali - Lombok hanya 20 menit di udara.
Selepas permukaan bumi yang gelap kosong tadi, tampaklah lagi kelap kelip lampu-lampu. Tidak semerata nyala lampu dari tempat kami berangkat tadi. Ini pulau Lombok yang masih terlihat lesu setelah gempa besar berturut-turut mengayak-ayak penghuni pulau ini.
Meski keadaan di Lombok sedang kurang baik, sebagian besar penumpang pesawat yang kami tumpangi adalah bule-bule yang datang dengan alat selancar (surfing) mereka. Itu Aku ketahui setelah pesawat landing di Bandara Lombok Praya International Airport (enak disingkat LOMPIA) dan saat menunggu di ruang pengambilan bagasi.
Mereka tetap ingin menikmati liburan, berenang berselancar ria di ujung gelombang pantai-pantai Lombok yang menawan, tanpa peduli betapa beratnya penderitaan dan rasa takut yang kini tengah ditanggungkan oleh warga kami.
Pemerintah juga masih dilema dalam menetapkan status gempa di Lombok. Apakah berstatus bencana biasa atau bencana nasional.
Beberapa kalangan, seperti pernyataan wakil ketua MPR Hidayat Nurwahid mendesak agar presiden menetapkan status bencana Lombok sebagai bencana nasional. Tetapi pemerintah melalui Mensesneg menyatakan jika musibah Lombok ditetapkan sebagai bencana nasional, maka ini dapat berakibat memperburuk situasi dan dapat mengganggu industri wisata di Lombok. Sebab akan makin khawatirlah para turis yang akan datang ke Lombok. Karena itu menurut hemat pemerintah, biarkanlah bencana ini ditetapkan sebagai bencana biasa saja, dan masih sanggup diatasi pemerintah provinsi. Toh miliaran rupiah akan segera mengucur dari kocek pemerintah pusat guna memulihkan kembali keadaan dan citra Lombok.
Sungguh kasihan nasib pulau ini. Kemolekannya masih harus terus dipertahankan. Duka lara penduduknya tak perlu dikhawatirkan. Ibarat putri jelita yang terenggut keanggunannya. Pulau ini harus segera dirias kembali. Dipercantik lagi. Lupakan 7 skala richter yang meluluhlantakkan itu. Pariwisata bagai mantra ajaib yang akan merobah seketika keadaan terpuruk yang diderita kini...!!!! ????
Jika aspek Pariwisata di Lombok lumpuh tentu ini akan berakibat besar bagi kondisi perekonomian nasional. Bukankah saat ini kita tengah menghadapi masalah apa yang dalam ilmu ekonomi disebut sebagai defisit transaksi berjalan (CAD : current account deficit)?? Dimana jumlah nilai impor barang dan jasa kita lebih besar dari nilai expor. Ini mengakibatkan lebih banyak dolar lari keluar. Hal itu bisa diimbangi dengan menggenjot sektor wisata. Mendatangkan bule-bule turis manca sebanyak-banyaknya, karena mereka datang membawa dolar. (Ah, Aku terkesan sok tau soal masalah fundamental ekonomi. Ini kan kudengar dari omong-omong orang Jakarta itu...🤣😄😅
Kalau Aku cermati, apa yang sedang hilang kini dari kalangan warga di Lombok yang berkali-kali dikejutkan oleh gempa susulan yang dahsyat itu adalah Rasa Aman...(?)!!
Rumah yang seharusnya menjadi tempat berteduh, tempat beristirahat, tempat sehari-hari membangun interaksi anggota keluarga, kini telah kehilangan fungsi dasarnya tersebut.
Tinggal di dalam rumah berarti sebuah ancaman. Setiap orang yang dengan terpaksa tidur di rumah berselimut rasa takut. Berbantal kecemasan yang mengganjal. Maka tiada tidur yang nyenyak kecuali berada di bawah tenda-tenda darurat yang terbuat dari terpal..! Sebab, gempa-gempa susulan itu sesekali tiba-tiba datang tanpa pernah mereka ketahui sebelumnya.
Demikianlah... Rumah telah dijauhi. Gedung-gedung sekolah yang masih berdiri dihindari. Anak-anak lebih sering tidak sekolah. Dan tampaknya sebagian mereka juga senang bisa libur berlama-lama....!!! Libur gempa....!!!
Hari Ahad, pada tanggal 26 Agustus, tanggal yang diperkirakan menjadi hari akan datangnya gempa besar lagi (sebab setiap gempa besar di Lombok terjadi pada hari Ahad), Aku dan keluargaku mengadakan acara syukuran potong rambut (sasak: bekuris) untuk putriku Nisa. Aku pulang kampung kali ini memang nawaitu untuk acara tersebut.
Pada saat Aku mendatangi rumah sebagian teman-teman untuk mengundang kehadiran mereka di acaraku itu, di situlah Aku melihat dari dekat deretan tenda-tenda darurat di sepanjang perkampungan di desaku dan desa-desa tetangga. Rupanya, tidur dalam tenda lebih bisa menjamin rasa aman ketimbang rumah.
Alhasil, harga terpal meroket. Sebab permintaan untuk terpal melonjak. Muncul agen-agen penjual terpal yang memesan langsung barang itu dari Surabaya, menjualnya dengan harga yang lebih bersahabat ketimbang pedagang setempat yang berusaha mengais keuntungan sesaat.
Sebagian orangtua kami berseloroh: "Setelah kita tua baru benar-benar jadi Pramuka"..!" Berkemah di tenda identik Pramuka..
Sudah cukup banyak penjelasan yang Aku dengar mengenai perihal mengapa gempa bumi di Lombok kali ini terjadi susul menyusul.
Penjelasan teori kegempaan sudah kerap diungkap BMKG. Penjelasan teologis muncul tidak hanya dari kalangan agamawan, bahkan kalangan awam pun mahir menjelaskan duduk persoalannya.
Jawaban berbau teologis seringkali bernada introspektif. Bersumber dari kearifan purba yang hendak melihat setiap gejala alam tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan dengan sikap manusia dan kehendak Yang Maha Kuasa.
Dalam kacamata pandangan ini, gempa bumi adalah sebuah teguran Tuhan -lebih keras lagi ada yang menyebutnya sebagai azab Tuhan atas ulah tangan manusia.
Bali-Lombok 23-28 Agustus 2018
Kami akan bertolak ke lombok sore ini. Pesawat yang akan membawa kami delay 1 jam. Nisa ditidurkan di bangku ruang tunggu yang ramai. Yasi berjalan hilir mudik. Bunda menjaga Nisa. Dan Aku,, setelah lumayan bosan menunggu, kuraih Android, membuka kolom blog, mulai menulis.
Ke seberang, Aku sudah kirimkan kabar kepada sanak yang menjemput bahwa jadwal terbang mundur.
Pulang kampung ke lombok kali ini adalah perjalanan yang sebelumnya sudah kami rencanakan. Aku memesan tiket pergi-pulang pada tanggal 4 Agustus hari Sabtu. Atau sehari sebelum Gempa bumi bertenaga 7 skala richter membelalakkan mata kami semua.
Gempa hebat ini terjadi pada 5 Agustus Minggu malam sekira jam 7. 35 malam. Saat Aku dan beberapa orang sedang sholat isya' di mesjid. Goncangannya lumayan terasa. Aku dan beberapa orang yang berada di belakang imam lari keluar dari masjid. Di luar masih sempat terasa dan terdengar dinding kaca yang gemetar.
Setelah beberapa saat. Kami kembali masuk ke barisan sholat dan melanjutkan sholat.
Pulang dari masjid, Aku menghidupkan televisi dan menyimak info mengenai gempa yang baru saja terjadi. Ternyata gempa tadi berpusat di Lombok. Kampung halamanku..!
Aku mengontak sanak keluarga di Lombok. Berusaha menanyakan kabar ibu bapak dan sanakku yang lain... Tak ada jawaban dari seberang. Sambungan telepon sempat terputus. Aliran listrik mati. Lampu seantero pulau padam. Sejenak berobahlah pulau itu jadi pulau paling gelap sedunia..!!!
Sejurus kemudian, setelah Aku terus berusaha mengontak semua nomor telepon, akhirnya terdengar jawaban dari sepupuku di desa. Dialah yang menceritakan keadaan di pulau yang sementara waktu berobah gelap dan menyeramkan itu.
Gempa magnitud 7 sr ini merupakan susulan dari gempa yang terjadi seminggu sebelumnya, pada 29 Juli berpusat di wilayah Obel obel Lombok Timur.
BMKG menyebut gempa 7 sr ini sebagai "gempa utama" dari hasil pergerakan lempeng bumi sesar Flores. Teori yang Aku sendiri tidak mengerti, kecuali bagi mereka yang sudah mempelajari mengenai teori gempa.
Jam menunjuk pukul 6 sore. Terdengar panggilan untuk penumpang penerbangan lion JT 954 tujuan Praya Lombok. Kami yang semula menunggu di gate 5, diminta pindah ke gate 3 dan langsung berduyun meluncur ke mulut pesawat.
Setengah jam berselang, pesawat take off. Dari ketinggian sekian puluh kaki, tampak wajah Kota Denpasar berparas lampu-lampu. Ya,, hanya lampu-lampu dan keriuhan jalanan oleh lalu lalang kendaraan yang terlihat seperti barisan semut.
Yasi putriku yang baru 6 tahun, menahan takutnya dengan memegang kuat lenganku seraya berkali-kali melafal surah fatihah. Nisa terlelap kembali setelah sebelumnya sempat rewel.
Semakin jauh... lampu-lampu itu makin tampak meluas dan merata. Seolah tak ada lagi tempat yang tidak dihuni sekawanan manusia di pulau itu.
Ketika pesawat menikung, di bawah kami terlihat awan dan permukaan bumi yang gelap dan kosong dari cahaya. Ini pertanda kami tengah berada beratus ratus kaki di atas hamparan laut selat Lombok. Sebentar lagi kami akan tiba di Lombok. Jarak tempuh Bali - Lombok hanya 20 menit di udara.
Selepas permukaan bumi yang gelap kosong tadi, tampaklah lagi kelap kelip lampu-lampu. Tidak semerata nyala lampu dari tempat kami berangkat tadi. Ini pulau Lombok yang masih terlihat lesu setelah gempa besar berturut-turut mengayak-ayak penghuni pulau ini.
Meski keadaan di Lombok sedang kurang baik, sebagian besar penumpang pesawat yang kami tumpangi adalah bule-bule yang datang dengan alat selancar (surfing) mereka. Itu Aku ketahui setelah pesawat landing di Bandara Lombok Praya International Airport (enak disingkat LOMPIA) dan saat menunggu di ruang pengambilan bagasi.
Mereka tetap ingin menikmati liburan, berenang berselancar ria di ujung gelombang pantai-pantai Lombok yang menawan, tanpa peduli betapa beratnya penderitaan dan rasa takut yang kini tengah ditanggungkan oleh warga kami.
Pemerintah juga masih dilema dalam menetapkan status gempa di Lombok. Apakah berstatus bencana biasa atau bencana nasional.
Beberapa kalangan, seperti pernyataan wakil ketua MPR Hidayat Nurwahid mendesak agar presiden menetapkan status bencana Lombok sebagai bencana nasional. Tetapi pemerintah melalui Mensesneg menyatakan jika musibah Lombok ditetapkan sebagai bencana nasional, maka ini dapat berakibat memperburuk situasi dan dapat mengganggu industri wisata di Lombok. Sebab akan makin khawatirlah para turis yang akan datang ke Lombok. Karena itu menurut hemat pemerintah, biarkanlah bencana ini ditetapkan sebagai bencana biasa saja, dan masih sanggup diatasi pemerintah provinsi. Toh miliaran rupiah akan segera mengucur dari kocek pemerintah pusat guna memulihkan kembali keadaan dan citra Lombok.
Sungguh kasihan nasib pulau ini. Kemolekannya masih harus terus dipertahankan. Duka lara penduduknya tak perlu dikhawatirkan. Ibarat putri jelita yang terenggut keanggunannya. Pulau ini harus segera dirias kembali. Dipercantik lagi. Lupakan 7 skala richter yang meluluhlantakkan itu. Pariwisata bagai mantra ajaib yang akan merobah seketika keadaan terpuruk yang diderita kini...!!!! ????
Jika aspek Pariwisata di Lombok lumpuh tentu ini akan berakibat besar bagi kondisi perekonomian nasional. Bukankah saat ini kita tengah menghadapi masalah apa yang dalam ilmu ekonomi disebut sebagai defisit transaksi berjalan (CAD : current account deficit)?? Dimana jumlah nilai impor barang dan jasa kita lebih besar dari nilai expor. Ini mengakibatkan lebih banyak dolar lari keluar. Hal itu bisa diimbangi dengan menggenjot sektor wisata. Mendatangkan bule-bule turis manca sebanyak-banyaknya, karena mereka datang membawa dolar. (Ah, Aku terkesan sok tau soal masalah fundamental ekonomi. Ini kan kudengar dari omong-omong orang Jakarta itu...🤣😄😅
Kalau Aku cermati, apa yang sedang hilang kini dari kalangan warga di Lombok yang berkali-kali dikejutkan oleh gempa susulan yang dahsyat itu adalah Rasa Aman...(?)!!
Rumah yang seharusnya menjadi tempat berteduh, tempat beristirahat, tempat sehari-hari membangun interaksi anggota keluarga, kini telah kehilangan fungsi dasarnya tersebut.
Tinggal di dalam rumah berarti sebuah ancaman. Setiap orang yang dengan terpaksa tidur di rumah berselimut rasa takut. Berbantal kecemasan yang mengganjal. Maka tiada tidur yang nyenyak kecuali berada di bawah tenda-tenda darurat yang terbuat dari terpal..! Sebab, gempa-gempa susulan itu sesekali tiba-tiba datang tanpa pernah mereka ketahui sebelumnya.
Demikianlah... Rumah telah dijauhi. Gedung-gedung sekolah yang masih berdiri dihindari. Anak-anak lebih sering tidak sekolah. Dan tampaknya sebagian mereka juga senang bisa libur berlama-lama....!!! Libur gempa....!!!
Hari Ahad, pada tanggal 26 Agustus, tanggal yang diperkirakan menjadi hari akan datangnya gempa besar lagi (sebab setiap gempa besar di Lombok terjadi pada hari Ahad), Aku dan keluargaku mengadakan acara syukuran potong rambut (sasak: bekuris) untuk putriku Nisa. Aku pulang kampung kali ini memang nawaitu untuk acara tersebut.
![]() |
Dhiyaunnisa potong rambut di Lombok |
Pada saat Aku mendatangi rumah sebagian teman-teman untuk mengundang kehadiran mereka di acaraku itu, di situlah Aku melihat dari dekat deretan tenda-tenda darurat di sepanjang perkampungan di desaku dan desa-desa tetangga. Rupanya, tidur dalam tenda lebih bisa menjamin rasa aman ketimbang rumah.
Alhasil, harga terpal meroket. Sebab permintaan untuk terpal melonjak. Muncul agen-agen penjual terpal yang memesan langsung barang itu dari Surabaya, menjualnya dengan harga yang lebih bersahabat ketimbang pedagang setempat yang berusaha mengais keuntungan sesaat.
Sebagian orangtua kami berseloroh: "Setelah kita tua baru benar-benar jadi Pramuka"..!" Berkemah di tenda identik Pramuka..
Sudah cukup banyak penjelasan yang Aku dengar mengenai perihal mengapa gempa bumi di Lombok kali ini terjadi susul menyusul.
Penjelasan teori kegempaan sudah kerap diungkap BMKG. Penjelasan teologis muncul tidak hanya dari kalangan agamawan, bahkan kalangan awam pun mahir menjelaskan duduk persoalannya.
Jawaban berbau teologis seringkali bernada introspektif. Bersumber dari kearifan purba yang hendak melihat setiap gejala alam tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan dengan sikap manusia dan kehendak Yang Maha Kuasa.
Dalam kacamata pandangan ini, gempa bumi adalah sebuah teguran Tuhan -lebih keras lagi ada yang menyebutnya sebagai azab Tuhan atas ulah tangan manusia.
Bali-Lombok 23-28 Agustus 2018
Komentar