Langsung ke konten utama

Dhiyaunnisa

8 Mei. Lahir putriku yang kedua. Setelah isteriku bertarung hebat menahan sakit. Pada jeritan terakhir jam 1.30 tengah malam itulah, bayi yang dikandungnya tiba di dunia.

Semula, bayiku ini akan aku beri nama "Sari". Lengkapnya "Najida Sari". Tetapi orang-orang dekat di sekelilingku termasuk isteriku tidak setuju dengan nama ini. "Sari" mungkin nama yang terkesan terlampau kampung. Padahal menurutku "Sari" itu amatlah bagus artinya. Tambahan lagi, Sari itu adalah inisial singkat dari nama saya : Samsulbahri.

Sehubungan dengan hal itu, jika sebelumnya isteriku yang berjuang melahirkan si bayi, kini giliran akulah yang harus berjuang mencari nama untuk si bayi mungil yang membuat hati kami berbunga- bunga ini.

Pagi setelah subuh. Di hari terakhir kami tinggal di rumah sakit umum Kertayasa, dan di hari dimana aku harus menyerahkan nama si bayi untuk dibuatkan surat kenal lahir oleh pihak rumahsakit, aku harus berpikir ulang mencari bakal nama si bayi. Lalu kusebut nama "Dini" sebagai ganti nama "Sari" yang tidak direstui itu.

Alhasil, nama "Dini" pun belum dapat diterima isteriku. Setelah merasa kehabisan ide, maka kuberi kebebasan buat ibunya saja untuk mencarikan nama. Tetapi lagi lagi akulah yang dipercayakannya untuk mencari nama.

Di dalam kegalauan itu, aku sesekali mencoba memejamkan mata. Berusaha berkonsentrasi. Mencari dan mencari bakal nama yang baik dan diterima.

 Dan pada saatnya terlintaslah nama "Dhiyaunnisa". Dhiya dalam bahasa Arab berarti cahaya. Annisa adalah perempuan. Dhiyaunnisa berarti cahaya wanita ( yang saleh).

Kata "Dhiya"  ini sebetulnya saya ambil dari "Dhiyaullami'" cahaya gemerlap nan benderang. Judul dari maulid Alhabib Umar bin Muhammad bin Hafidh. Entah bagaimana, pagi itu aku teringat dengan judul kitab maulid ini yang kebetulan beberapa kali aku ikuti acara pembacaannya di sebuah pesantren yang diasuh seorang sahabatku yang alim.

Ini adalah nama terakhir yang akan aku ajukan kepada isteriku. Aku sangat berbahagia setelah menemukan nama sederhana dan bermakna ini.

Aku memberitau isteriku tentang nama ini di saat detik terakhir ketika petugas rumahsakit meminta kami segera menyerahkan form isian data nama si bayi.

"Dhiyaunnisa" panjangnya "Yasi Dhiyaunnisa". Kataku pada isteriku. Ia mengangguk setuju dengan nama itu. Paling tidak menurutnya ini lebih baik dari nama yang kuajukan sebelumnya.

Jika nama adalah doa. Biarlah nama ini menjadi doaku untuk putriku. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...