Langsung ke konten utama

Adnan Marhaban

Kakek tua teman ngobrolku itu telah tiada. Kamis pagi 24 Mei kemarin dia hembuskan nafas penghabisan di rumah tinggalnya, di sebuah kampung padat penduduk, dengan gang-gang sempit: Kampung Petukangan Loloan Barat Jembrana.

Aku belum sempat mengunjunginya lagi, setelah perjumpaan terakhir dengannya dua hari jelang Nyepi dalam bulan Maret silam. Saat itu aku datang ke rumah Kakek Adnan bersama Aiko Kurasawa yang memang meminta saya menemaninya menemui Kakek Adnan.

Sudah tidak terhitung kalinya aku datang berkunjung secara pribadi ke rumah Kakek Adnan, semenjak pertemuan pertamaku empat tahun silam, dimana aku meminta kesediaannya menjadi narasumber penelitianku tentang Pergulatan Pemuda Ansor NU di Jembrana dalam tahun kecamuk 1965-1966.

Penelitianku yang sudah aku mulai sejak tahun 2013 itu sendiri aku beri judul: Pemuda Ansor NU Dalam Kemelut Jaman Gestok di Bali.

Kakek Adnan adalah salah seorang narasumber maha penting dalam penelitianku ini. Ia menjabat sebagai sekretaris Pemuda Ansor ketika masa pergolakan berlangsung. Ia adalah satu-satunya saksi sejarah mewakili Pemuda Ansor yang menuangkan kesaksiannya dalam bentuk tulisan memoir berjudul Jembrana Mandi Darah. Disamping keterangan lisan dari banyak sumber, tulisan Kakek Adnan inilah satu-satunya sumber tertulis penelitianku.

Saat ini penelitian yang aku kerjakan sudah hampir selesai. Delapan bulan lalu, saat akan kembali ke Tokyo, Aiko memintaku menyerahkan draft tulisanku untuk dibaca.
Suatu hari, aku juga menjanjikan Kakek Adnan agar dia membaca tulisanku. Niatku untuk mengantar naskah ke rumahnya belum kesampaian hingga ia berpulang.

Konon, beberapa hari menjelang jatuh sakit dan meninggal secara sederhana (tanpa infus, tanpa opname, tanpa biaya perawatan), Kakek Adnan kerap menanyakan kabarku kepada seorang tetangganya Syamsudin yang bekerja sebagai pedagang sayur keliling dan kerap singgah di dusunku.

Dalam bulan puasa ini, aku memang sudah berniat akan datang bertamu ke rumahnya, seraya membawakan bundel naskah tulisanku kepadanya.


Tetapi kehendak itu tak tercapai.

Sungguh banyak informasi berharga yang telah disumbangkan Kakek Adnan bagi penelitianku. Aku sering ngobrol cukup lama dengannya. Kadang aku datang sebentar saja menengoknya dan meminjam beberapa buku bacaan koleksinya.

Kini pria yang lahir tahun 1942 itu telah pergi, setara panjang usianya. Ia hanya mengikuti urut-urutan kepergian para saksi mata yang menjadi narasumber saya, setelah sebelumnya kepergian Akromo (mantan Aktivis Ansor), dan I Ketut Warya ( mantan anggota partai merah yang selamat dari pembantaian).

Aku hanya ingin berpesan pada diriku: Di hadapan kematian, tak ada yang sanggup berdiri tegak selamanya. Yang kekal hanya Zat pemberi hidup.

Begitulah. Saat aku berdiri berdesakan di hadapan jenazah Kakek Adnan, kuangkat tangan dan empat takbir. Allahummagfirlahu warhamhu.


Jembrana, 26 Mei 2018 / 10 Ramadhan 1439.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...