Hari ini 30 April, tanggal wafat Pramudya Ananta Toer. Sastrawan paling produktif di Indonesia yang pernah aku kenal dan aku baca karyanya.
Catatan ini akan menguraikan awal perjumpaanku dengan karya-karya Pram, dan bagaimana karya-karya itu telah turut membentuk jalan pikiranku selama aku menjadi mahasiswa di Jogja.
Pram adalah nama baru yang kukenal setelah aku hijrah ke Jogja. Di pesantren, semasa duduk di bangku SMP, sastrawan yang banyak beredar karyanya di toko buku dan terpajang di perpustakaan hanyalah mereka yang dari angkatan Balai Pustaka; sebut nama segelintir dari mereka; Hamka, Marah Rusli, Sutan Takdir Alisyahbana.
Seingatku, karya novel pertama yang aku baca sewaktu masih di bangku SMP adalah karya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk dan Di Bawah Lindungan Ka'bah. Lalu Layar Terkembang karya Sutan Takdir, dan terakhir Kasih Tak Sampai karya Marah yang tak gampang marah. :)
Nama Pram tak sekalipun pernah kudengar. Di buku pelajaran bahasa dan sastra juga tidak pernah dicantumkan. Guru bahasa dan sastraku yang jebolan fakultas sastra juga tidak pernah kudengar menyebut nama Pram.
Pram bersama beberapa tokoh sastra kiri lainnya adalah sederet sosok yang "diharamkan" untuk diketahui oleh siapa saja yang merasa menjadi warga negara pancasilais ini. Apalagi oleh anak-anak pelajar macam aku yang tinggal di lingkungan pesantren salaf.
Tahun 1999 dalam bulan Juni, aku ke Jogja. Tidak usah kuceritakan di sini bagaimana aku bisa sampai di Jogja, berangkat dari pesantren dengan menumpang kendaraan truk Fuso. Mungkin di catatan lain aku akan ceritakan suka dukaku meringkuk selama hampir 9 jam di kabin ekstra di belakang jok supir Fuso, sebelum kemudian aku dipindahkan oleh supir Fuso itu ke sebuah Bus (bus eka Surabaya-Jogja), yang akan menuju Jogja, di sebuah perhentian lampu merah yang sedang menyala merah pada sekitar jam 1 malam.
Di Jogja semula aku tinggal di Asrama NTB di jalan Soka. Sebelum kemudian aku putuskan untuk pindah ke Pesantren Wahid Hasyim Gaten.
Singkat kisah, setelah aku diterima sebagai pelajar tinggi di IAIN Sunan Kalijaga, seperti kawan-kawan seasramaku yang lain, aku ikut menceburkan diri ke dalam kegiatan ekstra dengan bergiat menjadi anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ( sering disebut PM sebelas). Selain itu, aku juga aktif mengikuti kegiatan di Lembaga Pers Mahasiswa dengan menjadi kuli di Majalah fakultas syariah Advokasia.
Rupanya, kegemaranku menulis-nulis catatan harian sejak duduk di bangku SMA dulu menemukan lahan yang subur setelah aku bergiat di pers mahasiswa.
Di Jogja, aku bersua dengan banyak kawan-kawan sesama alumni pesantren Asembagus. Satu nama diantara banyak nama yang penting kucatat disini adalah Mas Ahmad Jauhari. Sebab, dari perjumpaanku dengan Mas Heri inilah kelak yang menjadi jembatan pertama perjumpaanku dengan karya Pram.
Mas Heri tinggal di sebuah rumah kos di gang genjah Sapen, tak jauh dari kampus IAIN.
Jika aku sedang tidak ada jam kuliah, aku sesekali mampir ke kos Mas Heri yang selalu terbuka untuk semua orang.
Aku sering melihat-lihat koleksi buku yang terpajang di rak buku Mas Heri. Sebagian banyak adalah buku filsafat yang berat-berat, karena Mas Heri ambil jurusan filsafat.
Pada suatu siang, entah karena suatu kebetulan, saat mampir ke kos di kamar Mas Heri aku jumpai sebuah buku novel, Gadis Pantai karya Pram, tergeletak habis dibaca seseorang.
Buku ini cetakan I tahun 2000, oleh penerbit Hasta Mitra. Masih baru. Hanya pernah dijamah dan dibaca beberapa tangan.
Penasaran dengan isi buku ini, aku membacanya, dan kuputuskan untuk meminjam buku itu dari Mas Heri untuk kubawa pulang ke pesantren.
Saat itu, aku baru duduk di smester 2 atau di tahun pertamaku kuliah. Dan aku sudah berkenalan dengan karya Pram. Perkenalan pertama lewat Gadis Pantai. Kelak kemudian hari, aku makin ketagihan membaca karya-karya Pram yang lain. Mungkin di lain waktulah akan aku ceritakan bagaimana aku bisa membaca tetralogi Bumi Manusia dan sederet karya Pram yang lain hanya dari modal "meminjam buku teman", karena uang sakuku dari rumah tak cukup buat membeli buku-buku yang lumayan mahal itu.
Gadis Pantai banyak memberi pengaruh pada pola pikirku. Karya ini seolah turut membantu membentuk kerangka pikiranku menurut yang aku butuhkan untuk mencerna beragam warna baru pemikiran yang sedang melanda dunia akademis pada waktu itu setelah era reformasi 1998.
Cukup sampai di sini dululah catatanku tentang Pram dan Aku. Akan ada masih banyak lagi catatan lain tentang ini, dan akan kutuliskan di lain saat.
Catatan ini akan menguraikan awal perjumpaanku dengan karya-karya Pram, dan bagaimana karya-karya itu telah turut membentuk jalan pikiranku selama aku menjadi mahasiswa di Jogja.
Pram adalah nama baru yang kukenal setelah aku hijrah ke Jogja. Di pesantren, semasa duduk di bangku SMP, sastrawan yang banyak beredar karyanya di toko buku dan terpajang di perpustakaan hanyalah mereka yang dari angkatan Balai Pustaka; sebut nama segelintir dari mereka; Hamka, Marah Rusli, Sutan Takdir Alisyahbana.
Seingatku, karya novel pertama yang aku baca sewaktu masih di bangku SMP adalah karya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk dan Di Bawah Lindungan Ka'bah. Lalu Layar Terkembang karya Sutan Takdir, dan terakhir Kasih Tak Sampai karya Marah yang tak gampang marah. :)
Nama Pram tak sekalipun pernah kudengar. Di buku pelajaran bahasa dan sastra juga tidak pernah dicantumkan. Guru bahasa dan sastraku yang jebolan fakultas sastra juga tidak pernah kudengar menyebut nama Pram.
Pram bersama beberapa tokoh sastra kiri lainnya adalah sederet sosok yang "diharamkan" untuk diketahui oleh siapa saja yang merasa menjadi warga negara pancasilais ini. Apalagi oleh anak-anak pelajar macam aku yang tinggal di lingkungan pesantren salaf.
Tahun 1999 dalam bulan Juni, aku ke Jogja. Tidak usah kuceritakan di sini bagaimana aku bisa sampai di Jogja, berangkat dari pesantren dengan menumpang kendaraan truk Fuso. Mungkin di catatan lain aku akan ceritakan suka dukaku meringkuk selama hampir 9 jam di kabin ekstra di belakang jok supir Fuso, sebelum kemudian aku dipindahkan oleh supir Fuso itu ke sebuah Bus (bus eka Surabaya-Jogja), yang akan menuju Jogja, di sebuah perhentian lampu merah yang sedang menyala merah pada sekitar jam 1 malam.
Di Jogja semula aku tinggal di Asrama NTB di jalan Soka. Sebelum kemudian aku putuskan untuk pindah ke Pesantren Wahid Hasyim Gaten.
Singkat kisah, setelah aku diterima sebagai pelajar tinggi di IAIN Sunan Kalijaga, seperti kawan-kawan seasramaku yang lain, aku ikut menceburkan diri ke dalam kegiatan ekstra dengan bergiat menjadi anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ( sering disebut PM sebelas). Selain itu, aku juga aktif mengikuti kegiatan di Lembaga Pers Mahasiswa dengan menjadi kuli di Majalah fakultas syariah Advokasia.
Rupanya, kegemaranku menulis-nulis catatan harian sejak duduk di bangku SMA dulu menemukan lahan yang subur setelah aku bergiat di pers mahasiswa.
Di Jogja, aku bersua dengan banyak kawan-kawan sesama alumni pesantren Asembagus. Satu nama diantara banyak nama yang penting kucatat disini adalah Mas Ahmad Jauhari. Sebab, dari perjumpaanku dengan Mas Heri inilah kelak yang menjadi jembatan pertama perjumpaanku dengan karya Pram.
Mas Heri tinggal di sebuah rumah kos di gang genjah Sapen, tak jauh dari kampus IAIN.
Jika aku sedang tidak ada jam kuliah, aku sesekali mampir ke kos Mas Heri yang selalu terbuka untuk semua orang.
Aku sering melihat-lihat koleksi buku yang terpajang di rak buku Mas Heri. Sebagian banyak adalah buku filsafat yang berat-berat, karena Mas Heri ambil jurusan filsafat.
Pada suatu siang, entah karena suatu kebetulan, saat mampir ke kos di kamar Mas Heri aku jumpai sebuah buku novel, Gadis Pantai karya Pram, tergeletak habis dibaca seseorang.
Buku ini cetakan I tahun 2000, oleh penerbit Hasta Mitra. Masih baru. Hanya pernah dijamah dan dibaca beberapa tangan.
Penasaran dengan isi buku ini, aku membacanya, dan kuputuskan untuk meminjam buku itu dari Mas Heri untuk kubawa pulang ke pesantren.
Saat itu, aku baru duduk di smester 2 atau di tahun pertamaku kuliah. Dan aku sudah berkenalan dengan karya Pram. Perkenalan pertama lewat Gadis Pantai. Kelak kemudian hari, aku makin ketagihan membaca karya-karya Pram yang lain. Mungkin di lain waktulah akan aku ceritakan bagaimana aku bisa membaca tetralogi Bumi Manusia dan sederet karya Pram yang lain hanya dari modal "meminjam buku teman", karena uang sakuku dari rumah tak cukup buat membeli buku-buku yang lumayan mahal itu.
Gadis Pantai banyak memberi pengaruh pada pola pikirku. Karya ini seolah turut membantu membentuk kerangka pikiranku menurut yang aku butuhkan untuk mencerna beragam warna baru pemikiran yang sedang melanda dunia akademis pada waktu itu setelah era reformasi 1998.
Cukup sampai di sini dululah catatanku tentang Pram dan Aku. Akan ada masih banyak lagi catatan lain tentang ini, dan akan kutuliskan di lain saat.
Komentar