Dari jalan Gatsu Denpasar butuh waktu dua jam lagi untuk sampai di lokasi vila Green View Ubud Gianyar.
Jalanan masih terbilang ramai selepas perayaan tahun baru. Hujan gerimis menemani sepanjang jalan.
Mula-mula kami agak pesimis melihat kondisi jalanan menuju tujuan. Banyak tanjakan dan turunan curam. Menerobos jalan perkampungan. Lantaran fisik yang penat, perjalanan menuju vila terasa memakan waktu.
Lebih lagi, 500 meter menjelang tiba di lokasi, kami makin dibuat ciut nyali, oleh karena peta di layar telpon pintar meunjuk ke sebuah jalan kecil yang di sisi kirinya ditumbuhi ilalang tinggi. Jalan yang membelah sawah ini hanya cukup untuk satu kendaraan roda empat, dan mustahil dapat berpapasan dengan kendaraan dari arah berlawan. Hanya ada satu papan nama kecil yang memberikan petunjuk bahwa jalan ini akan menuju vila Green View.
Kami makin dibuat penasaran karena setelah beberapa meter menyusuri jalan kecil itu, lokasi vila tak kunjung nampak. Justeru yang terlihat menonjol adalah bangunan gudang mesin penggilingan padi.
Selewat gudang penggilingan padi, masih ada tikungan jalan sempit lagi, ada sebuah warung kecil di sisi jalan itu. Kepada ibu dusun si pemilik warung kami bertanya apakah benar jalan ini mengarah ke lokasi vila Green View..? Si ibu dusun membenarkan, dan barulah kami yakin akan sampai di sana.
Pintu gerbang vila tampak berlumut dan ditumbuhi tanaman rambat liar. Kami langsung memarkir kendaraan di tempat parkir. Suasana sangat lengang. Dari dalam staff office, keluar seorang perempuan berbadan tinggi semampai berkulit salju dan bermata agak sipit. Sepertinya dia seorang Jepang, pemilik vila itu. Bahasa Indonesianya terdengar lancar.
Suasana lengang dan gerimis di tempat itu membuat kami tambah kurang yakin, apakah vila ini dapat menjadi tempat yang pas buat beristirahat, sebelum besok kami akan melanjutkan perjalanan.
Hampir semua dari kami merasakan hal yang sama: pesimis. Belum lagi kami diminta menunggu setengah jam sebelum ruangan yang akan kami tempati ready. "Kamarnya masih berantakan, tadi habis ada tamu check out.." terang perempuan Jepang itu sambil meyakinkan kami dengan senyumnya yang ramah dan menawarkan minuman hangat teh atau kopi kepada kami sebagai welcome drink.
Kami jawab dengan nada protes, sebab saat kami pesan on-line via ........... jam 2 kami sudah harus check in. Tetapi, hingga jam menunjuk pukul 3 lebih, ternyata ruangan yang kami order belum siap sedia.
Mendengar complain kami, si pemilik vila mempersilakan kami menempati sebuah ruangan vila. Tapi ini bukan tempat kami sebenarnya... karena nantinya satu jam berselang ternyata kami diminta pindah ke ruang vila nomor 9 di sebelahnya.
Seorang jongos muda yang dipanggil Wayan oleh pemilik vila, mengantar kami memasuki ruang vila. Suasananya cukup nyaman. Sedikit terkesan angker oleh posisinya di puncak tebing dengan pohonan bambu rimbun di sebelahnya, dan andaikata kami adalah satu-satunya penyewa yang menginap di tempat ini.
Menurut informasi si jongos, dari 10 bangunan vila di komplek itu, tak ada yang kosong. Semua terisi dan akan ada lagi tamu yang bakal menginap.
Agak legalah perasaan saya mendengar bahwa kami sekeluarga bukan satu-satunya tamu di vila itu. Tadinya saya sempat berujar kepada isteri saya "Jika kita adalah satu-satunya tamu yang menginap di vila, alangkah angker suasana di sini.!!!!"
(Catatan belum selesai....)
Jalanan masih terbilang ramai selepas perayaan tahun baru. Hujan gerimis menemani sepanjang jalan.
Mula-mula kami agak pesimis melihat kondisi jalanan menuju tujuan. Banyak tanjakan dan turunan curam. Menerobos jalan perkampungan. Lantaran fisik yang penat, perjalanan menuju vila terasa memakan waktu.
Lebih lagi, 500 meter menjelang tiba di lokasi, kami makin dibuat ciut nyali, oleh karena peta di layar telpon pintar meunjuk ke sebuah jalan kecil yang di sisi kirinya ditumbuhi ilalang tinggi. Jalan yang membelah sawah ini hanya cukup untuk satu kendaraan roda empat, dan mustahil dapat berpapasan dengan kendaraan dari arah berlawan. Hanya ada satu papan nama kecil yang memberikan petunjuk bahwa jalan ini akan menuju vila Green View.
Kami makin dibuat penasaran karena setelah beberapa meter menyusuri jalan kecil itu, lokasi vila tak kunjung nampak. Justeru yang terlihat menonjol adalah bangunan gudang mesin penggilingan padi.
Selewat gudang penggilingan padi, masih ada tikungan jalan sempit lagi, ada sebuah warung kecil di sisi jalan itu. Kepada ibu dusun si pemilik warung kami bertanya apakah benar jalan ini mengarah ke lokasi vila Green View..? Si ibu dusun membenarkan, dan barulah kami yakin akan sampai di sana.
Pintu gerbang vila tampak berlumut dan ditumbuhi tanaman rambat liar. Kami langsung memarkir kendaraan di tempat parkir. Suasana sangat lengang. Dari dalam staff office, keluar seorang perempuan berbadan tinggi semampai berkulit salju dan bermata agak sipit. Sepertinya dia seorang Jepang, pemilik vila itu. Bahasa Indonesianya terdengar lancar.
Suasana lengang dan gerimis di tempat itu membuat kami tambah kurang yakin, apakah vila ini dapat menjadi tempat yang pas buat beristirahat, sebelum besok kami akan melanjutkan perjalanan.
Hampir semua dari kami merasakan hal yang sama: pesimis. Belum lagi kami diminta menunggu setengah jam sebelum ruangan yang akan kami tempati ready. "Kamarnya masih berantakan, tadi habis ada tamu check out.." terang perempuan Jepang itu sambil meyakinkan kami dengan senyumnya yang ramah dan menawarkan minuman hangat teh atau kopi kepada kami sebagai welcome drink.
Kami jawab dengan nada protes, sebab saat kami pesan on-line via ........... jam 2 kami sudah harus check in. Tetapi, hingga jam menunjuk pukul 3 lebih, ternyata ruangan yang kami order belum siap sedia.
Mendengar complain kami, si pemilik vila mempersilakan kami menempati sebuah ruangan vila. Tapi ini bukan tempat kami sebenarnya... karena nantinya satu jam berselang ternyata kami diminta pindah ke ruang vila nomor 9 di sebelahnya.
Seorang jongos muda yang dipanggil Wayan oleh pemilik vila, mengantar kami memasuki ruang vila. Suasananya cukup nyaman. Sedikit terkesan angker oleh posisinya di puncak tebing dengan pohonan bambu rimbun di sebelahnya, dan andaikata kami adalah satu-satunya penyewa yang menginap di tempat ini.
Menurut informasi si jongos, dari 10 bangunan vila di komplek itu, tak ada yang kosong. Semua terisi dan akan ada lagi tamu yang bakal menginap.
Agak legalah perasaan saya mendengar bahwa kami sekeluarga bukan satu-satunya tamu di vila itu. Tadinya saya sempat berujar kepada isteri saya "Jika kita adalah satu-satunya tamu yang menginap di vila, alangkah angker suasana di sini.!!!!"
(Catatan belum selesai....)
Komentar