"Film PKI" sebutan kami untuk film Pengkhianatan G 30 S/PKI besutan sutradara Arifin C. Noor. Film itu sudah saya tonton sejak saya masih Sekolah Dasar kelas 3. Sebagai tontonan wajib setiap tanggal 30 September, film itu pernah diputar di TVRI mulai pukul 12 tengah malam waktu Indonesia tengah, dan selesai kira-kira menjelang subuh. Beberapa tahun kemudian seiring makin santernya doktrin "anti-komunis" Orde Baru, film itu diputar mulai pukul 8 malam, selesai jam 12 malam.
Selain itu, film itu juga pernah saya tonton di acara gotong royong pembangunan sebuah sekolah dasar di dusun Songkok. Pemutaran film PKI versi layar tancap itu disiarkan oleh Departemen Penerangan Kecamatan dengan kendaraan keliling di jalan desa. Dihimbau bagi setiap penonton yang akan datang menonton untuk membawa minimal satu bongkah batu sebagai "karcis nonton". Batu-batu itu rencananya akan digunakan untuk membangun fondasi pagar sekolah.
Waktu saya tinggal di pesantren Asembagus Situbondo antara tahun 1993-1999, pengurus pesantren mengijinkan para santri menonton massal film ini melalui layar TV yang disediakan di halaman depan gedung pusat pondok pesantren. Dengan senang hati kami berjibun berdesakan memelototi satu-satunya fasilitas layar TV di pesantren hingga larut malam.
Sejak September 1998, setelah Presiden Suharto tersungkur dari kekuasaan, film itu dilarang untuk diputar kembali, mengingat kentalnya aroma doktrin yang sudah tidak relevan dengan perkembangan jaman. Presiden BJ. Habibie yang memang memiliki visi jauh ke depan menilai bahwa film doktrin itu bertentangan dengan semangat reformasi.
Maka sejak itulah Film PKI sudah tidak tayang lagi di TVRI. Suharto yang sejak kami kanak-kanak dulu menganggap sosoknya sebagai hero di film itu, terbongkar belangnya. Dia bukan hero yang sesungguhnya. Dia tak lebih dari seorang jenderal korup. Dia adalah musuh bebuyutan para aktivis pro demokrasi.
"Film PKI" itu telah berkontribusi besar dalam membangun citra tentang komunisme (PKI) di Indonesia. Citra sebuah ideologi bejat, anti-kemanusiaan, anti-tuhan, pembunuh yang bengis, anti-pancasila, pemberontak dan citra buruk lainnya. Orde Baru Suharto sangat berkepentingan melanggengkan citra ini, sehingga ia merasa perlu menanamkan ideologi anti-komunis kepada siapa saja warga negara Indonesia sejak anak-anak berusia dini.
Dulu saya punya anggapan demikian atas komunisme. Pandangan masa kanak-kanak saya.
Namun sejak kepindahan saya ke Yogya di tahun 1999, pandangan itu mulai pudar. Memulai kuliah di IAIN Sunan Kalijaga dan bergiat dalam kegiatan kemahasiswaan (PMII) membuat pikiran saya mulai terbuka terhadap ideologi terlarang ini.
Duduk di smester satu, saya berkenalan dengan Tan Malaka. Buku filsafat materialisme "MADILOG" (Materialisme-Dialektika-Logika) karya Tan Malaka ini saya fotokopi dari seorang kawan. Meski agak kesulitan membaca dan memahami buku ini karena masih dalam tulisan bahasa jadulnya, saya telah terlanjur mengidentifikasi diri sebagai bagian dari mahasiswa beraliran "kiri". Disamping karena saya sering ikut dalam kegiatan diskusi-diskusi yang mendedah gagasan-gagasan tokoh-tokoh kiri.
Tahun 2000, saya berkenalan dengan Pramudya Ananta Toer bekas dedengkot Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakjat) organisasi yang dianggap underbow PKI, lewat karyanya Gadis Pantai. Buku Gadis Pantai ini saya pinjam dari rekan saya dari Gresik, Mas Heri (Ahmad Jauhari). Itu lantaran kegemaran saya singgah di kosnya di Sapen.
Harus saya akui bahwa buku Gadis Pantai ini banyak merobah cara pandang saya terhadap segala hal: agama, gender dan tradisi perlawanan orang-orang lemah (perempuan). Setelah Gadis Pantai, beberapa buku Pram yang kupinjam dari kawan tamat kubaca; antara lain Arus Balik, Tetralogi (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), Kumpulan Cerita Pendek Cerita Dari Blora, Cerita Dari Djakarta, Novel Bukan Pasar Malam dan masih banyak lagi.
Pram menjadi salah satu penulis favorit saya. Tampaknya hampir semua mahasiswa beraliran Kiri pernah membaca karya-karya Pram.
Tahun 2003 saya berjumpa dengan Pram dalam sebuah acara yang sangat menggembirakan bertajuk "Pram dan Kita" tanggal 14 Februari 2003 di Gedung UC UGM. Waktu itu hadir Gus Dur mantan presiden sebagai pembahas karya Pram. Ini adalah acara menggembirakan karena saya berjumpa dengan dua sosok yang sama-sama saya kagumi.
Saya ketahui dari pengakuan Gus Dur sendiri bahwa dia juga membaca karya-karya Pram. Bahkan ketika menjelaskan tentang novel Arus Balik, Gus Dur mengetahui detil karakter tokoh dalam novel itu..! Luar Biasa...!
Tidak dapat dikesampingkan bahwa Gus Dur sendiri adalah sosok yang berperan dalam merombak dan mencuci citra buruk tentang komunisme. Terutama melalui gagasan dia semasa menjabat presiden untuk menghapus TAP MPRS no 25 tentang larangan ajaran Marxisme dan Komunisme. Menurutnya, ideologi apapun itu tak dapat dilarang, sebab ideologi itu ada dalam pikiran manusia. Apakah kita dapat mencegah isi pikiran seseorang????
Kenyataan di Masyarakat berkata lain. Meskipun kita sudah berada di abad reformasi, namun masih ada dari mereka yang percaya akan doktrin Orba bahwa PKI dapat bangkit sewaktu-waktu. Kelompok-kelompok agamawan (Islam) sebagian besar masih memercayai doktrin ini.
Setelah lama tak terdengar, hari ini kita serasa diajak kembali ke jaman Orba. Ramai diperbincangkan mengenai kemungkinan memutar kembali "Film PKI". Konon dengan tujuan belajar dari sejarah. Ya... sejarah bohong mengenai kekejaman PKI. Dan pemerintah Jokowi akhirnya menyetujui untuk memutar kembali film ini. Di beberapa daerah diadakan acara nonton bareng (nobar) Film PKI. Pak Jokowi dan Panglima TNI Gatot Nurmantyo duduk lesehan nonton Film PKI. Bahkan stasiun TVRI memutar kembali film ini pada 30 September malam lalu.
Karena tayang jam 11 malam waktu Bali, saya sengaja menunggu untuk dapat melihat lagi film kenangan ini. Tapi belum beberapa menit, mata saya mengantuk dan akhirnya kumatikan televisi....!!!
Selain itu, film itu juga pernah saya tonton di acara gotong royong pembangunan sebuah sekolah dasar di dusun Songkok. Pemutaran film PKI versi layar tancap itu disiarkan oleh Departemen Penerangan Kecamatan dengan kendaraan keliling di jalan desa. Dihimbau bagi setiap penonton yang akan datang menonton untuk membawa minimal satu bongkah batu sebagai "karcis nonton". Batu-batu itu rencananya akan digunakan untuk membangun fondasi pagar sekolah.
Waktu saya tinggal di pesantren Asembagus Situbondo antara tahun 1993-1999, pengurus pesantren mengijinkan para santri menonton massal film ini melalui layar TV yang disediakan di halaman depan gedung pusat pondok pesantren. Dengan senang hati kami berjibun berdesakan memelototi satu-satunya fasilitas layar TV di pesantren hingga larut malam.
Sejak September 1998, setelah Presiden Suharto tersungkur dari kekuasaan, film itu dilarang untuk diputar kembali, mengingat kentalnya aroma doktrin yang sudah tidak relevan dengan perkembangan jaman. Presiden BJ. Habibie yang memang memiliki visi jauh ke depan menilai bahwa film doktrin itu bertentangan dengan semangat reformasi.
Maka sejak itulah Film PKI sudah tidak tayang lagi di TVRI. Suharto yang sejak kami kanak-kanak dulu menganggap sosoknya sebagai hero di film itu, terbongkar belangnya. Dia bukan hero yang sesungguhnya. Dia tak lebih dari seorang jenderal korup. Dia adalah musuh bebuyutan para aktivis pro demokrasi.
"Film PKI" itu telah berkontribusi besar dalam membangun citra tentang komunisme (PKI) di Indonesia. Citra sebuah ideologi bejat, anti-kemanusiaan, anti-tuhan, pembunuh yang bengis, anti-pancasila, pemberontak dan citra buruk lainnya. Orde Baru Suharto sangat berkepentingan melanggengkan citra ini, sehingga ia merasa perlu menanamkan ideologi anti-komunis kepada siapa saja warga negara Indonesia sejak anak-anak berusia dini.
Dulu saya punya anggapan demikian atas komunisme. Pandangan masa kanak-kanak saya.
Namun sejak kepindahan saya ke Yogya di tahun 1999, pandangan itu mulai pudar. Memulai kuliah di IAIN Sunan Kalijaga dan bergiat dalam kegiatan kemahasiswaan (PMII) membuat pikiran saya mulai terbuka terhadap ideologi terlarang ini.
Duduk di smester satu, saya berkenalan dengan Tan Malaka. Buku filsafat materialisme "MADILOG" (Materialisme-Dialektika-Logika) karya Tan Malaka ini saya fotokopi dari seorang kawan. Meski agak kesulitan membaca dan memahami buku ini karena masih dalam tulisan bahasa jadulnya, saya telah terlanjur mengidentifikasi diri sebagai bagian dari mahasiswa beraliran "kiri". Disamping karena saya sering ikut dalam kegiatan diskusi-diskusi yang mendedah gagasan-gagasan tokoh-tokoh kiri.
Tahun 2000, saya berkenalan dengan Pramudya Ananta Toer bekas dedengkot Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakjat) organisasi yang dianggap underbow PKI, lewat karyanya Gadis Pantai. Buku Gadis Pantai ini saya pinjam dari rekan saya dari Gresik, Mas Heri (Ahmad Jauhari). Itu lantaran kegemaran saya singgah di kosnya di Sapen.
Harus saya akui bahwa buku Gadis Pantai ini banyak merobah cara pandang saya terhadap segala hal: agama, gender dan tradisi perlawanan orang-orang lemah (perempuan). Setelah Gadis Pantai, beberapa buku Pram yang kupinjam dari kawan tamat kubaca; antara lain Arus Balik, Tetralogi (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), Kumpulan Cerita Pendek Cerita Dari Blora, Cerita Dari Djakarta, Novel Bukan Pasar Malam dan masih banyak lagi.
Pram menjadi salah satu penulis favorit saya. Tampaknya hampir semua mahasiswa beraliran Kiri pernah membaca karya-karya Pram.
Tahun 2003 saya berjumpa dengan Pram dalam sebuah acara yang sangat menggembirakan bertajuk "Pram dan Kita" tanggal 14 Februari 2003 di Gedung UC UGM. Waktu itu hadir Gus Dur mantan presiden sebagai pembahas karya Pram. Ini adalah acara menggembirakan karena saya berjumpa dengan dua sosok yang sama-sama saya kagumi.
Saya ketahui dari pengakuan Gus Dur sendiri bahwa dia juga membaca karya-karya Pram. Bahkan ketika menjelaskan tentang novel Arus Balik, Gus Dur mengetahui detil karakter tokoh dalam novel itu..! Luar Biasa...!
Tidak dapat dikesampingkan bahwa Gus Dur sendiri adalah sosok yang berperan dalam merombak dan mencuci citra buruk tentang komunisme. Terutama melalui gagasan dia semasa menjabat presiden untuk menghapus TAP MPRS no 25 tentang larangan ajaran Marxisme dan Komunisme. Menurutnya, ideologi apapun itu tak dapat dilarang, sebab ideologi itu ada dalam pikiran manusia. Apakah kita dapat mencegah isi pikiran seseorang????
Kenyataan di Masyarakat berkata lain. Meskipun kita sudah berada di abad reformasi, namun masih ada dari mereka yang percaya akan doktrin Orba bahwa PKI dapat bangkit sewaktu-waktu. Kelompok-kelompok agamawan (Islam) sebagian besar masih memercayai doktrin ini.
Setelah lama tak terdengar, hari ini kita serasa diajak kembali ke jaman Orba. Ramai diperbincangkan mengenai kemungkinan memutar kembali "Film PKI". Konon dengan tujuan belajar dari sejarah. Ya... sejarah bohong mengenai kekejaman PKI. Dan pemerintah Jokowi akhirnya menyetujui untuk memutar kembali film ini. Di beberapa daerah diadakan acara nonton bareng (nobar) Film PKI. Pak Jokowi dan Panglima TNI Gatot Nurmantyo duduk lesehan nonton Film PKI. Bahkan stasiun TVRI memutar kembali film ini pada 30 September malam lalu.
Karena tayang jam 11 malam waktu Bali, saya sengaja menunggu untuk dapat melihat lagi film kenangan ini. Tapi belum beberapa menit, mata saya mengantuk dan akhirnya kumatikan televisi....!!!
Komentar