Langsung ke konten utama

Aiko

Saya masih akan melanjutkan menuliskan bagian-bagian sub bab pembahasan mengenai mobilisasi Pemuda (Ansor NU) dalam kasus pembunuhan massal PKI di Jembrana Bali, ketika pada minggu terakhir Januari ini Aiko Kurasawa datang ke Jembrana Bali. Seperti janjian kami tiga bulan sebelumnya, bahwa kami akan bertemu dan berdiskusi tentang beberapa hal mengenai kasus tragedi pembunuhan massal di Bali.

Siang itu, 25 Januari, sekitar pukul dua, Aiko menelpon saya. Dia memberitahu bahwa dia sudah tiba di Jembrana dan sedang berada di rumah seorang wartawan Kompas; Putu Fajar Arcana. Saya pun meluncur ke kediaman Mas Putu Fajar. Saya katakan kepada Aiko di telepon, saya mengenal Putu Fajar lewat tulisan-tulisannya di Kompas, tetapi saya belum pernah bertemu muka dengannya.

Hujan deras baru saja reda di Kota Negara. Tiba di Jalan Danau Beratan alamat rumah Putu Fajar, kami bertemu. Aiko mengajak pergi ke suatu tempat; coffee shop, atau tempat nongkrong umum lainnya agar kami dapat berdiskusi. Tetapi saya bilang bahwa saya tidak terbiasa duduk-duduk di coffee shop. Maka jadilah kami berdiskusi di ruang tamu rumah Mas Putu Fajar, tanpa kehadiran Mas Putu Fajar. Hanya ibu dari Mas Putu yang sudah tua yang menemani kami.

Pada hari pertama pertemuan itu, Aiko langsung mengajak saya menemui seorang narasumber, warga peranakan Tionghoa di Lelateng untuk keperluan wawancara.

Begitulah pada hari-hari berikutnya, hingga tanggal 2 Februari, saya menemani Aiko masuk keluar kampung dan menjelajah dusun-dusun terpencil di Jembrana, menemui narasumber, menggali informasi. Aiko sendiri sedang meneliti mengenai "jaringan hubungan komunitas" pasca tragedi '65. Judul penelitiannya; Changing Community Network in Rural Village and Urban Kampong; Historical Review.

Selama hari-hari itu, kami banyak bertukar pikiran, saling mengomentari suatu masalah, baik yang berhubungan dengan penelitian itu sendiri, ataupun mengenai pengalaman pribadi dan keluarga. Beberapa kali Aiko kuajak mampir ke rumah, atau pun mengajaknya menjemput anak saya di sekolah TK, sebelum pergi atau sepulang dari menemui narasumber. Putriku Yasi jadi familiar dengan nenek tua ini.




Mengenal Aiko

Sesungguhnya, nama Aiko Kurasawa bukan nama yang baru kukenal. Pada September 2007, saya berkunjung ke acara pameran buku di Gedung Mandala Bakti Wanitatama sebelah barat Kampus IAIN Sunan Kalijaga Yogya. Seperti biasa saya selalu menghadiri pameran-pameran buku untuk melihat sejauhmana perkembangan wacana keilmuan yang tengah jadi trend. Pada ajang pameran ini, banyak ragam buku dijual, dari buku-buku baru hingga buku-buku lawas.

Di salah satu stand yang menjual buku-buku bekas, saya melihat sebuah buku berjudul Mobilisasi dan Kontrol, Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa, yang ditulis Aiko Kurasawa. Buku ini terbitan Grasindo tahun 1993 dan diterjemahkan oleh Hermawan Sulistiyo. Mengetahui penerjemah buku ini orang yang tepat, tanpa pikir panjang saya langsung menyodorkan buku ini ke meja kasir. Waktu itu harga buku ini kubeli Rp. 10.000, lebih murah karena buku bekas.




Saya telah tertarik mempelajari ilmu sejarah sejak duduk di bangku SMA. Saat kuliah S1 di Yogya, saya makin punya banyak kesempatan untuk mempelajari ilmu sejarah, meskipun jurusan studi saya bukan sejarah. Mungkin karena sejak masuk kuliah S1 saya telah bergabung dengan kegiatan Pers Mahasiswa (Majalah Mahasiswa Advokasia Fakultas Syari'ah), maka saya seperti merasa dituntut untuk menguasai ilmu sejarah.

Selain buku-buku sejarah, pada waktu itu saya sedang sangat gemar membaca karya sastra. Menurut pendapat saya, sejarah dan sastra itu seperti dua sisi dari satu keping mata uang. Tak bisa dilepaskan.

Buku Mobilisasi dan Kontrol karya Aiko ini turut memberi perluasan wawasan bagi saya mengenai sepak terjang militer Jepang selama menjajah nusantara dalam konteks perang Asia Timur Raya. Tentu saja yang saya sukai dari perspektif Aiko dalam menulis sejarah adalah "sikap pembelaannya" terhadap kaum tertindas (terjajah) tanpa mempertimbangkan posisi dirinya sebagai seorang Jepang.




Pada pertemuan saya dengan Aiko kali ini, dia menghadiahi kepada saya buku terbarunya; G 30 S, Sikap dan Persepsi Jepang. Lalu tiga minggu sekembalinya ke Jakarta, Aiko mengirimi saya dua buku barunya: G 30 S dan Asia sebuah kumpulan tulisan dari banyak penulis terbitan Kompas Gramedia, dan buku Perang Asia Timur Raya dengan Beberapa Foto yang Tak Terceritakan, sebuah buku sejarah yang ditulis bergaya populer dengan bertutur kepada putrinya Romi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...