Langsung ke konten utama

Ulang Tahun Dengan Tanam Pohon

Sedari kecil, aku tak pernah merayakan ulang tahun kelahiranku. Orang tuaku juga tidak pernah merayakannya untukku.

Waktu kecil dulu, sebagian kecil teman-teman sekolahku dari keluarga orang-orang berada, merayakan ulang tahun kelahiran mereka. Tapi aku sendiri tak merayakannya.

Kebiasaan merayakan ulang tahun kelahiran sendiri, mulai makin kukenal sejak aku duduk di bangku kuliah.

Sebagian teman-teman kuliahku merayakan hari kelahiran mereka. Macam-macamlah bentuk perayaan itu. Ada yang mengajak makan di kantin kampus. Ada yang membuat acara kecil-kecilan dengan kue tart di rumah kos. Ada pula yang dengan sengaja pergi ke tempat-tempat wisata.

Ritual yang paling sering dilakukan saat merayakan ulang tahun teman-teman kuliahku adalah ketika si Pulan yang berulang tahun dikerjain dengan diguyur air seember, dilempari telor mentah di kepalanya, dan ditaburi tepung di sekujur badan.

Menurutku ini pekerjaan sia-sia. Meski tujuannya hanya untuk saling mempererat tali persahabatan dan perkawanan. Ada pepatah Arab bilang "Laisal adab liman ahabbah", "Tak butuh tatakrama bagi seorang sahabat yang kita cintai". Mungkin dasar dari kebiasaan saling mengerjain antara sesama teman terutama pada perayaan ulang tahun mereka, berdasar pada bunyi pepatah ini.

Aku kerap diajak dalam acara-acara perayaan ulang tahun kelahiran teman-temanku. Tetapi aku sendiri tidak pernah merayakannya. Aku menganggap bahwa perayaan hari lahir untuk diri sendiri tak penting. Aku memang tak pernah merayakannya secara khusus.

Setelah aku menikah dan punya anak, terpikir olehku untuk memberi makna khusus pada tanggal-tanggal tertentu: seperti hari lahir, hari pernikahan dan hari kelahiran putriku, Sayasi.

Karena di kampung tempat aku tinggal, ada kebiasaan anak-anak merayakan ulang tahun, kami coba-cobalah ikut-ikutan merayakan ulang tahun buat putriku. Mengundang teman-teman kecilnya yang datang dengan kado, meniup balon, memajang kue tart dan lilin.


Sayasi menanam pohon Matoa di halaman rumah
pada Ulang Tahun ke 4, 28 April 2016 / foto: Ayah

Tetapi itu hanya pernah terjadi sekali, di usia satu tahun putriku. Setelah itu aku tak pernah merayakannya dengan kue tart, lilin dan balon.

Aku merayakannya sendiri, dengan caraku sendiri, yakni dengan menanam tumbuhan pohon untuk menandai hari-hari khusus bagi kami itu.

Kukatakan pada isteriku bahwa cara perayaan semacam ini jauh lebih berguna.

Di hari ulang tahunku ke 36 ini, aku juga sudah mempersiapkan tanaman yang akan kutanam untuk ulang tahunku...!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...