Pak George wafat. Kabar ini kutahu baru saja. Saat tanpa sengaja saya buka FB. Muncul sebuah posting dari putranya, Enrico Aditjondro: Pak George telah pergi. Tepat di hari perayaan HAM internasional, 10 Desember.
Aku jadi teringat tiga hari lalu. Sore Kamis. Itu berarti dua hari sebelum Pak George pergi buat selamanya. Entah kebetulan atau bagaimana. Aku buka email. Kuhapus beberapa kiriman tidak penting. Kubaca beberapa surat lama. Salahsatunya adalah surel balasan yang kukirim buat Pak George.
Waktu itu Pak George minta saya cerita mengenai konstelasi persaingan politik di NTB. Antara elit berlatar agama dan nonagama. Surel ini bertanggal 25 Agustus 2010.
Perjumpaan fisikku yang terakhir dengan beliau yakni dalam bulan Juni 2009. Waktu itu aku baru beberapa hari lalu merampungkan ujian tesisku.
Setelah tugas akhirku selesai, aku merasa punya banyak waktu luang buat jalan-jalan. Di sela waktu luang itu, aku sempatkan berkunjung ke rumah kontrakan Pak George di Deresan, tak jauh dari kantor penerbit Kanisius.
Sore itu kebetulan dia sedang di rumah. Duduk di kursi bambu ruang tamu menghadapi layar laptop.
Seperti biasa dia menyambut setiap tamu yang dia kenal dengan antusias. Terlebih aku adalah mahasiswanya. Dan sudah cukup lama kami tak ketemu muka. Semenjak aku tidak lagi ambil kuliah teori.
Di pojok ruang tamunya yang mungil terdapat patung ukiran Papua. Juga bendera kecil GAM (Gerakan Aceh Merdeka) itu masih 'berkibar' di pojokan.
Pak George menanyakan apa aktivitasku akhir-akhir ini setelah lulus. Kami berbasa basi mengenai kesibukan-kesibukan kecil di sekitar kami. Sejurus kemudian berlangsunglah diskusi-diskusi rada serius mengenai situasi politik terkini.
Dia ceritakan juga padaku bahwa dia sedang menyusun sebuah draft artikel panjang mengenai jaringan kongsi politik rezim SBY.
Kelak beberapa bulan berselang, artikel panjang itu terbit jadi sebuah buku yang bikin gempar: Gurita Cikeas.
Sudah jadi tabiat Pak George bahwa dia anti-kekuasaan. Dalam kuliah-kuliah Marxisme dan Ideologi yang dia ampu, dia selalu mengajarkan pada kami untuk jangan begitu saja menerima sebuah kondisi 'normal' dari sistem yang dibentuk oleh kekuasaan (negara, agama dll.). Cara pandangnya selalu mencerminkan spirit anti-kekuasaan. Anti-dominasi.
Maka ketika dia ceritakan pada saya mengenai draft tulisan yang mengulas jejaring kekuasaan rezim SBY, saya anggap biasa-biasa saja. Sudah bukan hal baru lagi kalau Pak George bicara soal tema anti-state power. Dulu dia pernah bikin riset yang jadi buku soal jaringan kroni bisnis rezim Soeharto. Judul bukunya Korupsi Kepresidenan Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi dan Partai Penguasa (LKiS 2007).
Saat hendak pamit, Pak George menghadiahiku 3 buah buku fotokopian. Salah satunya adalah buku The Prison Notebooks /Quaderni del Carcere (Catatan di bilik Penjara) Antonio Gramsci.
Itu adalah kali terakhir aku ngobrol empat mata dengan Pak George.
Kali pertama berkenalan dengan Pak George saat aku diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma pertengahan 2005. Saat itu Pak George mengampu salah satu matakuliah wajib: Marxisme dan Ideologi.
Pak George bukan tipe seorang pengajar yang berjarak dengan mahasiswa. Dia menganggap kami sebagai kawan dan teman diskusi. Di luar jam kuliah, saat kongkow-kongkow ngopi di teras gedung Realino, Pak George kerap ikutan nimbrung bersama mahasiswa, ngobrol dan diskusi. Sekali-sekali dia melontarkan joke-joke satir yang menyindir militer (Orba) dan Suharto. Kadang-kadang juga menyindir institusi gereja.
Menurut Pak George Koramil adalah singkatan dari Korban Rayuan Militer. Sedang Babinsa adalah akronim dari Babini Sana Sini (beristri sana sini). Dia mengaku sebagai penganut aliran Kristen Napas (Natal Paskah), sebab hanya pada dua kesempatan itulah dia merasa menjadi orang kristen katolik.
Dalam acara ngobrol-ngobrol, Pak George banyak menceritakan pengalamannya selama terlibat dalam kegiatan sosial di Papua, dimana dia pernah tinggal dan aktiv sebagai pendiri Yayasan Bina Desa. Dia juga ceritakan pengalaman meliput peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) selama jadi wartawan majalah Tempo. Cerita kegiatan meriset jaringan bisnis Suharto di luar negeri dengan mengunjungi beberapa negara di Eropa. Dan masih banyak lagi cerita-cerita menarik mengenai gerakan kiri di Amerika Latin dan di Asia.
Sikap tanpa jarak itu juga ditunjukkan dengan kebiasaan Pak George mentraktir makan siang teman-teman. Tak jauh di utara kampus, melalui sebuah gang sempit (gang Pertolongan) ada sebuah warung makan terkenal: Warung Texas. Pada jam makan siang, warung ini ramai pengunjung, lantaran harganya standar dan pilihan menunya beragam. Biasanya ke sanalah aku dan teman-teman makan siang. Selepas jam kuliah, kalau sedang tajir, Pak George akan mengajak dan mentraktir kami makan bareng di warung itu.
Setelah bebas dari matakuliah teori, aku masih mengambil beberapa matakuliah pilihan, di sela-sela kegiatan menulis tesis sepanjang tahun 2007. Salah satu matakuliah pilihan yang kuambil adalah yang diampu Pak George, New Social Movement (Gerakan Sosial Baru). Dan ini adalah kali terakhir aku mengikuti kuliah Pak George.
Beberapa tahun lalu, aku masih sempat mengikuti berita geger terkait Pak George. Itu lantaran sebuah acara seminar yang digelar di UGM yang membahas tentang Sultan Ground (Tanah Sultan Yogyakarta). Dalam pengantar diskusi itu, sesuai kebiasaannya, Pak George mengatakan sambil becanda: "Kraton itu sama dengan kera ditonton".
Pernyataan joke ini dimuat media dan mengundang reaksi sebagian rakyat Yogya. Pak George dianggap telah menghina kesunanan Yogyakarta. Dan karena itu dianggap tidak layak tinggal di Yogya. Rumah kontrakannya di Deresan digeruduk massa.
Setelah berita geger yang terakhir itu, aku hanya pernah sekali mendapat kabar Pak George sedang sakit dan dirawat di sebuah rumah sakit di Jakarta. Beberapa aktivis menyumbang sejumlah uang untuk biaya perawatan Pak George.
Sembuh dari penyakit yang lama itu, kudengar kabar Pak George pulang ke Palu, Sulawesi Tengah. Berhenti dari kesibukannya sebagai dosen di Yogya. Meski begitu, dia tetap terlibat dalam diskusi-diskusi dengan jaringan aktivis di sana.
Akhirnya, kepulangan Pak George ke Palu adalah kepulangan dia untuk selamanya. RIP
Aku jadi teringat tiga hari lalu. Sore Kamis. Itu berarti dua hari sebelum Pak George pergi buat selamanya. Entah kebetulan atau bagaimana. Aku buka email. Kuhapus beberapa kiriman tidak penting. Kubaca beberapa surat lama. Salahsatunya adalah surel balasan yang kukirim buat Pak George.
Waktu itu Pak George minta saya cerita mengenai konstelasi persaingan politik di NTB. Antara elit berlatar agama dan nonagama. Surel ini bertanggal 25 Agustus 2010.
Perjumpaan fisikku yang terakhir dengan beliau yakni dalam bulan Juni 2009. Waktu itu aku baru beberapa hari lalu merampungkan ujian tesisku.
Setelah tugas akhirku selesai, aku merasa punya banyak waktu luang buat jalan-jalan. Di sela waktu luang itu, aku sempatkan berkunjung ke rumah kontrakan Pak George di Deresan, tak jauh dari kantor penerbit Kanisius.
Sore itu kebetulan dia sedang di rumah. Duduk di kursi bambu ruang tamu menghadapi layar laptop.
Seperti biasa dia menyambut setiap tamu yang dia kenal dengan antusias. Terlebih aku adalah mahasiswanya. Dan sudah cukup lama kami tak ketemu muka. Semenjak aku tidak lagi ambil kuliah teori.
Di pojok ruang tamunya yang mungil terdapat patung ukiran Papua. Juga bendera kecil GAM (Gerakan Aceh Merdeka) itu masih 'berkibar' di pojokan.
Pak George menanyakan apa aktivitasku akhir-akhir ini setelah lulus. Kami berbasa basi mengenai kesibukan-kesibukan kecil di sekitar kami. Sejurus kemudian berlangsunglah diskusi-diskusi rada serius mengenai situasi politik terkini.
Dia ceritakan juga padaku bahwa dia sedang menyusun sebuah draft artikel panjang mengenai jaringan kongsi politik rezim SBY.
Kelak beberapa bulan berselang, artikel panjang itu terbit jadi sebuah buku yang bikin gempar: Gurita Cikeas.
Sudah jadi tabiat Pak George bahwa dia anti-kekuasaan. Dalam kuliah-kuliah Marxisme dan Ideologi yang dia ampu, dia selalu mengajarkan pada kami untuk jangan begitu saja menerima sebuah kondisi 'normal' dari sistem yang dibentuk oleh kekuasaan (negara, agama dll.). Cara pandangnya selalu mencerminkan spirit anti-kekuasaan. Anti-dominasi.
Maka ketika dia ceritakan pada saya mengenai draft tulisan yang mengulas jejaring kekuasaan rezim SBY, saya anggap biasa-biasa saja. Sudah bukan hal baru lagi kalau Pak George bicara soal tema anti-state power. Dulu dia pernah bikin riset yang jadi buku soal jaringan kroni bisnis rezim Soeharto. Judul bukunya Korupsi Kepresidenan Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi dan Partai Penguasa (LKiS 2007).
Yang luar biasa adalah justeru ketika tulisan yang terbaru itu bikin geger beberapa bulan kemudian. Berbarengan dengan saat meledaknya isu kasus Bank Century.
Saat hendak pamit, Pak George menghadiahiku 3 buah buku fotokopian. Salah satunya adalah buku The Prison Notebooks /Quaderni del Carcere (Catatan di bilik Penjara) Antonio Gramsci.
Itu adalah kali terakhir aku ngobrol empat mata dengan Pak George.
![]() |
George Junus Aditjondro di kantor majalah Tempo, Jakarta, 1982. Dok. TEMPO/Ed Zoelverdi |
Kali pertama berkenalan dengan Pak George saat aku diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma pertengahan 2005. Saat itu Pak George mengampu salah satu matakuliah wajib: Marxisme dan Ideologi.
![]() |
George J. Aditjondro di West Australia/AFP Photo |
Pak George bukan tipe seorang pengajar yang berjarak dengan mahasiswa. Dia menganggap kami sebagai kawan dan teman diskusi. Di luar jam kuliah, saat kongkow-kongkow ngopi di teras gedung Realino, Pak George kerap ikutan nimbrung bersama mahasiswa, ngobrol dan diskusi. Sekali-sekali dia melontarkan joke-joke satir yang menyindir militer (Orba) dan Suharto. Kadang-kadang juga menyindir institusi gereja.
Menurut Pak George Koramil adalah singkatan dari Korban Rayuan Militer. Sedang Babinsa adalah akronim dari Babini Sana Sini (beristri sana sini). Dia mengaku sebagai penganut aliran Kristen Napas (Natal Paskah), sebab hanya pada dua kesempatan itulah dia merasa menjadi orang kristen katolik.
Dalam acara ngobrol-ngobrol, Pak George banyak menceritakan pengalamannya selama terlibat dalam kegiatan sosial di Papua, dimana dia pernah tinggal dan aktiv sebagai pendiri Yayasan Bina Desa. Dia juga ceritakan pengalaman meliput peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) selama jadi wartawan majalah Tempo. Cerita kegiatan meriset jaringan bisnis Suharto di luar negeri dengan mengunjungi beberapa negara di Eropa. Dan masih banyak lagi cerita-cerita menarik mengenai gerakan kiri di Amerika Latin dan di Asia.
Sikap tanpa jarak itu juga ditunjukkan dengan kebiasaan Pak George mentraktir makan siang teman-teman. Tak jauh di utara kampus, melalui sebuah gang sempit (gang Pertolongan) ada sebuah warung makan terkenal: Warung Texas. Pada jam makan siang, warung ini ramai pengunjung, lantaran harganya standar dan pilihan menunya beragam. Biasanya ke sanalah aku dan teman-teman makan siang. Selepas jam kuliah, kalau sedang tajir, Pak George akan mengajak dan mentraktir kami makan bareng di warung itu.
Setelah bebas dari matakuliah teori, aku masih mengambil beberapa matakuliah pilihan, di sela-sela kegiatan menulis tesis sepanjang tahun 2007. Salah satu matakuliah pilihan yang kuambil adalah yang diampu Pak George, New Social Movement (Gerakan Sosial Baru). Dan ini adalah kali terakhir aku mengikuti kuliah Pak George.
![]() |
George Junus Aditjondro |
Beberapa tahun lalu, aku masih sempat mengikuti berita geger terkait Pak George. Itu lantaran sebuah acara seminar yang digelar di UGM yang membahas tentang Sultan Ground (Tanah Sultan Yogyakarta). Dalam pengantar diskusi itu, sesuai kebiasaannya, Pak George mengatakan sambil becanda: "Kraton itu sama dengan kera ditonton".
Pernyataan joke ini dimuat media dan mengundang reaksi sebagian rakyat Yogya. Pak George dianggap telah menghina kesunanan Yogyakarta. Dan karena itu dianggap tidak layak tinggal di Yogya. Rumah kontrakannya di Deresan digeruduk massa.
Setelah berita geger yang terakhir itu, aku hanya pernah sekali mendapat kabar Pak George sedang sakit dan dirawat di sebuah rumah sakit di Jakarta. Beberapa aktivis menyumbang sejumlah uang untuk biaya perawatan Pak George.
Sembuh dari penyakit yang lama itu, kudengar kabar Pak George pulang ke Palu, Sulawesi Tengah. Berhenti dari kesibukannya sebagai dosen di Yogya. Meski begitu, dia tetap terlibat dalam diskusi-diskusi dengan jaringan aktivis di sana.
Akhirnya, kepulangan Pak George ke Palu adalah kepulangan dia untuk selamanya. RIP
Komentar