"Kerukunan umat beragama," "toleransi","saling menghargai perbedaan", "Pluralisme" adalah sederet kata-kata klise. Basi. Kata mati yang berkali-kali dihidupkan kembali. Terutama saat penyelenggaraan hari-hari besar agama.
Kata mati ini sudah menempel di kepala dan mulut kita. Susah kita buang. Karena terasa selalu manis diucapkan.
Kata mati itu menjadi terus hidup karena selalu dihadapkan pada anti-tesa yang aktual: "Debat kebolehan seorang muslim mengucapkan Selamat Natal misalnya. Lalu peristiwa perusakan rumah ibadah oleh sekelompok umat lain. Teror bom berlatar sentimen agama. Kebencian atas etnis tertentu, dan lain-lain.
Saat itulah, kata mati itu seperti menemukan sambungan "aliran nafasnya" kembali.
Kaum liberal agama (di Islam diwakili oleh antaralain Jaringan Islam Liberal/JIL), sangat gemar berenang-renang dalam lautan luas wacana pluralisme, sehingga mereka tidak menyadari bahwa mereka harus segera mencari pulau baru dan meninggalkan lautan wacana tempat mereka keasyikan berenang.
Sayangnya, mereka kaum liberal itu, dan kebanyakan kita juga, makin asyik saja menikmati kegemaran berenang dalam lautan wacana yang sama. Seolah-olah sudah tidak ada tepian lagi yang harus dicapai.
Wacana pluralisme itu makin terlihat seksi dan menggoda oleh karena mereka kaum liberal itu berupaya mencari pendasaran-pendasaran dengan menggali khazanah-khazanah tafsir kitab suci, sejarah hidup nabi, dan riwayat hubungan-hubungan personal tokoh-tokoh penting yang mencerminkan kerukunan dalam perbedaan.
Wacana pluralisme ini makin disukai oleh kelompok-kelompok elit, dan kalangan orang kebanyakan.
Wacana pluralisme menjadi dasar bagi lahirnya lembaga-lembaga semacam Forum Kerukunan Antar Umat Beragama, dan sejenisnya.
Lalu kita sering dan sangat suka melihat postingan-postingan gambar, membaca-baca berita yang memperlihatkan semangat kebersamaan.
Baru-baru ini ada foto di FB yang memperlihatkan kelompok Pecalang, Banser NU dan Kepolisian yang tengah bersama-sama mengadakan kegiatan pengamanan selama perayaan misa Natal di sebuah gereja di Bali.
Ada juga berita halaman masjid Istiqlal Jakarta disediakan sebagai tempat parkir bagi jemaat kristiani yang hendak melaksanakan misa Natal di Gereja Katedral yang letaknya berhadapan dengan masjid Istiqlal.
Di musim bulan puasa, ada berita umat Budha membagi-bagi makanan berbuka puasa bagi kaum muslim yang sedang musafir.
Dan masih banyak lagi berita-berita serupa yang terus diulang-ulang, diulang-ulang tanpa bosan setiap ada perayaan hari besar keagamaan.
Masalah mendasar
Masalah mendasar kita sebetulnya tidak terletak pada kerukunan. Perbedaan yang melahirkan energi konflik itu bukan terletak pada soal perbedaan keyakinan, ras dan etnik.
Satu hal yang kita abaikan ketika bicara soal perbedaan ini adalah masalah kelas.
Problem kelas sosial ini memang dengan sengaja dikaburkan, karena kelompok-kelompok mapan (borjuasi) kita memang tidak suka dengan kehadiran wacana perbedaan kelas. Wacana kelas ini dianggap berbahaya. Sebab wacana ini dapat membangkitkan hubungan sentimen Buruh-Majikan. Petani-Tuan Tanah. Bos-Karyawan. Orang Miskin-Orang Kaya. Kelas Tertindas-Kelas Penindas.
Kalau wacana ini yang dibangkitkan ke permukaan bisa menjadi mimpi buruk bagi kelompok mapan (borjuis) di negeri ini.
Karena itulah, wacana kelas sosial ini berusaha direpresi, agar tidak menimbulkan sentimen kelas sosial yang dapat mengganggu stabilitas kemapanan kelompok borjuis kita.
Mereka mengganti wacana kelas sosial itu dengan wacana toleransi, kerukunan, pluralisme.
Mereka menganggap konflik sosial itu seluruhnya berlatar SARA, sebagaimana Orde Baru selalu menganggap SARA sebagai akar konflik sosial. Jadi ada semacam wacana tunggal dalam masalah konflik sosial.
Mereka berusaha melupakan bahwa kemiskinan, ketertindasan, ketimpangan adalah juga masalah mendasar yang menjadi energi pemantik konflik sosial.
Maka, saran saya. Hati-hatilah dengan wacana pluralisme ini... Kita harus berupaya mendekonstruksinya.. Jika perlu kita tinggalkan saja..!!!
Kata mati ini sudah menempel di kepala dan mulut kita. Susah kita buang. Karena terasa selalu manis diucapkan.
Kata mati itu menjadi terus hidup karena selalu dihadapkan pada anti-tesa yang aktual: "Debat kebolehan seorang muslim mengucapkan Selamat Natal misalnya. Lalu peristiwa perusakan rumah ibadah oleh sekelompok umat lain. Teror bom berlatar sentimen agama. Kebencian atas etnis tertentu, dan lain-lain.
Saat itulah, kata mati itu seperti menemukan sambungan "aliran nafasnya" kembali.
Kaum liberal agama (di Islam diwakili oleh antaralain Jaringan Islam Liberal/JIL), sangat gemar berenang-renang dalam lautan luas wacana pluralisme, sehingga mereka tidak menyadari bahwa mereka harus segera mencari pulau baru dan meninggalkan lautan wacana tempat mereka keasyikan berenang.
Sayangnya, mereka kaum liberal itu, dan kebanyakan kita juga, makin asyik saja menikmati kegemaran berenang dalam lautan wacana yang sama. Seolah-olah sudah tidak ada tepian lagi yang harus dicapai.
Wacana pluralisme itu makin terlihat seksi dan menggoda oleh karena mereka kaum liberal itu berupaya mencari pendasaran-pendasaran dengan menggali khazanah-khazanah tafsir kitab suci, sejarah hidup nabi, dan riwayat hubungan-hubungan personal tokoh-tokoh penting yang mencerminkan kerukunan dalam perbedaan.
Wacana pluralisme ini makin disukai oleh kelompok-kelompok elit, dan kalangan orang kebanyakan.
Wacana pluralisme menjadi dasar bagi lahirnya lembaga-lembaga semacam Forum Kerukunan Antar Umat Beragama, dan sejenisnya.
Lalu kita sering dan sangat suka melihat postingan-postingan gambar, membaca-baca berita yang memperlihatkan semangat kebersamaan.
Baru-baru ini ada foto di FB yang memperlihatkan kelompok Pecalang, Banser NU dan Kepolisian yang tengah bersama-sama mengadakan kegiatan pengamanan selama perayaan misa Natal di sebuah gereja di Bali.
Ada juga berita halaman masjid Istiqlal Jakarta disediakan sebagai tempat parkir bagi jemaat kristiani yang hendak melaksanakan misa Natal di Gereja Katedral yang letaknya berhadapan dengan masjid Istiqlal.
Di musim bulan puasa, ada berita umat Budha membagi-bagi makanan berbuka puasa bagi kaum muslim yang sedang musafir.
Dan masih banyak lagi berita-berita serupa yang terus diulang-ulang, diulang-ulang tanpa bosan setiap ada perayaan hari besar keagamaan.
Masalah mendasar
Masalah mendasar kita sebetulnya tidak terletak pada kerukunan. Perbedaan yang melahirkan energi konflik itu bukan terletak pada soal perbedaan keyakinan, ras dan etnik.
Satu hal yang kita abaikan ketika bicara soal perbedaan ini adalah masalah kelas.
Problem kelas sosial ini memang dengan sengaja dikaburkan, karena kelompok-kelompok mapan (borjuasi) kita memang tidak suka dengan kehadiran wacana perbedaan kelas. Wacana kelas ini dianggap berbahaya. Sebab wacana ini dapat membangkitkan hubungan sentimen Buruh-Majikan. Petani-Tuan Tanah. Bos-Karyawan. Orang Miskin-Orang Kaya. Kelas Tertindas-Kelas Penindas.
Kalau wacana ini yang dibangkitkan ke permukaan bisa menjadi mimpi buruk bagi kelompok mapan (borjuis) di negeri ini.
Karena itulah, wacana kelas sosial ini berusaha direpresi, agar tidak menimbulkan sentimen kelas sosial yang dapat mengganggu stabilitas kemapanan kelompok borjuis kita.
Mereka mengganti wacana kelas sosial itu dengan wacana toleransi, kerukunan, pluralisme.
Mereka menganggap konflik sosial itu seluruhnya berlatar SARA, sebagaimana Orde Baru selalu menganggap SARA sebagai akar konflik sosial. Jadi ada semacam wacana tunggal dalam masalah konflik sosial.
Mereka berusaha melupakan bahwa kemiskinan, ketertindasan, ketimpangan adalah juga masalah mendasar yang menjadi energi pemantik konflik sosial.
Maka, saran saya. Hati-hatilah dengan wacana pluralisme ini... Kita harus berupaya mendekonstruksinya.. Jika perlu kita tinggalkan saja..!!!
Komentar