Mendengar pemerintah Jokowi-JK
membentuk Satgas Saber Pungli (Sapu Bersih Pungutan Liar), saya jadi tidak
tahan untuk segera menceritakan pengalaman pribadi saya terkait kasus pungli
yang menimpa saya dan menimpa banyak orang-orang lain.
Kejadian
ini fakta. Saya tidak mengada-ada. Saya tulis dalam catatan tangan buku harian saya. Baru kali ini saya
dapat kesempatan untuk mengunduhnya ke blog pribadi saya.
Terjadi
pada Senin 2 November 2015. Hari itu saya mendatangi kantor Samsat Buleleng
Singaraja untuk keperluan cabut berkas mutasi dua buah kendaraan light
truck Mitsubishi tahun 2007.
Dua
kendaraan truk itu dibeli kerabat saya masing-masing tahun 2010 dan 2011 atas
nama I Putu Lastika dan Ni Made Sriyeni, keduanya beralamat di Buleleng.
Kerabat
saya bermaksud memutasi kendaraan itu ke alamat asal di Negara Jembrana dengan
tujuan untuk memudahkan proses pembayaran pajak tahunan dan KIR per enam bulan.
Meski
pembayaran pajak dilakukan sekali setahun, dan KIR per tiap enam bulan, namun
lantaran jarak antara Kota Negare Jembrana dan Buleleng Singaraja cukup jauh,
kami putuskan untuk memutasi kedua kendaraan tersebut.
Setiba di
kantor Samsat Buleleng, saya segera mencari loket pengajuan mutasi yang
ternyata persis berada di hadapan tempat saya memarkir kendaraan. Berkas-berkas
yang diperlukan untuk mutasi sudah saya lengkapi. Antara lain; BPKB asli (bukan
fotokopian), STNK asli, buku KIR asli, KTP pembeli kedua, kwitansi bukti
pembelian bermaterai 6000, bukti cek fisik berisi nomor mesin kendaraan.
Di depan
kaca loket bagian mutasi:
“Permisi…
ada petugas mutasi?” seru saya setengah berteriak dari luar jendela loket yang
sudah buka, namun tiada batang hidung seorang petugas pun tampak di meja loket.
Jam menunjuk pukul 9 pagi.
Tak berapa
lama, seorang anggota polisi, berseragam polisi, beraut muka polisi, cukuran
rambut polisi, berusia muda menghampiri saya, dan mempersilahkan saya masuk
melalui pintu yang tepat berada di sisi jendela loket.
“Mau mutasi..??
langsung saja lewat pintu sebelah, masuk ke dalam sini..” kata anggota polisi
muda itu.
Tertegun
saya di depan loket. Mengapa petugas ini tidak mengambil berkas saya, dan malah
meminta saya masuk ke dalam?? Sedang di daun pintu di sisi loket itu tertulis
tulisan yang jelas sekali: “SELAIN PETUGAS DILARANG MASUK…”
Antara ragu
saya mencoba mendorong daun pintu.
Memasuki
pintu dengan larangan “dilarang masuk” ini menandai awal perkenalan saya dengan 'birokrasi iblis' yang ada di instansi ini.
Saya tidak akan
minta maaf menyebut instansi ini sebagai birokrasi iblis, karena pada
kenyataannya yang bekerja di dalam kantor ini bukan manusia, bukan polisi,
meskipun seragam mereka polisi. Yang bekerja semata-mata hanyalah ***** berbaju
polisi…!!!
Dari ruangan
di bagian dalam loket inilah sebentar lagi saya akan menyaksikan pemandangan
yang memudarkan harapan saya tentang sebuah tatanan pemerintahan yang memayungi
spirit kinerjanya dengan jargon “Revolusi Mental”.
Setelah
dari pintu itu, saya diarahkan untuk memasuki sebuah ruangan yang tidak terlalu
luas. Letak ruangan itu persis berada di sisi belakang loket. Sebuah lemari
memisahkan ruangan ini dengan ruangan loket di bagian depan. Dengan begitu,
kegiatan yang berlangsung di ruangan ini tidak dapat terlihat dari kaca loket
di luar.
“Silahkan
duduk dulu…” kata seorang anggota polisi, berseragam polisi, yang usianya lebih
tua dari polisi muda tadi. Wajahnya tampak sumringah, ramah dan bersahabat. Maklum
masih pagi. Sisiran rambutnya tampak basah dan rapi. Berbeda dari wajah polisi
kebanyakan yang kerap kujumpai melakukan razia di jalan-jalan raya Kota Negare,
atau dimana saja, selalu tak bersahabat, dan suka menakut-nakuti.
Dari bedge nama yang terpampang di dada
sebelah kanan, kuketahui nama polisi ini: Merta. Ini nama asli. Bukan nama
samaran. Saya tidak tahu siapa nama panjangnya. Saya juga tidak tahu apa
pangkat polisi ini.
Duduk
beberapa belah kursi lagi di sisi kanan polisi ini seorang anak muda berseragam putih
berpantalon hitam. Belakangan kuketahui si anak muda ini adalah jongos yang
ditugaskan Pak Merta untuk mondar mandir mengurus kelengkapan berkas-berkas
mutasi.
“Mau mutasi
ya?!” kata Pak Merta, si polisi yang ramah ini.
“Ya, pak.
Dua kendaraan,” saya serahkan berkas-berkas dalam dua map.
Pak Merta orang yang mudah akrab... pikirku. Dia mengajak saya berbincang. Menanyakan alamat
saya. Apa usaha saya. Kegiatan sehari-hari saya. Sampai menanyakan sudah berapa anak yang saya punya. Anak pertama laki atau
perempuan.
Di sela pertanyaan itu, sesekali ia melontarkan kata-kata pujian pada saya. Dengan
pertanyaan-pertanyaan personal ini, saya dan Pak Merta menjadi lebih
bersahabat.
Saya agak
tersanjung oleh karena baru kali ini saya berjumpa dengan seorang polisi yang
sangat humanis, murah senyum, akrab, manusiawi.
Ini tabiat yang jarang dan langka dari seorang yang berprofesi sebagai polisi. Seperti sudah kukatakan, umumnya polisi itu gemar nakut-nakutin.
Tetapi
nanti di belakang akan terbukti bahwa sikap manusiawi anggota polisi ini hanya
kamuflase. Sandiwara. Sebuah cara untuk menjebak. Ya, ini jebakan maut..!! Saya akan terperangkap dalam jebakan maut ini...!!
Usai
beramah tamah, sambil memeriksa berkas-berkas yang saya serahkan, Pak Merta
mempersilahkan saya keluar ruangan. Dia meminta saya untuk menunggu di wantilan (sebuah tempat mirip pendopo di
luar kantor Samsat).
Di wantilan,
saya menunggu ditemani isteri dan putriku yang baru berusia tiga tahun enam
bulan. Cukup lama juga saya menunggu. Berganti-ganti orang masuk-keluar dari
pintu larangan itu.
Merasa letih setelah menempuh perjalanan tiga jam dari Jembrana ke Buleleng,
saya tiduran di wantilan dengan menggelar tikar kecil.
Satu jam
berselang, seorang petugas memanggil saya dan memerintahkan saya masuk melalui “pintu
larangan masuk” langsung ke ruangan Pak Merta.
Tiba di
ruangan itu, kembali si polisi ramah ini mempersilahkan saya duduk. Dia memuji
kelengkapan berkas-berkas yang saya siapkan.
“Oke,
berkas-berkas ini sudah lengkap. Tinggal dilanjutkan,” kata Pak Merta dengan
senyumnya yang mengembang bagai bunga Sandat mekar di musim hujan.
Si jongos muda
berbaju rapi yang duduk dua kursi di sisi kanan meja sedari awal tadi hanya
terdiam mematung. Tidak ikut tersenyum. Tidak juga ikut berkata-kata.
Di ruangan
ini, si jongos muda itu hanya berfungsi seperti mesin. Berjalan jika
diperintah. Bicara jika harus menjawab pertanyaan tuannya. Dia tidak tersenyum.
Saya ikut
bergembira karena berkas ini tidak cacat. Tidak kurang suatu apapun. Itu
artinya saya tidak perlu lagi kembali ke Jembrana untuk melengkapi berkas.
Kelengkapan
berkas ini dapat saya penuhi setelah terlebih dahulu jauh-jauh hari saya
berkonsultasi dengan seorang anggota polisi yang bertugas di kantor Samsat
Jembrana, mengenai syarat-syarat mutasi.
Jadi, saya tidak asal datang dengan berkas
sekedarnya. Tetapi dengan berkas lengkap, selengkap-lengkapnya, untuk
menghindari kemungkinan berkas tertolak.
Tidak hanya
itu, isteriku yang lulusan fakultas hukum itu juga sudah mempersiapkan undang-undang dan
pasal-pasal yang mengatur mengenai ketentuan mutasi kendaraan. Dalam perjalanan
dari Jembrana ke Buleleng tadi, isteriku
sudah mewanti-wanti dan memperingatkan pada saya bahwa besaran biaya mutasi itu
tidaklah banyak.
Berapa
persisnya jumlah biaya mutasi per satu kendaraan, saya tidak tahu persis.
Kurang memperhatikan isi pembicaraan dengan isteriku di kendaraan tadi pagi. Karena itulah, saya jadi agak bloon berhadapan
dengan Pak Merta si polisi santun itu. Kali ini saya teledor...!!
“Begini mas
ya, untuk satu berkas kendaraan ini biaya mutasinya enam ratus lima puluh ribu (Rp.650.000,-). Jadi, untuk dua
kendaraan total sebesar satu juta tiga
ratus ribu (1.300.000,-). Pokoknya
beres...!! Tinggal tunggu jadi...!! Dua minggu lagi datang kemari, ambil berkasnya..!!” Kata Pak Merta menyebut biaya mutasi
yang harus saya keluarkan.
Saya meraba
saku dan membuka dompet. Uang merah satu juta tiga ratus kukeluarkan dan
kuserahkan begitu saja pada polisi santun itu.
“Baik, ini
tidak lama. Dua minggu lagi jadi…!!” tegas Pak Merta sambil tangannya meraih
lembaran uang merah pecahan seratusan yang kuletakkan di meja di hadapannya. Ia
menghitung uang itu, lalu mempersilakan saya meninggalkan tempat.
Di
wantilan, kepada isteriku kuceritakan bahwa uang yang diminta untuk biaya mutasi
dua kendaraan itu sebesar 1.300.000.
Alangkah
kagetnya dia...?????!!!!
Naluri kritisnya muncul seketika, sebagai seorang alumnus fakultas hukum meski ijazahnya tersimpan rapi di lemari.. hehehe..
“Tidak
mungkin sebesar itu Yah.. !!!??? Peraturan undang-undangnya tidak memungut
sebesar itu. Coba lihat ini…!! Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai
besaran biaya mutasi kendaraan..!!”
Dia sodorkan smartphone ke hadapan mata saya. Kubaca peraturan di layar
handphone.
Peraturan Pemerintah Nomor 50
tahun 2010 menyebutkan biaya mutasi kendaraan roda empat hanya Rp. 75.000
(tujuh puluh lima ribu rupiah). Tidak sampai seratus ribu.
Saya tidak salah baca…!!
Hanya Rp. 75.000 per
satu berkas kendaraan. Berarti hanya Rp. 150.000 untuk dua kendaraan yang kami
mutasi.
“Mati
aku..! kita kena…!” pikirku sambil menggaruk kepala.
Luar biasa jarak jumlah uang yang kami keluarkan dengan biaya seharusnya yang dibayarkan menurut
peraturan resmi.
Isteriku
segera mendesak saya untuk kembali menemui Pak Merta si polisi santun guna membicarakan ulang mengenai besaran biaya mutasi yang sebenarnya.
Kami mulai
curiga bahwa ada yang tidak beres...!!!
Mengetahui permainan
tidak beres ini, aku jadi agak malas ingin melihat wajah polisi itu. Apalagi
uang sudah terlanjur kuserahkan.
Antara ragu
dan kesal, saya masih bergeming. Akan masukkah lagi ke ruangan melalui "pintu larangan" menemui Pak
Merta untuk meminta kejelasan mengenai biaya mutasi yang sesungguhnya.?? Atau
biarkan sajalah tinggal terima beres...!!
Sementara isteriku bersikeras memintaku
kembali menemui Pak Merta.
Dengan
berat hati, namun didorong oleh keinginan untuk mengatakan kebenaran, ditambah
perasaan eman-eman jumlah uang yang harus melayang, saya kembali melangkah
mendekati pintu “SELAIN PETUGAS DILARANG MASUK”.
Kubuka
pintu itu dengan penuh percaya diri. Kutemui lagi polisi santun yang sudah
berhasil menerima sejumlah uang dari saya.
Kini uang itu akan aku perjuangkan
untuk kembali ke tangan kami. Ini hak
kami. Brengsek..!!!
Kata-kata
cercaan dan umpatan mengisi seluruh kepalaku. Pertanda aku mulai dihinggapi
rasa tidak suka. Antipati yang over dosis.
Saya
mencoba untuk bersikap setenang mungkin. Seramah mungkin. Dan secermat mungkin.
Setenang dan secermat seekor ular yang hendak menangkap tikus.
Tenang, cermat, dan menahan nafas. Karena
jantung saya sedari tadi sudah dag dig dag dig dag dig.
Melihat
saya muncul kembali di ruangannya, Pak Merta agak terkesima. Dikiranya saya
sudah lenyap dari halaman kantor Samsat, pulang ke Jembrana sambil melenggang santai,
menunggu selesai berkas mutasi dua minggu
kemudian.
Ternyata
tidak….!!! I’m coming back….
“Ya, ada
apa mas…” kata Pak Merta dan mempersilahkan saya duduk. Kali ini dia tidak
tersenyum. Jam menunjuk pukul 11 pagi.
Kebetulan
Jongos muda yang pendiam seperti robot itu tidak ada di tempat. Tinggal aku dan
Pak Merta di ruangan itu. Sementara polisi muda penjaga lubang loket di bagian depan dengan handphone di tangan tampak sibuk, entah main game atau lagi chating dengan WIL-nya. Dia tidak tahu menahu kejadian memalukan apa
yang bakal menimpa pimpinannya sebentar lagi.
Ya,
tindakan yang sangat memalukan. Sekali lagi: Memalukan…!!!
Tanpa
panjang lebar, setelah kutarik nafas beberapa kali, mulailah kuutarakan opiniku
mengenai biaya mutasi kendaraan. Tak
lupa aku sebutkan pula payung hukum yang mengatur mengenai besaran biaya mutasi
kendaraan.
Pak Merta
tertegun...!!
Raut wajahnya tak lagi ramah.
Tampak pula raut ketakutan di wajahnya.
Senyumnya sirna.
Pandangan matanya sinis.
Ia seperti hendak mengusirku dari
ruangan itu.
Dia meraih dua berkas milikku yang sudah dirapikan. Dia cabut
staples dari map resmi kepolisian. Setengah kecewa dia berkata: “Ini kau urus
sendiri, kalau bisa…!!!”
Tangannya
merogoh kantong bajunya yang penuh uang. Dihitungnya sejumlah uang yang sudah
saya serahkan. Uang sebesar Rp. 1.300.000,- kembali ke genggamanku. Nahhhh…
Aku segera
meninggalkan ruangan dimana seorang anggota polisi, berseragam polisi, sedang
menahan amarahnya.
Sekeluar
dari ruangan itu, aku dihadapkan pada kebingungan. Kemana harus kuserahkan
berkas-berkas mutasi ini???
Bukankah
ini satu-satunya loket mutasi di kantor Samsat ini?? ???
Aku
mendekati loket mutasi dan melihat si polisi muda yang disibukkan oleh gadget di tangannya masih di
tempat. Saya tidak tahu, apakah dia mendengar pertentangan saya dengan Pak
Merta barusan tadi. Polisi muda itu dengan enggan meminta saya masuk ke bagian pembayaran
pajak di pintu utama.
Aku berjalan menuju pintu utama tempat pembayaran pajak kendaraan. Di tempat itu
ada meja “Pengaduan”.
Kesitulah aku mampir dan bertanya.
Seorang petugas berbaju
putih menyambutku. Mungkin dia juga anggota polisi. Petugas ini lumayan baik
dibanding teman-temannya yang lain yang berseragam polisi yang ada di
sebelahnya.
“Ada yang
bisa saya bantu, Pak?” tanya si petugas berbaju putih.
“Saya mau
mutasi kendaraan,” jawab saya, sambil kusodorkan berkas mutasi ke hadapannya.
“Langsung
saja ke samping, di loket mutasi. Temui Pak Merta di sana,” jawab temannya yang
berseragam polisi. Sementara petugas berbaju putih memperhatikan kelengkapan berkas
saya.
“Silahkan
ke loket mutasi,” pinta si petugas berbaju putih.
Saya
jelaskan pada mereka bahwa saya baru saja dari loket mutasi. Saya sudah menemui
Pak Merta. Tetapi berkas saya ditolak. Tentu saja saya tidak menceritakan
kejadian memalukan yang baru saja terjadi di ruangan Pak Merta.
Petugas
berseragam putih menyatakan berkas saya sudah valid, tinggal diserahkan.
Sekali
lagi, dengan nada yang penuh percaya diri,
saya katakan pada mereka bahwa berkas saya ditolak Pak Merta dengan
alasan yang tidak jelas. Akhirnya kukatakan juga pada mereka bahwa:
“Pak Merta
meminta saya mengeluarkan uang 650 ribu untuk satu berkas. Padahal peraturan
pemerintah yang mengatur mengenai biaya mutasi ini tidak sebesar itu, dan hanya
75 ribu per satu berkas."
"Oleh karena
itulah saya datang ke meja pengaduan ini. Mengapa berkas saya bisa ditolak. Kalau
bapak tidak percaya, silahkan bapak sendiri yang antar berkas saya kepada Pak
Merta..” kataku tegas.
Kali ini rasa percaya diriku benar-benar tumbuh mekar.
Jawaban saya
di hadapan petugas berseragam putih dan berseragam polisi di meja pengaduan itu
betul-betul membuat mereka berobah mental. Orang-orang di dalam ruangan ini
tentu sudah tahu belaka permainan kotor apa yang terjadi di ruangan mutasi yang
digawangi Pak Merta.
Petugas
berseragam putih meninggalkan tempat dan barangkali pergi ke ruangan Pak Merta.
Sebab, sekembalinya, dia meminta saya untuk sekali lagi membawa berkas saya ke
meja mutasi.
Sekali
lagi, dengan berat hati, saya kembali memasuki pintu “SELAIN PETUGAS DILARANG
MASUK”. Langsung menuju ruangan Pak Merta.
Sikap dan
pembawaannya sudah berobah 1000 derajat. Rambutnya tampak jauh lebih kering
dibanding pagi tadi. Jam sudah menunjuk pukul 11.30.
Hilir mudik
orang-orang yang mengajukan berkas mutasi keluar masuk dari ruangannya. Itu artinya, banyak pemasukan dari uang pelicin yang memenuhi sakunya.
Aku adalah pengecualian...!!!
Hari ini
aku bertindak sebagai pemberontak.
Memberontak cara-cara ‘normal’ yang
diterapkan oleh komplotan aparatus negara yang kebal vaksin revolusi mental...!
Berhadapan
dengan aku si pemberontak, wajah Pak Merta tak lagi ramah. Musnahlah senyumnya
yang manis bagai bunga Sandat di musim hujan. Berganti raut muka bagai cucian
kusut. Kata-katanya pendek. Dia selalu membuang muka setiap kali aku menatapnya...
Kini akulah
yang menikmati permainan ini. Inilah kali aku menikmati kekonyolan dan
ketololan sikap seorang polisi.
Dengan berdiri di atas aturan yang kupegang,
aku merasa nyaman mengurus sendiri berkasku. Dan rasa-rasanya aku akan siap
membentak siapa pun saja anggota polisi yang berani-berani menghalangi
langkahku....!!! jrEng jrEng jrEng................!!
Dengan
enggan dia terima kembali berkas mutasiku. Dimasukkannya berkas itu ke dalam
map resmi kepolisian. Disodorkannya kembali ke hadapanku.
“Serahkan ke bagian
KIR fisik” kata Pak Merta datar, dingin, dan tak bersahabat.
Aku
meluncur ke ruangan bagian KIR untuk meminta stempel.
Di ruangan itu harusnya
aku dikenai biaya 50.000 per berkas, untuk biaya stempel.
Bayangkan bro...! Polisi dapat duit 50.000 sekejap mata hanya dengan mengetok stempel.
Sebetulnya
tidak ada aturan yang mengatur mengenai keharusan membayar stempel bagian KIR
ini. Ini semata-mata pungli.
Tapi entahlah..! Mungkin sudah ada kontak dengan Pak Merta, polisi petugas di ruang KIR itu
tidak meminta sepeserpun uang dari saya.
Tapi sikapnya sungguh tak bersahabat.
Setelah menerakan stempel di kedua berkas saya, dia setengah lemparkan berkas
itu ke hadapan saya tanpa berkata-kata, kecuali berkata-kata lewat wajah masam dan ketusnya.
Aku kembali
ke meja Pak Merta untuk menyerahkan berkas. Hanya sebentar diperhatikan berkas
saya lalu dia perintahkan saya untuk ke ruang Fiskal. Ruang fiskal terletak di
sebuah gedung yang terpisah dan bersebelahan dengan gedung pembayaran pajak.
Di ruangan
itu, aku menunggu cukup lama, meminta sebuah surat keterangan fiskal yang
diketik dengan mesin ketik jadul.
Di ruangan
fiskal itu aku bertemu seorang bapak berkacamata dari Denpasar. Dia juga
sedang mengurus mutasi kendaraannya. Dia bernasib seperti saya. Sama-sama jadi
pemberontak. Mengurus sendiri kelengkapan berkas-berkas mutasi.
Kepada saya, si bapak berkacamata menceritakan sekelumit 'perseteruannya' dengan Pak Merta mengenai biaya mutasi yang tidak sesuai aturan resmi.
Kepada si bapak berkacamata itu, aku ceritakan pula hal yang sama.
Harusnya,
tugas mondar mandir memenuhi kelengkapan berkas mutasi ini adalah tugas si
Jongos muda di ruangan Pak Merta.
Tetapi,
bagi si pemberontak, mereka sendirilah yang harus mondar mandir mengurus
kelengkapan berkas mutasinya.
Sekeluar
dari ruang fiskal, aku kembali menemui Pak Merta. Rambutnya terlihat tidak lagi
beraturan. Tidak serapi tadi pagi. Dia lebih sering tampak menggaruk-garuk
kepala.
Dia perhatikan sebentar berkas saya, lalu dia perintahkan saya untuk
pergi ke ruang arsip.
Di ruang
arsip, seorang petugas bersusah payah membongkar-bongkar tumpukan arsip
kendaraan yang berdebu. Cukup berat juga kerjaan si pencari arsip ini. Maka tak
apalah ketika dia meminta bayaran Rp. 10.000 (sepuluh ribu) per berkas,
meskipun ini tergolong Pungli juga. Kuberikan uang 20.000 kepada si petugas pencari berkas arsip di ruangan yang penuh tumpukan arsip berdebu itu.
Selesai
dari ruang arsip ini, aku kembali menemui Pak Merta yang masih duduk di
tempatnya, melayani mangsa-mangsanya yang lain.
Hari ini,
dia gagal memangsa dua orang: aku dan seorang bapak berkacamata dari Denpasar
tadi.
Berkasku
sudah lengkap. Pak Merta menerima kelengkapan berkas, dan tinggal membuat
keterangan Kapolres untuk ditandatangani.
Hanya itu saja… hanya itu saja… hanya
itu saja… Kok biayanya sampai ratusan ribu…!!!
Dia
memintaku datang lagi dua minggu dari hari itu untuk mengambil berkas mutasi.
Dia tak banyak berbasa-basi, apalagi beramah tamah dengan si pemberontak macam aku.
Kami pun pulanglah ke Jembrana dengan hati gembira bercampur sedikit jumawa. Seperti perasaan seorang petanding yang
baru saja memenangkan sebuah pertandingan dan pulang dengan piala.
Dan aku
baru saja memenangkan sebuah pertandingan. Pertandingan melawan polisi konyol. Berseragam
polisi...
two weeks later....
Dua minggu
berselang. Sesuai tanggal yang ditentukan, aku ditemani isteri dan anakku
kembali mendatangi Gedung Samsat Buleleng Singaraja.
Masuk ke ruang bagian mutasi melalui pintu
larangan “Selain Petugas Dilarang Masuk,” menemui Pak Merta si anggota polisi
yang mahir mengolah sikap penampilannya, dan
pantas jadi pemain drama untuk peran seorang tukang tipu…..!!!!?????
wkwkwkwkwk..
Jarum jam
menunjuk pukul 9 pagi. Pada jam-jam pagi, pikiran seorang polisi macam Pak
Merta masih waras.
Dia kembali
dengan sikap ramahnya. Menyambutku di hadapan meja tugasnya. Dengan senyum yang
pernah diperlihatkannya pertama kali saat kami bertemu dua minggu lalu.
“Ini yang
dari Negare, kan..!?? sambutnya ramah.
“Betul Pak.
Saya mau ambil berkas mutasi…”
Tangannya
meraih tumpukan map, dan langsung menjumpai map yang di dalamnya terdapat
berkas milikku.
“Mengapa
bisa lama sampai dua minggu, hanya untuk minta tandatangan Kapolres, Pak?”
tanya saya.
“Ya, memang
begitu… itu sudah paling cepat…!” jawab Pak Merta.
Dia
sodorkan berkas milik saya, dan kali ini lagi-lagi dia berusaha untuk menjebak
saya. Sekali lagi dia menampakkan ketololannya sebagai seorang anggota polisi.
Berseragam polisi.
“Satu
berkas ini dua ratus lima puluh ribu…” serunya sambil menyodorkan berkas di
hadapan saya.
Barangkali
dia berpikir bahwa saya dapat dengan sukarela mengeluarkan uang 500 ribu untuk
dua berkas yang sudah selesai itu. Tetapi kali ini sayalah yang tersenyum
mendengar permintaan itu. Senyum kemenangan yang kedua. Saya katakan lagi bahwa peraturan pemerintah
yang resmi menyebutkan biaya mutasi hanya 75.000. Jadi, untuk dua berkas ini
saya berhak membayar 150.000. bukan 500.000.
Pak Merta
terdiam. Jongos muda itu belum tampak di tempatnya. Andaikata dia duduk di
tempat biasanya dan menyaksikan betapa
konyolnya sikap atasannya ini, mungkin dia juga akan merasa geli.
Uang
150.000 itu diterimanya.
Aku sudah
siapkan dua lembar uang 50.000 yang memang dengan sengaja akan kuhadiahkan untuk
meredam ‘dendam’nya padaku. Kusodorkan uang biru dua lembar di mejanya.
"Ini untuk bapak.." kataku.
“Ikhlas ini
ya.. ikhlas ya.. buat saya ya…!!!” kata Pak Merta, si Polisi konyol itu setelah
menerima dua lembar uang biru bergambar pahlawan kebanggaan warga Bali itu.
Aku
mengangguk. Tersenyum menyaksikan kekonyolannya. Dan meninggalkan ruangan itu.
***
Dari Catatan harian November 2015
Komentar