Langsung ke konten utama

Pungli Oh Pungli

Mendengar pemerintah Jokowi-JK membentuk Satgas Saber Pungli (Sapu Bersih Pungutan Liar), saya jadi tidak tahan untuk segera menceritakan pengalaman pribadi saya terkait kasus pungli yang menimpa saya dan menimpa banyak orang-orang lain.
Kejadian ini fakta. Saya tidak mengada-ada. Saya tulis dalam catatan tangan buku harian saya. Baru kali ini saya dapat kesempatan untuk mengunduhnya ke blog pribadi saya.
Terjadi pada Senin 2 November 2015. Hari itu saya mendatangi kantor Samsat Buleleng Singaraja untuk keperluan cabut berkas mutasi dua buah kendaraan  light truck Mitsubishi tahun 2007.
Dua kendaraan truk itu dibeli kerabat saya masing-masing tahun 2010 dan 2011 atas nama I Putu Lastika dan Ni Made Sriyeni, keduanya beralamat di Buleleng.
Kerabat saya bermaksud memutasi kendaraan itu ke alamat asal di Negara Jembrana dengan tujuan untuk memudahkan proses pembayaran pajak tahunan dan KIR per enam bulan.
Meski pembayaran pajak dilakukan sekali setahun, dan KIR per tiap enam bulan, namun lantaran jarak antara Kota Negare Jembrana dan Buleleng Singaraja cukup jauh, kami putuskan untuk memutasi kedua kendaraan tersebut.

Setiba di kantor Samsat Buleleng, saya segera mencari loket pengajuan mutasi yang ternyata persis berada di hadapan tempat saya memarkir kendaraan. Berkas-berkas yang diperlukan untuk mutasi sudah saya lengkapi. Antara lain; BPKB asli (bukan fotokopian), STNK asli, buku KIR asli, KTP pembeli kedua, kwitansi bukti pembelian bermaterai 6000, bukti cek fisik berisi nomor mesin kendaraan.

Di depan kaca loket bagian mutasi:
“Permisi… ada petugas mutasi?” seru saya setengah berteriak dari luar jendela loket yang sudah buka, namun tiada batang hidung seorang petugas pun tampak di meja loket. Jam menunjuk pukul 9 pagi.
Tak berapa lama, seorang anggota polisi, berseragam polisi, beraut muka polisi, cukuran rambut polisi, berusia muda menghampiri saya, dan mempersilahkan saya masuk melalui pintu yang tepat berada di sisi jendela loket.
“Mau mutasi..?? langsung saja lewat pintu sebelah, masuk ke dalam sini..” kata anggota polisi muda itu.
Tertegun saya di depan loket. Mengapa petugas ini tidak mengambil berkas saya, dan malah meminta saya masuk ke dalam?? Sedang di daun pintu di sisi loket itu tertulis tulisan yang jelas sekali: “SELAIN PETUGAS DILARANG MASUK…”
Antara ragu saya mencoba mendorong daun pintu.

Memasuki pintu dengan larangan “dilarang masuk” ini menandai awal perkenalan saya dengan 'birokrasi iblis' yang ada di instansi ini.
Saya tidak akan minta maaf menyebut instansi ini sebagai birokrasi iblis, karena pada kenyataannya yang bekerja di dalam kantor ini bukan manusia, bukan polisi, meskipun seragam mereka polisi. Yang bekerja semata-mata hanyalah ***** berbaju polisi…!!!

Dari ruangan di bagian dalam loket inilah sebentar lagi saya akan menyaksikan pemandangan yang memudarkan harapan saya tentang sebuah tatanan pemerintahan yang memayungi spirit kinerjanya dengan jargon “Revolusi Mental”.

Setelah dari pintu itu, saya diarahkan untuk memasuki sebuah ruangan yang tidak terlalu luas. Letak ruangan itu persis berada di sisi belakang loket. Sebuah lemari memisahkan ruangan ini dengan ruangan loket di bagian depan. Dengan begitu, kegiatan yang berlangsung di ruangan ini tidak dapat terlihat dari kaca loket di luar.

“Silahkan duduk dulu…” kata seorang anggota polisi, berseragam polisi, yang usianya lebih tua dari polisi muda tadi. Wajahnya tampak sumringah, ramah dan bersahabat. Maklum masih pagi. Sisiran rambutnya tampak basah dan rapi. Berbeda dari wajah polisi kebanyakan yang kerap kujumpai melakukan razia di jalan-jalan raya Kota Negare, atau dimana saja, selalu tak bersahabat, dan suka menakut-nakuti.

Dari bedge nama yang terpampang di dada sebelah kanan, kuketahui nama polisi ini: Merta. Ini nama asli. Bukan nama samaran. Saya tidak tahu siapa nama panjangnya. Saya juga tidak tahu apa pangkat polisi ini.   
Duduk beberapa belah kursi lagi di sisi kanan polisi ini seorang anak muda berseragam putih berpantalon hitam. Belakangan kuketahui si anak muda ini adalah jongos yang ditugaskan Pak Merta untuk mondar mandir mengurus kelengkapan berkas-berkas mutasi.

“Mau mutasi ya?!” kata Pak Merta, si polisi yang ramah ini.
“Ya, pak. Dua kendaraan,” saya serahkan berkas-berkas dalam dua map.

Pak Merta orang yang mudah akrab... pikirku. Dia mengajak saya berbincang. Menanyakan alamat saya. Apa usaha saya. Kegiatan sehari-hari saya. Sampai menanyakan sudah berapa anak yang saya punya. Anak pertama laki atau perempuan. 
Di sela pertanyaan itu, sesekali ia melontarkan kata-kata pujian pada saya. Dengan pertanyaan-pertanyaan personal ini, saya dan Pak Merta menjadi lebih bersahabat.
Saya agak tersanjung oleh karena baru kali ini saya berjumpa dengan seorang polisi yang sangat humanis, murah senyum, akrab, manusiawi. 
Ini tabiat yang jarang dan langka dari seorang yang berprofesi sebagai polisi. Seperti sudah kukatakan, umumnya polisi itu gemar nakut-nakutin. 

Tetapi nanti di belakang akan terbukti bahwa sikap manusiawi anggota polisi ini hanya kamuflase. Sandiwara. Sebuah cara untuk menjebak. Ya, ini jebakan maut..!! Saya akan terperangkap dalam jebakan maut ini...!!

Usai beramah tamah, sambil memeriksa berkas-berkas yang saya serahkan, Pak Merta mempersilahkan saya keluar ruangan. Dia  meminta saya untuk menunggu di wantilan (sebuah tempat mirip pendopo di luar kantor Samsat).

Di wantilan, saya menunggu ditemani isteri dan putriku yang baru berusia tiga tahun enam bulan. Cukup lama juga saya menunggu. Berganti-ganti orang masuk-keluar dari pintu larangan itu.
Merasa letih setelah menempuh perjalanan tiga jam dari Jembrana ke Buleleng, saya tiduran di wantilan dengan menggelar tikar kecil.

Satu jam berselang, seorang petugas memanggil saya dan memerintahkan saya masuk melalui “pintu larangan masuk” langsung ke ruangan Pak Merta.
Tiba di ruangan itu, kembali si polisi ramah ini mempersilahkan saya duduk. Dia memuji kelengkapan berkas-berkas yang saya siapkan.

“Oke, berkas-berkas ini sudah lengkap. Tinggal dilanjutkan,” kata Pak Merta dengan senyumnya yang mengembang bagai bunga Sandat mekar di musim hujan.

Si jongos muda berbaju rapi yang duduk dua kursi di sisi kanan meja sedari awal tadi hanya terdiam mematung. Tidak ikut tersenyum. Tidak juga ikut berkata-kata.
Di ruangan ini, si jongos muda itu hanya berfungsi seperti mesin. Berjalan jika diperintah. Bicara jika harus menjawab pertanyaan tuannya. Dia tidak tersenyum. 

Saya ikut bergembira karena berkas ini tidak cacat. Tidak kurang suatu apapun. Itu artinya saya tidak perlu lagi kembali ke Jembrana untuk melengkapi berkas.
Kelengkapan berkas ini dapat saya penuhi setelah terlebih dahulu jauh-jauh hari saya berkonsultasi dengan seorang anggota polisi yang bertugas di kantor Samsat Jembrana, mengenai syarat-syarat mutasi.
Jadi, saya tidak asal datang dengan berkas sekedarnya. Tetapi dengan berkas lengkap, selengkap-lengkapnya, untuk menghindari kemungkinan berkas tertolak.
Tidak hanya itu, isteriku yang lulusan fakultas hukum itu juga sudah mempersiapkan undang-undang dan pasal-pasal yang mengatur mengenai ketentuan mutasi kendaraan. Dalam perjalanan dari Jembrana ke Buleleng  tadi, isteriku sudah mewanti-wanti dan memperingatkan pada saya bahwa besaran biaya mutasi itu tidaklah banyak.
Berapa persisnya jumlah biaya mutasi per satu kendaraan, saya tidak tahu persis. Kurang memperhatikan isi pembicaraan dengan isteriku di kendaraan tadi pagi.  Karena itulah, saya jadi agak bloon berhadapan dengan Pak Merta si polisi santun itu. Kali ini saya teledor...!!

“Begini mas ya, untuk satu berkas kendaraan ini biaya mutasinya enam ratus lima puluh ribu (Rp.650.000,-). Jadi, untuk dua kendaraan total sebesar satu juta tiga ratus ribu (1.300.000,-). Pokoknya beres...!! Tinggal tunggu jadi...!! Dua minggu lagi datang kemari, ambil berkasnya..!!Kata Pak Merta menyebut biaya mutasi yang harus saya keluarkan.

Saya meraba saku dan membuka dompet. Uang merah satu juta tiga ratus kukeluarkan dan kuserahkan begitu saja pada polisi santun itu.

“Baik, ini tidak lama. Dua minggu lagi jadi…!!” tegas Pak Merta sambil tangannya meraih lembaran uang merah pecahan seratusan yang kuletakkan di meja di hadapannya. Ia menghitung uang itu, lalu mempersilakan saya meninggalkan tempat.

Di wantilan, kepada isteriku kuceritakan bahwa uang yang diminta untuk biaya mutasi dua kendaraan itu sebesar 1.300.000.

Alangkah kagetnya dia...?????!!!! 
Naluri kritisnya muncul seketika, sebagai seorang alumnus fakultas hukum meski ijazahnya tersimpan rapi di lemari.. hehehe..

“Tidak mungkin sebesar itu Yah.. !!!??? Peraturan undang-undangnya tidak memungut sebesar itu. Coba lihat ini…!! Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai besaran biaya mutasi kendaraan..!!”

Dia sodorkan smartphone ke hadapan mata saya. Kubaca peraturan di layar handphone.  
Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2010 menyebutkan biaya mutasi kendaraan roda empat hanya Rp. 75.000 (tujuh puluh lima ribu rupiah). Tidak sampai seratus ribu.  
Saya tidak salah baca…!! 
Hanya Rp. 75.000 per satu berkas kendaraan. Berarti hanya Rp. 150.000 untuk dua kendaraan yang kami mutasi.

“Mati aku..! kita kena…!” pikirku sambil menggaruk kepala. 
Luar biasa jarak jumlah uang yang kami keluarkan dengan biaya seharusnya yang dibayarkan menurut peraturan resmi.

Isteriku segera mendesak saya untuk kembali menemui Pak Merta si polisi santun guna membicarakan ulang mengenai besaran biaya mutasi yang sebenarnya. 
Kami mulai curiga bahwa ada yang tidak beres...!!!
Mengetahui permainan tidak beres ini, aku jadi agak malas ingin melihat wajah polisi itu. Apalagi uang sudah terlanjur kuserahkan.

Antara ragu dan kesal, saya masih bergeming. Akan masukkah lagi ke ruangan melalui "pintu larangan" menemui Pak Merta untuk meminta kejelasan mengenai biaya mutasi yang sesungguhnya.?? Atau biarkan sajalah tinggal terima beres...!!

Sementara isteriku bersikeras memintaku kembali menemui Pak Merta.

Dengan berat hati, namun didorong oleh keinginan untuk mengatakan kebenaran, ditambah perasaan eman-eman jumlah uang yang harus melayang, saya kembali melangkah mendekati pintu “SELAIN PETUGAS DILARANG MASUK”.

Kubuka pintu itu dengan penuh percaya diri. Kutemui lagi polisi santun yang sudah berhasil menerima sejumlah uang dari saya. 
Kini uang itu akan aku perjuangkan untuk kembali ke tangan kami. Ini  hak kami. Brengsek..!!!

Kata-kata cercaan dan umpatan mengisi seluruh kepalaku. Pertanda aku mulai dihinggapi rasa tidak suka. Antipati yang over dosis.

Saya mencoba untuk bersikap setenang mungkin. Seramah mungkin. Dan secermat mungkin. Setenang dan secermat seekor ular yang hendak menangkap tikus. 
Tenang, cermat, dan menahan nafas. Karena jantung saya sedari tadi sudah dag dig dag dig dag dig.

Melihat saya muncul kembali di ruangannya, Pak Merta agak terkesima. Dikiranya saya sudah lenyap dari halaman kantor Samsat, pulang ke Jembrana sambil melenggang santai, menunggu selesai berkas mutasi  dua minggu kemudian.

Ternyata tidak….!!! I’m coming back….

“Ya, ada apa mas…” kata Pak Merta dan mempersilahkan saya duduk. Kali ini dia tidak tersenyum. Jam menunjuk pukul 11 pagi.

Kebetulan Jongos muda yang pendiam seperti robot itu tidak ada di tempat. Tinggal aku dan Pak Merta di ruangan itu. Sementara polisi muda penjaga lubang loket di bagian depan dengan handphone di tangan tampak sibuk, entah main game atau lagi chating dengan WIL-nya. Dia tidak tahu menahu kejadian memalukan apa yang bakal menimpa pimpinannya sebentar lagi.

Ya, tindakan yang sangat memalukan. Sekali lagi: Memalukan…!!!

Tanpa panjang lebar, setelah kutarik nafas beberapa kali, mulailah kuutarakan opiniku  mengenai biaya mutasi kendaraan. Tak lupa aku sebutkan pula payung hukum yang mengatur mengenai besaran biaya mutasi kendaraan.    
Pak Merta tertegun...!! 
Raut wajahnya tak lagi ramah. 
Tampak pula raut ketakutan di wajahnya. 
Senyumnya sirna. 
Pandangan matanya sinis. 
Ia seperti hendak mengusirku dari ruangan itu. 
Dia meraih dua berkas milikku yang sudah dirapikan. Dia cabut staples dari map resmi kepolisian. Setengah kecewa dia berkata: “Ini kau urus sendiri, kalau bisa…!!!”

Tangannya merogoh kantong bajunya yang penuh uang. Dihitungnya sejumlah uang yang sudah saya serahkan. Uang sebesar Rp. 1.300.000,- kembali ke genggamanku. Nahhhh…

Aku segera meninggalkan ruangan dimana seorang anggota polisi, berseragam polisi, sedang menahan amarahnya.

Sekeluar dari ruangan itu, aku dihadapkan pada kebingungan. Kemana harus kuserahkan berkas-berkas mutasi ini???
Bukankah ini satu-satunya loket mutasi di kantor Samsat ini?? ???

Aku mendekati loket mutasi dan melihat si polisi muda yang disibukkan oleh gadget di tangannya masih di tempat. Saya tidak tahu, apakah dia mendengar pertentangan saya dengan Pak Merta barusan tadi. Polisi muda itu dengan enggan meminta saya masuk ke bagian pembayaran pajak di pintu utama.

Aku berjalan menuju pintu utama tempat pembayaran pajak kendaraan. Di tempat itu ada meja “Pengaduan”. 
Kesitulah aku mampir dan bertanya. 
Seorang petugas berbaju putih menyambutku. Mungkin dia juga anggota polisi. Petugas ini lumayan baik dibanding teman-temannya yang lain yang berseragam polisi yang ada di sebelahnya.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya si petugas berbaju putih.
“Saya mau mutasi kendaraan,” jawab saya, sambil kusodorkan berkas mutasi ke hadapannya.
“Langsung saja ke samping, di loket mutasi. Temui Pak Merta di sana,” jawab temannya yang berseragam polisi. Sementara petugas berbaju putih memperhatikan kelengkapan berkas saya.
“Silahkan ke loket mutasi,” pinta si petugas berbaju putih.

Saya jelaskan pada mereka bahwa saya baru saja dari loket mutasi. Saya sudah menemui Pak Merta. Tetapi berkas saya ditolak. Tentu saja saya tidak menceritakan kejadian memalukan yang baru saja terjadi di ruangan Pak Merta.

Petugas berseragam putih menyatakan berkas saya sudah valid, tinggal diserahkan.

Sekali lagi, dengan nada yang penuh percaya diri,  saya katakan pada mereka bahwa berkas saya ditolak Pak Merta dengan alasan yang tidak jelas. Akhirnya kukatakan juga pada mereka bahwa:

“Pak Merta meminta saya mengeluarkan uang 650 ribu untuk satu berkas. Padahal peraturan pemerintah yang mengatur mengenai biaya mutasi ini tidak sebesar itu, dan hanya 75 ribu per satu berkas."

"Oleh karena itulah saya datang ke meja pengaduan ini. Mengapa berkas saya bisa ditolak. Kalau bapak tidak percaya, silahkan bapak sendiri yang antar berkas saya kepada Pak Merta..” kataku tegas. 
Kali ini rasa percaya diriku benar-benar tumbuh mekar.

Jawaban saya di hadapan petugas berseragam putih dan berseragam polisi di meja pengaduan itu betul-betul membuat mereka berobah mental. Orang-orang di dalam ruangan ini tentu sudah tahu belaka permainan kotor apa yang terjadi di ruangan mutasi yang digawangi Pak Merta.

Petugas berseragam putih meninggalkan tempat dan barangkali pergi ke ruangan Pak Merta. Sebab, sekembalinya, dia meminta saya untuk sekali lagi membawa berkas saya ke meja mutasi.
Sekali lagi, dengan berat hati, saya kembali memasuki pintu “SELAIN PETUGAS DILARANG MASUK”. Langsung menuju ruangan Pak Merta.

Sikap dan pembawaannya sudah berobah 1000 derajat. Rambutnya tampak jauh lebih kering dibanding pagi tadi. Jam sudah menunjuk pukul 11.30.

Hilir mudik orang-orang yang mengajukan berkas mutasi keluar masuk dari ruangannya. Itu artinya, banyak pemasukan dari uang pelicin yang memenuhi sakunya. 

Aku adalah pengecualian...!!! 
Hari ini aku bertindak sebagai pemberontak. 
Memberontak cara-cara ‘normal’ yang diterapkan oleh komplotan aparatus negara yang kebal vaksin revolusi mental...!

Berhadapan dengan aku si pemberontak, wajah Pak Merta tak lagi ramah. Musnahlah senyumnya yang manis bagai bunga Sandat di musim hujan. Berganti raut muka bagai cucian kusut. Kata-katanya pendek. Dia selalu membuang muka setiap kali aku menatapnya...

Kini akulah yang menikmati permainan ini. Inilah kali aku menikmati kekonyolan dan ketololan sikap seorang polisi. 
Dengan berdiri di atas aturan yang kupegang, aku merasa nyaman mengurus sendiri berkasku. Dan rasa-rasanya aku akan siap membentak siapa pun saja anggota polisi yang berani-berani menghalangi langkahku....!!! jrEng jrEng jrEng................!! 

Dengan enggan dia terima kembali berkas mutasiku. Dimasukkannya berkas itu ke dalam map resmi kepolisian. Disodorkannya kembali ke hadapanku. 
“Serahkan ke bagian KIR fisik” kata Pak Merta datar, dingin, dan tak bersahabat.

Aku meluncur ke ruangan bagian KIR untuk meminta stempel. 
Di ruangan itu harusnya aku dikenai biaya 50.000 per berkas, untuk biaya stempel. 
Bayangkan bro...! Polisi dapat duit 50.000 sekejap mata hanya dengan mengetok stempel. 

Sebetulnya tidak ada aturan yang mengatur mengenai keharusan membayar stempel bagian KIR ini. Ini semata-mata pungli.  

Tapi entahlah..! Mungkin sudah ada kontak dengan Pak Merta, polisi petugas di ruang KIR itu tidak meminta sepeserpun uang dari saya. 
Tapi sikapnya sungguh tak bersahabat. 
Setelah menerakan stempel di kedua berkas saya, dia setengah lemparkan berkas itu ke hadapan saya tanpa berkata-kata, kecuali berkata-kata lewat wajah masam dan ketusnya.

Aku kembali ke meja Pak Merta untuk menyerahkan berkas. Hanya sebentar diperhatikan berkas saya lalu dia perintahkan saya untuk ke ruang Fiskal. Ruang fiskal terletak di sebuah gedung yang terpisah dan bersebelahan dengan gedung pembayaran pajak.

Di ruangan itu, aku menunggu cukup lama, meminta sebuah surat keterangan fiskal yang diketik dengan mesin ketik jadul.

Di ruangan fiskal itu aku bertemu seorang bapak berkacamata dari Denpasar. Dia juga sedang mengurus mutasi kendaraannya. Dia bernasib seperti saya. Sama-sama jadi pemberontak. Mengurus sendiri kelengkapan berkas-berkas mutasi.
Kepada saya, si bapak berkacamata menceritakan sekelumit 'perseteruannya' dengan Pak Merta mengenai biaya mutasi yang tidak sesuai aturan resmi.
Kepada si bapak berkacamata itu, aku ceritakan pula hal yang sama.

Harusnya, tugas mondar mandir memenuhi kelengkapan berkas mutasi ini adalah tugas si Jongos muda di ruangan Pak Merta.
Tetapi, bagi si pemberontak, mereka sendirilah yang harus mondar mandir mengurus kelengkapan berkas mutasinya.

Sekeluar dari ruang fiskal, aku kembali menemui Pak Merta. Rambutnya terlihat tidak lagi beraturan. Tidak serapi tadi pagi. Dia lebih sering tampak menggaruk-garuk kepala. 
Dia perhatikan sebentar berkas saya, lalu dia perintahkan saya untuk pergi ke ruang arsip.
Di ruang arsip, seorang petugas bersusah payah membongkar-bongkar tumpukan arsip kendaraan yang berdebu. Cukup berat juga kerjaan si pencari arsip ini. Maka tak apalah ketika dia meminta bayaran Rp. 10.000 (sepuluh ribu) per berkas, meskipun ini tergolong Pungli juga. Kuberikan uang 20.000 kepada si petugas pencari berkas arsip di ruangan yang penuh tumpukan arsip berdebu itu.    

Selesai dari ruang arsip ini, aku kembali menemui Pak Merta yang masih duduk di tempatnya, melayani mangsa-mangsanya yang lain.

Hari ini, dia gagal memangsa dua orang: aku dan seorang bapak berkacamata dari Denpasar tadi.

Berkasku sudah lengkap. Pak Merta menerima kelengkapan berkas, dan tinggal membuat keterangan Kapolres untuk ditandatangani. 
Hanya itu saja… hanya itu saja… hanya itu saja… Kok biayanya sampai ratusan ribu…!!!

Dia memintaku datang lagi dua minggu dari hari itu untuk mengambil berkas mutasi. 
Dia tak banyak berbasa-basi, apalagi beramah tamah dengan si pemberontak macam aku. 

Kami pun pulanglah ke Jembrana dengan hati gembira bercampur sedikit jumawa. Seperti perasaan seorang petanding yang baru saja memenangkan sebuah pertandingan dan pulang dengan piala.

Dan aku baru saja memenangkan sebuah pertandingan. Pertandingan melawan polisi konyol. Berseragam polisi...

two weeks later....

Dua minggu berselang. Sesuai tanggal yang ditentukan, aku ditemani isteri dan anakku kembali mendatangi Gedung Samsat Buleleng Singaraja.  
Masuk ke ruang bagian mutasi melalui pintu larangan “Selain Petugas Dilarang Masuk,” menemui Pak Merta si anggota polisi yang mahir  mengolah sikap penampilannya, dan pantas jadi pemain drama untuk peran seorang tukang tipu…..!!!!????? wkwkwkwkwk..

Jarum jam menunjuk pukul 9 pagi. Pada jam-jam pagi, pikiran seorang polisi macam Pak Merta masih waras.

Dia kembali dengan sikap ramahnya. Menyambutku di hadapan meja tugasnya. Dengan senyum yang pernah diperlihatkannya pertama kali saat kami bertemu dua minggu lalu.   

“Ini yang dari Negare, kan..!?? sambutnya ramah.
“Betul Pak. Saya mau ambil berkas mutasi…”

Tangannya meraih tumpukan map, dan langsung menjumpai map yang di dalamnya terdapat berkas milikku.
“Mengapa bisa lama sampai dua minggu, hanya untuk minta tandatangan Kapolres, Pak?” tanya saya.
“Ya, memang begitu… itu sudah paling cepat…!” jawab Pak Merta.

Dia sodorkan berkas milik saya, dan kali ini lagi-lagi dia berusaha untuk menjebak saya. Sekali lagi dia menampakkan ketololannya sebagai seorang anggota polisi. Berseragam polisi.

“Satu berkas ini dua ratus lima puluh ribu…” serunya sambil menyodorkan berkas di hadapan saya.  

Barangkali dia berpikir bahwa saya dapat dengan sukarela mengeluarkan uang 500 ribu untuk dua berkas yang sudah selesai itu. Tetapi kali ini sayalah yang tersenyum mendengar permintaan itu. Senyum kemenangan yang kedua.  Saya katakan lagi bahwa peraturan pemerintah yang resmi menyebutkan biaya mutasi hanya 75.000. Jadi, untuk dua berkas ini saya berhak membayar 150.000. bukan 500.000.

Pak Merta terdiam. Jongos muda itu belum tampak di tempatnya. Andaikata dia duduk di tempat biasanya  dan menyaksikan betapa konyolnya sikap atasannya ini, mungkin dia juga akan merasa geli.
Uang 150.000 itu diterimanya.

Aku sudah siapkan dua lembar uang 50.000 yang memang dengan sengaja akan kuhadiahkan untuk meredam ‘dendam’nya padaku. Kusodorkan uang biru dua lembar di mejanya. 

"Ini untuk bapak.." kataku.

“Ikhlas ini ya.. ikhlas ya.. buat saya ya…!!!” kata Pak Merta, si Polisi konyol itu setelah menerima dua lembar uang biru bergambar pahlawan kebanggaan warga Bali itu.

Aku mengangguk. Tersenyum menyaksikan kekonyolannya. Dan meninggalkan ruangan itu.   
                   
***

Dari Catatan harian November 2015 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...