Di ambang petang, Kota Tegal berparas bak putri jelita.
Lampu-lampu hias warna warni sepanjang Jalan Ahmad Yani, menciptakan suasana
kota menjadi benar-benar menawan.
Saya sudah tidak sabar untuk segera belusukan menyusuri pinggiran jalan-jalan kota. Meski rasa pegal
dan capek belum pulih benar setelah perjalanan panjang dari Bali ke Tegal yang
memakan waktu hampir 20 jam. Saya, bersama isteri, putriku Sayasi yang berumur
empat tahun dan adik isteriku Yarham, tiba di Kota Tegal tepat pukul 12 siang
hari Jumat 22 Juli. Berbekal petunjuk dari jasa wisata online (traveloka), kami
langsung menuju sebuah penginapan (Hotel Semeru) di jantung kota.
Agak mengecewakan juga buat kami karena kondisi penginapan yang
kurang sesuai harapan. Barangkali ini hotel tertua yang pernah ada di Kota
Tegal. Kondisi bangunan induknya masih bergaya lama. Pintu-pintu dan daun
jendelanya besar-besar. Kemungkinan penginapan ini sudah berdiri sejak tahun
60-an atau lebih ke belakang lagi, dalam perkiraan saya. Namun di beberapa sisinya, sudah ada
bangunan-bangunan baru yang agak berbeda dari bangunan induknya.
Tarif bermalam di hotel ini tidak mahal. Pas buat pelancong domestik
seperti kami. Untuk kamar standar dengan fasilitas AC dan dua bed tempat tidur dan kamar mandi, tarifnya
cuma 165.000 sehari semalam. Tarif paling rendah 100.000 dengan kipas angin.
Tarif paling tinggi 200.000 dengan ukuran kamar yang lebih lebar.
Letak hotel ini cukup strategis. Tak ada salahnya mencoba
menginap di hotel tua ini. Kalau nanti malam ada hantu yang datang menampakkan
diri, anggaplah bonus berlibur… hehehe..
Setelah melepas penat, pada petang harinya kami keluar dari
penginapan. Tak lupa kubawa serta kamera digital Canon 700D buat jeprat jepret
kiri kanan.
Berbaur dengan banyak orang di tengah keramaian,
terdengarlah dialek bahasa jawa ngapak
ala Tegal (baca: Teghaall) yang sudah tidak asing di telinga kami. Dan ini kali
pertama kami berada dan mendengar langsung percakapan ngapak di tempat dimana bahasa ini berasal.
Keramaian jalanan kota di akhir pekan tidak sampai
menimbulkan kemacetan. Lalu lintas berjalan normal. Di sisi kiri dan kanan
badan sepanjang jalan, terdapat pedagang kaki lima dengan spanduk-spanduk
bergambar merk Teh: Teh Poci, Teh Tong Tji,
Teh Tang.
Sebagai penikmat teh, sedari tadi saya sudah terbayang ingin
duduk rehat di salah satu sudut pedagang kaki lima, sambil berselonjor
menyeruput secangkir teh. Tegal terkenal dengan tradisi moci. Moci adalah istilah
untuk menyebut minum teh dengan wadah poci. Istilah moci ini saya tahu dulu dari
teman-teman kuliah di Yogya yang berasal dari Tegal.
Namun, sebelum itu, terlebih dulu kami jalan-jalan santai
hingga beberapa ratus meter ke selatan, ke arah dimana tampak dari kejauhan menara
Masjid Agung Kota Tegal. Sepertinya, menara masjid agung ini menjadi bangunan
tertinggi di kota ini. Jika kita berada di pusat kota, empat pucuk menara itu
yang lebih dulu terlihat dari arah mana saja dan dapat difungsikan sebagai
titik penentu posisi. Kami sempat foto-foto dengan latar belakang menara yang
indah.
Rupanya kami berada di bagian belakangnya, bukan dari arah
pintu masuk. Kuputuskan untuk berbalik arah, ke jalan KH. Mas Mansyur. Disitulah
kami berjumpa dengan kehidupan hiburan malam warga tegal: Alun-alun Kota Tegal.
Kemeriahan sungguh terasa disini. Beragam jenis hiburan
murah tersedia. Mainan-mainan yang dibuat dari kreasi tangan-tangan terampil
seperti ‘baling-baling kelap kelip terbang’ mendominasi (saya lupa
menanyakan apa nama mainan ini), bersanding dengan mainan-mainan produk impor.
Terdapat pula bermacam-macam kuliner yang memanjakan lidah
pengunjung. Dari sekian banyak ragam kuliner yang tersaji di Alun-alun Kota
Tegal, lebih banyak yang sudah kami kenal ketimbang yang betul-betul khas Kota
Tegal. Sekoteng wedang ronde kerap kami jumpai di Yogya, Nasi Lengko yang di
Yogya dulu kami kenal berasal dari Cirebon. Mungkin ada beda nasi lengko
Cirebonan dengan lengko Tegal. Kemudian tahu gejrot.
Khusus tahu gejrot barangkali ini yang khas. Kami sempat
mencoba mencicipinya karena tertarik oleh penampilan gerobak pedagangnya yang
tradisional banget. Saya sendiri kurang paham darimana penganan ini berasal.
Disajikan dengan cara tradisional; dengan cobek kecil, saus serupa kecap asin
dan irisan bawang serta lombok hijau. Sangat khas.
Begitu mencicipinya, kami tak langsung kaget. Di lidah
rasanya datar-datar saja. Penganan ini rupanya kurang memancing selera karena
rasanya yang jadul dan biasa saja. Barangkali dulu tahu gejrot merupakan ‘jajanan’
andalan. Bisa disajikan sebagai lauk pauk teman makan nasi. Namun seiring
waktu, cita rasa yang dipertahankannya sudah tidak mampu menjangkau selera
lidah anak-anak jaman sekarang. Jika tidak ada modifikasi dalam kreasi
bumbunya, kemungkinan penganan tradisional ini akan ditinggalkan peminat
kuliner, dan lenyap di kemudian hari.
Sepulang dari Alun-alun setelah menikmati hiburan malam yang
meriah, kami singgah di warung kaki lima tak jauh dari hotel. Kami pesan dua
porsi nasi lengko dengan minuman Teh Poci dan jahe susu. Menurut penilaian
sementara kami, nasi lengko ini juga kurang nendang. Lebih dominan sambal
kacang. Lebih pas disebut nasi pecel, sebab tidak disertai kucuran bumbu kecap.
Setahu saya, nasi lengko lebih dominan terasa sambal kecapnya.
Rasa kecewa saya karena belum menemukan masakan yang sesuai
di lidah, segera terobati setelah menyeruput teh poci. Benar dugaan saya, teh
poci dengan gula batu benar-benar terasa nendang. Tambah lengkap dengan jahe
susu. Minuman ini kupesan khusus untuk pemulih stamina setelah perjalanan jauh.
Setiba di penginapan, kami langsung terkapar. Kami
benar-benar pulas. Sampai-sampai tak ada waktu buat bermimpi dalam tidur. Hik!!
Subuh hari, badan terasa pulih. Saya berjalan kaki seorang diri
ke masjid agung, sholat subuh sambil nyangklong kamera. Sepulang dari masjid,
saya belusukan ke pasar pagi Kota
Tegal masih di lajur jalan Ahmad Yani, tak jauh dari hotel tempat kami
menginap. Di pintu selatan masuk pasar, sebuah pemandangan kurang sedap
terlihat jelas: timbunan sampah sayur mayur menumpuk berbaur dengan sampah
plastik.
Konon, di pasar pagi ini ada pedagang kue asli Tegal:
Jalabiya. Kue serupa donat, terbuat dari tepung ketan. Informasi ini kudapat
dari harian pagi Radar Tegal. Saya sendiri tidak berjumpa pedagang Jalabiya ini
karena susah sekali mau cari di tengah keramaian pedagang pasar. Belum lagi
kondisi pasarnya yang becek membuat saya tidak ingin berlama-lama berada di
pasar pagi.
Siang harinya, barulah saya coba makanan khas Tegal yang
lain: martabak telor. Makanan ini sih
sudah familiar karena dapat dijumpai di seluruh kota di Indonesia, dijajakan oleh
para pedagang perantau asal Tegal.
Putriku Sayasi lebih suka jajanan Serabi Miring. Kue mungil
sejenis apem yang banyak dijual di pinggir jalan kota ini, dijual hanget-hanget
sebagaimana serabi karena langsung dimasak di depan pembelinya. Ada lagi yang
khas Tegal; Tahu Aci. Sepotong tahu yang ditempel tepung bakso. Di hari
terakhir nanti, kami memborong Tahu Aci ini dalam keadaan mateng dan mentah
sebagai oleh-oleh. Hehehe..
Pagi hari pertama, kami lagi-lagi berjalan kaki menyambangi
Alun-alun kota, berburu masakan enak. Tapi masih juga belum kami jumpai makanan
yang betul-betul sip. Malahan kami jumpa Kupat
Padang dan nasi Gudeg Yogya. Istriku
sarapan Kupat Padang, aku dan putriku
menyantap Gudeg.
Kami bertanya-tanya dalam hati (suruh siapa bertanya dalam
hati. Kok tidak nanya orang???)…. Dimana gerangan masakan khas Tegal yang sip martusip
itu???
Dari informasi di google kami memperoleh pengetahuan umum mengenai
beberapa titik spot penjual makanan enak di Tegal. Nantilah kami coba cari;
antara lain Soto Senggol, deket pos polisi utara alun-alun.
Tapi lupakan dululah. Saya punya agenda lain. Saya ingin
berjumpa kawan lama yang sejak tiba diTegal kemarin sudah saya kontak. Rumahnya
di Adiwerna, seberang kantor pos Adiwerna. Ternyata tidak jauh dari kota. Sekitar
lima kilometer ke selatan dari kota.
Dloifan Faaz, kawan lamaku di Yogya dulu. Terakhir kami
bersama saat ditimpa musibah gempa Yogya Mei tahun 2006. Kenangan inilah yang
membuatku ingin bersua lagi dengan kawanku ini. Jika dihitung mundur dari
sekarang, berarti sudah hampir 10 tahun aku tidak ketemu muka dengan kawanku
ini.
Maka sore harinya, saya mengajak isteri dan putriku
berkunjung ke rumah Dloifan Faaz.
Minum teh sudah jadi tradisi di seantero Tegal ini.
Dimana-mana orang minum teh. Warung-warung makan, pedagang nasi kaki lima orang
minum teh. Di hotel tempat kami menginap saban pagi tersaji teh. Bahkan ketika
saya bertamu di rumah kawan lamaku, teh tersaji lagi.
Orang Tegal jago meramu teh. Rasa sajian tehnya beda banget
dengan rasa sajian teh di tempat lain. Pahit manisnya terasa padu banget. Tersisa
aromanya yang wah. Serasi. Keahlian ini mereka warisi dari tradisi nenek kakek
mereka dulu. Karena itu, untuk mengetahui apakah seseorang itu aseli berasal
dari Tegal atau sekedar mengaku-ngaku dari Tegal, cobalah fit and proper test dari kemampuan mereka meramu sajian teh.
Hehehe…
Tak ada yang sangat menggembirakan bagiku ketika berkunjung
ke Kota Tegal ini; pertama ini kesempatan mencicip teh. Kedua, perjumpaan
dengan kawan lama.
Ada satu jam lebih lamanya kami berbincang. Tanya ini tanya
itu… sambil mengingat masa-masa berkawan di Yogya dulu. Dengan keluarga Dloifan
ini saya merasa bukan orang asing. Latar belakangnya sederhana: teman mondokku
sekamar di Pesantren Wahid Hasyim Gaten Yogya dulu bernama Ahmad Adib
(almarhum) adalah kawan baikku. Dia pacaran, bahkan sempat tukar cincin dengan
mbak Neli yang juga mondok di WH. Neli ini adalah kakak perempuan Dloifan. Saya mengenal Neli dari Adib, begitupun
sebaliknya. Nah, inilah jalan pintas saya berkenalan dengan Dloifan.
Selepas melepas kangen. Kami melanjutkan jalan-jalan. Kami
coba susuri sepanjang jalan Gajah Mada. Namun di sepanjang jalan ini, selain
mall tempat belanja yang membosankan itu, kami tidak menjumpai titik pusat
keramaian hiburan rakyat yang benar-benar meriah serupa di alun-alun. Kami
putuskan berbalik arah, pulang ke hotel memarkir kendaraan dan berjalan kaki
menuju alun-alun.
Saya tertarik dengan pedagang susu murni. Dari malam kemarin
saya sudah melihat pedagang susu murni di alun-alun. Ini kesempatan untuk
mencobanya. Ada dua pilihan: susu sapi dan susu kambing. Tradisi minum susu
murni ini sangat digemari terutama oleh warga Arab peranakan Kota Tegal. Bahkan
salah satu pedagang susu murni ini kuketahui seorang Arab peranakan. Ditemani
sepiring kue mariam berbentuk pipih bundar, menyeruput susu murni terasa
nikmat. Pas buat menambah stamina. Harganya pun tak mahal. Super murah untuk
segelas susu murni dan kue mariam.
Kembali ke hotel. Kakiku benar-benar terasa gempor. Terlalu
sering jalan kaki. Dan saya pikir hanya dengan berjalan kakilah kita bisa
menikmati persahabatan dengan wisata kota ini. Bisa sambil jeprat sana jepret
sini. Ambil foto di sudut mana saja.
Kesan melancong
Dari perjalananku di seputaran Kota Tegal di hari pertama
dan kedua, saya menarik kesan: Kota Tegal kota yang hangat. Sehangat teh
pocinya yang tersedia setiap saat. Denyut kehidupan ekonomi masyarakatnya
bergerak maju.
Dalam beberapa hal, Kota Tegal belum banyak terpengaruh oleh
percepatan laju modernisasi. Itu bisa dilihat dari moda transportasi becak yang
sehari-hari menjadi transportasi warga selain bemo dan andong. Sebagian besar
becak di Kota Tegal masih dikayuh kaki. Tidak seperti di kota-kota lain dimana
hampir seluruh moda transportasi ini disulap menjadi betor (becak motor) bertenaga motor hasil modifikasi yang lebih
cenderung menambah timbulnya kebisingan.
Tradisi minum tehnya cukup kuat, ditengah gempuran beragam
jenis minuman kemasan kaleng yang membanjiri. Kota Tegal dengan keberadaan kota
kecil Slawi di selatannya sebagai penghasil teh, mampu mendongkrak citra kota
dengan keanggunan tradisi minum teh.
Hanya saja, saya belum menemukan kekuatan identitas kota ini
sebagai Kota Bahari. Sesuai slogan selamat datang yang tertera di depan kantor
Walikotanya, “Selamat datang di Kota Tegal. Kota Bahari”. Manakah barometer identitas
Tegal sebagai Kota Bahari??? Mengapa di jantung kota ini tidak terdapat
misalnya pusat kuliner bermenu bahan dasar ikan laut yang segar?? Atau pedagang
sate ikan misalnya?? Atau kerupuk ikan khas Tegal dari bahan dasar beragam ikan??
Malahan yang saya jumpai di alun-alun adalah pedagang kerupuk ikan tengiri khas
Palembang…!!! Bukankah Kota Bahari berarti memiliki keterkaitan dengan yang
serba kelautan??? Mengapa yang serba ‘kelautan’ (bahari) itu tidak tampak jejaknya
di pusat kota ini???
Barangkali pemerintah Kota Tegal perlu memikirkan ulang
bagaimana membangung ‘sarana pendukung’ untuk memperkuat identitas sebuah kota.
Ketimbang hanya membikin nama belaka tanpa bukti kongkret apa-apa.
Saya melihat sebuah gejala umum bagaimana sebuah kota
berupaya dihadirkan sebagai kota religius dengan kehadiran simbol-simbol
seperti baligo mini bertulis ‘Asmaul
Husna’ yang menghiasi jalanan utama kota. Sebagaimana saya jumpai di
kota-kota santri di Jawa Timur seperti Pasuruan, dan di beberapa kota di Jawa
Tengah seperti Pemalang, papan ‘Asmaul
Husna’ yang sesungguhnya merupakan keagungan nama Tuhan juga terpampang di
lajur utama seputaran alun-alun Kota Tegal. Saya rasa ini hanya sebuah peniruan
belaka dari keinginan untuk membangun
citra sebuah kota menjadi kota religius (mimesis).
Akan tetapi, sesungguhnya citra kota yang demikian
berlebihan ini justru akan bertolak belakang dengan kenyataan yang saya jumpai,
semisal tumpukan sampah yang mencolok di pintu sisi selatan Pasar Pagi Kota
Tegal. Bagaimana kita harus menyebut sebuah kota sebagai kota religius jika
persoalan sesepele ini tidak dapat diatasi secara cermat??? Bukankah ini justeru
akan menjadi cacat tersendiri bagi citra sebuah kota? Lebih-lebih kota yang
menahbiskan diri sebagai kota religius.
Ah, saya tidak mau ambil pusing soal ini. Suatu saat saya
ingin kembali lagi ke Kota Tegal. Duduk bersantai di sudut alun-alun yang ramai
sambil menyeruput teh poci…
Catatan Perjalanan
Perjalanan saya mulai dari Bali pada tanggal 21 Juli, Kamis
pukul 03.30 dinihari. Melalui jalur Pantura, saya, bersama isteri, putriku
Sayasi, dan adik iparku Yarham, dengan kendaraan Toyota Rush yang kukemudi
sendiri. Kondisi rem oke. Oli oke. Minyak full Rp 300.000.
Jam 12.15 wita tengah hari, sempat singgah di Pesantren
Sidogiri. Di sini kami bersua dengan dua orang sahabat: Misbah dan Masud.
Jam 15.20 wita sore, kami lanjutkan perjalanan menuju tol
Gempol. Singgah di rest Area toll menjelang maghrib. Isi BBM Rp. 200.000.
Lewat melalui Tol Kebomas. Tiba di Lamongan saat magrib.
Jam 10.20 wita, singgah di sebuah pom bensin tak jauh di
barat Pesantren Sarang Kota Sarang Rembang. Istirahat pijat, di sebuah musholla
pom bensin Sarang kiri jalan dari arah timur. Istirahat malam kami terganggu
oleh serangan nyamuk liar… hehehe..
Jam 02.15 tengah malam. Kami lanjutkan perjalanan. Kali ini
drivernya Yarham. Aku istirahat dulu. Beberapa kota di jalur pantura dilewati, Pandangan, Sluke, Lasem, Rembang
daerah-daerah yang tidak asing bagi saya. Lalu Pati, Kudus, Demak. Subuh hari
tiba di Kota Demak. Berhenti di sebuah musholla kecil kiri jalan selewat dari
Masjid Agung Demak. Sempat istirahat menunggu subuh.
Jam 07. 00 tancap gas lagi. Drivernya aku lagi. Tiba di
Semarang lewat tol menuju Kendal. Perut sudah mulai keroncongan. Tak sempat
makan malam. Hanya camilan.
Jam 09.15. singgah kebetulan di Warung Makan Haji Ismun 5,
jalan raya Kendal-Weleri. Wah, rumah makan ini sangat oke. Menunya juga oke.
Harganya juga oke. Kami puas sarapan.
Jam 09.50 tancap gas lagi. lewat kota Batang disini berhenti
isi BBM Rp.100.000, lalu masuk Kota Pekalongan, dan Kota Pemalang.
Jam 12.15 siang masuk kota Tegal. Jumat 22 Juli.
Komentar