Langsung ke konten utama

Iwu

100 Hari Iwu


Sabtu 4 April, pukul 4.30 sore saya berangkat dari Bali menuju Lombok setelah mendapat kabar saudaraku, Khairul Fahmi (Iwu) dalam kondisi kritis.
“Sudah kecil harapan” kata kabar dari seberang.
“Mungkin dia akan meninggal dalam waktu dekat,” pikirku.
Saya bergegas… meminta ijin pulang sendirian, keperluan menjenguk Fahmi.

Hari beranjak gelap ketika saya masih di sekitar Tabanan. Dari kaca kendaraan yang saya tumpangi, di langit tampak bulan dengan cahayanya yang murung. (belakangan saya ketahui pada hari itu sedang gerhana bulan). Iseng saya membuka facebook, melihat-lihat halaman timeline Fahmi dengan postingan terakhirnya berupa foto-foto lama kenangan pendakian puncak Kinabalu. Pada gambar foto ini, ia masih tampak gagah dan tegap. Ke belakang adalah foto-foto bersama keluarga, juga bersama Meneg BUMN Dahlan Iskan, lalu foto saat mendatangi TPS pilpres 2014. Pada gambar foto ini, wajahnya sudah nyaris tidak dapat saya kenali; berkacamata, kurus, dengan raut wajah yang terlihat jauh lebih tua dari usianya yang masih muda.
“Ah, tinggal berapa hari lagi kah…?” saya membatin.

Saya terus saja membuka, melihat-lihat bagian-bagian foto yang lain untuk mengingat-ingat kembali masa sebelum Fahmi jatuh sakit. Antara lain foto dengan tangan mengepal di puncak Merapi di Yogya. Foto di punggung Alpen yang bersalju di Swiss. Foto-foto yang terus mengingatkan saya pada sikap dan pendiriannya yang kokoh, sekokoh gunung-gunung yang ditaklukkannya dalam pendakian.

Pukul 9 malam saya sudah berada di geladak kapal Salindo Mutiara yang akan membawa saya menuju Lembar. Selama perjalanan 4 jam itu, saya tidak dapat memejamkan mata. Barangkali pengaruh dari minum kopi Bandrek yang sengaja saya bawa dari rumah untuk bekal di kapal.

Pukul 1 dinihari, kapal merapat di Lembar. Saudaraku Adi Ocem menjemput dengan kendaraan tuanya. Saya meluncur menuju rumah sakit Harapan Keluarga Mataram. Di sana sudah menunggu Bibi Tuan Isah. Sewaktu mengontaknya dari atas kapal tadi, dia bilang; “langsung saja ke rumah sakit, tidak apa-apa malam-malam, nanti saya tunggu di depan..”

Jadilah pukul 2 tengah malam itu saya ke rumah sakit, menuju lantai dua ruang ICU. Tetapi saya tidak dapat langsung ke ruang pasien.

“Dia (Fahmi) sedang tidur. Sebaiknya kamu istirahat saja dulu di ruang tunggu,” kata Bibi Tuan Isah.

Usai shalat Isya’ yang terlambat, saya tertidur di barisan kursi ruang tunggu rumah sakit mewah itu. Keesokan pagi selepas subuh hari, Bibi Tuan Isah mengantar saya ke ruang pasien tempat Fahmi dirawat. Ada Mbak Ayik isteri Fahmi dan Ika adiknya menemani. Suhu di ruangan itu sangat dingin, antara 16 derajat, dengan nyala lampu yang sengaja tidak dibikin terang. Tampak Fahmi memejamkan mata. Rongga oksigen menutup hidung dan mulut. Lalu selang-selang infuse yang menjalar di sekujur tangan dan dadanya. Juga sebuah pipa lunak pengantar yang terhubung ke monitor kecil tempat dimana terlihat keterangan mengenai kondisi pergerakan jantung, detak nadi, kadar gula darah pasien.

“Sudah separah ini rupanya..?!!!” pikirku.

Beberapa saat kemudian, Fahmi membuka mata, berusaha mengenali saya setelah isterinya, Mbak Ayik, memberi tahu saya datang.
Perlahan dia menjulurkan tangan kanannya meminta bersalaman. Dalam bahasa daerah ia menyapa saya,

Jam pirem dateng? (tiba pukul berapa?)

Jam 2 tadi malam

Maukm istirahat? (sudah sempat istirahat?)

Sudah

Suaranya masih terdengar jelas dari balik rongga oksigen yang menutup mulut dan hidungnya. Ia kembali memejam. Saya dipersilahkan duduk di sampingnya. Dari dalam saku saya mengeluarkan secarik buku surah Yasin dan mendarasnya tanpa suara. Tradisi kuno yang diturunkan nenek moyang, membaca surah Yasin untuk orang-orang sakit… menjelang ajal.

Fahmi mengeluhkan pernafasannya agak terganggu oleh cairan yang terus naik ke tenggorokan. Kepada perawat di ruangan itu dia bertanya,
“Ada dokter piket besok?”
“Ada” kata perawat.
“Sepertinya ada cairan di rongga leher saya. Terasa mengganggu,” kata Fahmi.
Ia meminta minum air. Mbak Ayik mendekatkan gelas dengan pipet.
Tampaknya air pun sudah tak enak diminum. Ia meminta posisi badannya agak dinaikkan. Saya, Ika dan Mbak Ayik berusaha menggeser sedikit ke atas tubuh lemahnya. Ia sudah tidak sanggup menggerakkan badan secara maksimal.
“Tinggal berapa hari lagi kah???” batinku.
Kurang dari satu jam saya di ruangan itu. Suhunya yang dingin membuat saya tidak betah. Namun, dengan suhu yang dingin itulah Fahmi merasa terbantu.

***

Pukul 12 siang saya keluar dari rumah sakit, pulang ke desa menemui orang tua. Istirahat setelah perjalanan dari Bali. Kangen mencicip masakan bikinan ibu.

Sebagaimana kebiasaanku saat pulang kampung, tak lupa aku menyempatkan berziarah ke makam kakek, nenek, paman dan saudara di pemakaman desa: Makam Katon. Sekedar menyabut dua tiga batang rumput. Membelai-belai nisan yang penuh lumut, dan duduk berlutut memanjat doa. Sambil lalu menyampaikan kabar rahasia dari rumah dunia tentang saudaraku Khairul Fahmi:

“Wahai leluhurku, kakek, nenek, paman dan saudaraku yang telah lebih dahulu berlayar ke alam akhirat, semoga Allah merahmatimu sekalian, mengampuni dosamu dan menerima amal baikmu sekalian… ketahuilah… seorang cucumu, anak saudaramu yang terkasih, Iwu nama kecilnya, jika Allah menghendaki, dan segala sesuatu ini atas kehendak-Nya, ia akan datang menyusulmu sekalian. Saat ini ia tengah dirawat di sebuah rumah sakit,, entah untuk berapa lama lagi. Jika layar terkembang dan angin bertiup menuju lautan, maka akan berlayarlah sampan. Di dalamnya, cucu, anak saudara kesayanganmu, Khairul Fahmi, nama pemberian dua orang tuanya, bersiap-siap menaiki perahu menuju alam akhirat tempat kalian semua kini bermukim, dan kampung pemukiman abadi bagi kami semua kelak.…”

***

Pada hari Selasa pagi 7 April, saya kembali bezuk ke rumah sakit. Keadaan tak jua berubah. Fahmi sudah tidak mengonsumi makanan lagi. Dia hanya mengandalkan cairan infuse dan bermacam-macam suntikan-suntikan cairan yang dibutuhkan untuk sekedar mempertahankan sisa-sisa pergerakan jantung dan nafasnya. Dari saku aku keluarkan buku kecil dan mendaras surah Yasin…

“Segala sesuatu ada di tangan-Mu, Allah… Kami, manusia lemah.. Engkaulah, pemberi hidup.. dan Engkaulah yang berhak merenggut hidup kami.. Limpahkanlah kesabaran bagi kami, orang-orang di sekitarnya, dalam menghadapi kemungkinan rahasia-Mu (kematian).”

Kunjunganku ke rumah sakit tidak lama. Usai membaca ayat suci, pagi itu aku keluar dari rumah sakit menuju Ampenan, rumah Tuaq Yup.

***

Sabtu sore, 11 April, saya bertolak dari Bandara Lombok menuju Bali, sesekali terus terbayang Fahmi, esok, atau lusa kah, atau berapa hari lagi kah…

***

Tiga hari berselang… Rabu 15 April pukul 4 sore, saya mendapat kabar Iwu meninggal dunia. Mula-mula saya mendapati panggilan tak terjawab dari Inaq di kampung. Saya membalas panggilan itu, dan Innalillahi wa innailaihi rojiun (sesungguhnya kami milik Allah dan kepadaNyalah kami kembali)…
Saya mengontak Ucup. Kabar yang sama segera terdengar: Iwu meninggal dunia.

Saya tertegun dan teringat sebuah mimpi tadi malam. Baru tadi malam. Mimpi yang tidak sempat kuceritakan pada siapa pun. Mencoba memikirkan makna mimpi itu barangkali ada kaitannya dengan berita duka hari ini. Antara jam 04.00 dinihari, sebelum subuh, saya bermimpi mengumandangkan adzan dengan suara keras sekali, sekeras-kerasnya suaraku, hingga aku terbangun. Tetapi sebagaimana kebiasaanku, aku selalu menganggap mimpi sebagai peristiwa biasa. Setelah ada satu kejadian yang menyusul mimpi itu, barulah aku dapat mengait-kaitkan isi mimpi dengan kejadian tersebut. Barangkali mimpiku itu adalah isyarat pula bagi kabar duka yang kuterima pada sore kemudian.

Pada malam harinya, selepas Magrib, saya meminta anak-anak murid madrasah diniyah yang mengaji di masjid, bersama-sama membaca surah Yasin… “Saudara saya, anak dari Bibi dan Paman saya, bernama Khairul Fahmi meninggal dunia sore tadi. Dia menderita suatu penyakit berat, sudah cukup lama. Hampir setahun. Dia masih muda. Seusia saya; 34 tahun. Meninggalkan dua orang anak yang masih belia, masih kecil-kecil. Saya memohon adik-adik untuk membacakan surah Yasin, dengan harapan semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan, almarhum diampuni dosanya, dan diterima amal baiknya.” Saya memberi sambutan singkat sebelum pembacaan Yasin. Tak terasa airmata menyembul dari sudut mataku, ketika beberapa dari anak-anak murid madrasah itu sesenggukan menangis…

***

(SEHARI setelah pemakaman itu, saya terbangun lebih awal dari biasanya, pukul 3 lewat 5 menit. Mataku menerawang, berhamburan segala bayangan wajah saudaraku, Iwu. Teringat begitu banyak kenangan berkesan selama bergaul bersamanya. Sepeninggal Iwu, saya merasakan bertambah sepilah rumah dunia ini.)

Ketika mendapat kabar Iwu meninggal pada sore pukul 4, hari Rabu 15 April, pada malam harinya pukul 8 selepas isya’ kami sekeluarga berangkat dari Bali untuk menghadiri pemakaman yang rencananya akan diselenggarkaan pada pukul 10 pagi menurut informasi (namun pemakaman pukul 1 siang).

Kapal yang kami tumpangi (KMP Dharma Santosa) agak terlambat nyandar di pelabuhan Lembar. Sekira 6 jam perjalanan laut, dua jam lebih lambat dari biasanya. Tepat jam 9 kami singgah terlebih dahulu di Ampenan, rumah Tuaq Yup, tempat Bibi Tuan Isah menunggu. Selepas Mandi dan sarapan, bersama Bibi Tuan Isah kami menuju kediaman Iwu, di komplek perumahan Pagutan, belakang klinik Biomedika. Kami tiba sesaat sebelum jenazah diberangkatkan. Sepatah kata sambutan disampaikan perwakilan keluarga. Dan jenazah dibawalah menuju masjid di komplek perumahan Pagutan untuk dishalatkan.

Diantara orang-orang yang berjalan beriringan di belakang keranda, saya melihat si kecil Liliana dan Alisha, dua putri almarhum. Tak sebersitpun airmuka keduanya menampakkan rona sedih. Liliana dan Alisha masih dalam kesadaran kanak-kanak yang belum juga memahami apa arti kejadian pagi ini. Tetapi entahlah, saya tidak dapat membayangkan bagaimana perasaan terguncang ibunya jika esok atau lusa, atau kapan saja, anak-anak belia ini bertanya; “Bunda, dimana ayah sekarang? Mengapa ayah tidak tidur bersama kita lagi? Mengapa ayah tidak juga pulang ke rumah, Bunda?”

Dari komplek perumahan mewah di tengah kota itu, jenazah diberangkatkan menempuh 30 kilometer jauhnya menuju kampung kelahiran ayah dari almarhum di Desa Batujai. Perkampungan yang sederhana, dengan suasana desa: jalanan bergelombang dan berbatu belum diaspal. Orang-orang yang bergerombol menyaksikan kendaraan-kendaraan lewat. Bahasa daerah yang kental. Senyum ramah mengajak bersalaman.

Akhirnya, di kampung kecil inilah almarhum Iwu dikuburkan.

Kata Tuaq Yup kepada saya dalam acara pemakaman itu: “Di sinilah, di kampung ini, tempat leluhur jalur ayah dari almarhum, tempat terbaik untuk menguburkan. Tidak di kota. Tidak pula di tempat lain. Kalau kita renungkan, hal ini memiliki kedalaman makna yang tak berhingga. Inilah salah satu cara bagaimana kita harus senantiasa menyambung rangkaian jalur silaturahim dengan para leluhur, asal muasal persambungan akar kita, orang-orang di desa yang selama ini kita abaikan.”

(Jarum jam masih di pukul 3, kini lewat 20 menit. Mataku masih menerawang. Ingatanku menembus gelap, setapak demi setapak kenangan selama bergaul dengan almarhum).


Pada tahun 2007 dalam bulan Februari, Iwu memanfaatkan waktu berlibur selama satu minggu berada di Yogya. Meski telah bekerja dengan gaji tinggi di PT Newmont Nusa Tenggara, dia tak canggung menginap di kamar kosku yang sempit dan sederhana; berdinding setengah tembok separuh triplek. Tanpa kasur. Hanya sebuah kelasa (tikar) dan selimut tipis.
Kata Iwu saat itu: “…Saya sudah terbiasa tidur menggelandang. Tidur di emperan pun jadi… Kamar kosmu ini sudah lebih dari cukup, Dab…”

Selama itu, selama satu minggu menginap di kamar kosku, kami banyak bertukar pikiran mengenai banyak hal.

Rupanya dia sangat ingin melihat-lihat bangunan-bangunan candi yang ada di Yogya, terutama yang sangat populer; Prambanan dan Borobudur. Dengan senang hati saya mengajaknya berjalan-jalan ke bangunan-bangunan kuno itu. Hari pertama kami ke Prambanan. Menyaksikan candi yang didirikan dari ambisi Bandung Bondowoso merebut Roro Jonggrang itu dengan kondisi masih dalam tahap renovasi setelah terkena efek gempa Yogya bulan Mei 2006 lalu. Tidak cukup berkeliling di komplek Prambanan dan menyaksikan video proses berdirinya candi Prambanan, saya pun mengajaknya berkeliling melihat-lihat candi-candi berukuran sedang dan kecil, berjarak tempuh tiga kilometer ke utara komplek Prambanan. Antara lain Candi Plaosan dan candi-candi kecil tak bernama. Tak lupa pula saya mengajaknya menyaksikan bangunan candi yang belum lama ini ditemukan dari dasar tanah, dalam kondisi yang masih berada di bawah permukaan tanah, yakni Candi Peledungan yang terletak dua kilometer ke arah barat dari komplek Prambanan.

Di hari kedua, kami meluncur ke Candi Borobudur dan Mendut di Magelang. Di tempat ini kami sempat membuat sebuah video dokumentasi: Perjalanan ke Borobudur.

Di hari-hari berikutnya saya mengajak Iwu menyaksikan dari dekat sudut-sudut kota Yogya; malam-malam menikmati wedang ronde sambil duduk-duduk di atas rumput Alun-Alun Selatan Keraton Yogya. Membeli durian dari pedagang-pedagang desa yang menggelar dagangan mereka di pinggiran jalan. Dan Berkunjung ke toko-toko buku. Juga ke Plaza Ambarrukmo, tempat belanja mewah yang menjadi objek studi saya saat itu.

Tak terasa waktu satu minggu liburannya habis sudah. Ia sangat terkesan dengan puncak Merapi. Dia bilang pada saya bahwa kelak dia akan mendaki gunung aktif itu.


Dua tahun kemudian, dalam tahun 2009, saat saya sedang mukim di Jakarta, kami bersua. Ia tengah dalam tugas dari perusahaan, mengikuti pelatihan selama dua minggu di Badan Atom Nasional (BATAN). Saya menemuinya di sebuah penginapan di bilangan Lebak Bulus. Sebagaimana kebiasaan saat bertemu dengannya, entah dalam perjalanan atau sambil menyantap makan, kami selalu bertukar pikiran. Ada saja isi pembicaraan antara kami, dari soal yang kecil-kecil hingga masalah yang agak rumit dan serba teori.

Lama setelah pertemuan di Jakarta itu, saya mendapat kabar Iwu berangkat ke Bilbao Spanyol untuk tugas pendidikan.

Dalam tahun 2010 saat saya berada di Lombok, saya satu kali berkunjung ke rumahnya di Pagutan. Selanjutnya pertemuan kami di Lombok Timur saat kakaknya, Farida, menikah pada tanggal 10 Oktober 2010. Kemudian perjumpaan kami pada acara resepsi pernikahan dokter AD Irma di Ampenan sebulan kemudian (bulan November) tahun yang sama.

Ia juga menyempatkan diri datang dari Sumbawa hadir bersama isteri dan anaknya dalam resepsi pernikahan saya pada tanggal 4 Juni 2011 di Desa Mujur Lombok Tengah. Sebuah kehormatan bagi saya, sebab kecuali mengirim ucapan selamat, saya tidak sempat hadir pada pesta pernikahannya dalam paruh akhir tahun 2007 silam.

Tahun 2012 saya mendapat kabar Iwu tengah berada di Swiss dalam rangka tugas belajar dari perusahaan tempat dia bekerja. Lama sepulang dari Swiss, ia mengontak saya dengan mengabarkan tengah berlibur di Bali bersama keluarga. Saya memintanya untuk –jika ada waktu– sekedar singgah ke Bali Barat. Meski dalam tenggat waktu yang mepet, Ia bersama keluarga, jauh-jauh dari Denpasar menyempatkan diri singgah ke rumah kami di Negara, Bali Barat.

Tahun 2013 (kira-kira dalam bulan Maret) kami bersua lagi di Mataram. Mengajak kami makan bakso lalu dilanjutkan dengan semacam reuni keluarga kecil-kecilan berupa pertemuan di rumah Tuaq Yup di Ampenan pada hari yang sama. Di Ampenan, kami; saya sekeluarga, Iwu sekeluarga dan Tuaq Yup, membicarakan hal-hal menyangkut keluarga, sebuah pembicaraan yang akrab dan langka, usai menyantap menu masakan desa: sambal beberuk timun mentah, plecing kangkung, sayur bening.

Saya teringat kejadian kecil. Dulu, sekitar tahun 2000 pertengahan, di Ampenan di rumah Tuaq Yup, saya, Fahmi, Ahmad Adib (alm. rekan saya dari Grobogan), Tuaq Yup sekeluarga berkumpul menyantap makan siang bersama. Ngobrol bersama selepas Jumat.

Saat itu, di sela obrolan kami, Fahmi melontarkan sebuah pikiran yang semula saya anggap pikiran main-main. Sebuah pikiran yang lahir dari perenungan hayali sebagai seorang mahasiswa jurusan Teknik Elektro di Universitas Mataram. Dia katakan bahwa kelak era penggunaan buku tulis dan papan tulis di sekolah, di bangku kuliah, akan berakhir. Digantikan dengan buku tulis dan papan tulis berteknologi komputerasi.

Kata-kata Iwu yang masih saya ingat: “Buku tulis di jaman nanti akan berupa sebuah komputer mini yang dapat ditenteng kemana-mana, dan layarnya dapat disentuh seperti pena menyentuh buku tulis.”

Setelah lahir generasi komputer tablet berlayar sentuh beberapa tahun baru-baru ini, dan digunakan oleh hampir setiap anak sekolahan dan anak kuliah, barulah saya teringat lagi kata-kata Fahmi sepuluhan tahun silam itu. !!!

Sakit

Kabar Fahmi sakit mula-mula saya ketahui dari melihat foto terbaru yang dia posting di FB dalam bulan Juni 2014, saat Pilpres berlangsung. Sebuah foto sehabis melakukan pencoblosan di TPS. Foto yang menampakkan wajah kurusnya karena sakit.

Yang agak mengejutkan adalah kabar yang datang kemudian dalam bulan Juli, kira-kira dalam pertengahan bulan puasa. Ibu di kampung memberitahu saya Iwu tengah berobat ke Tiongkok. Saya sempat mengontaknya melalui telepon yang diterima isterinya, Mbak Ayi. Beberapa saat kemudian Iwu berkirim SMS kepada saya (SMS ini masih tersimpat inbox HP saya) menurut tulisan aslinya: “Pye dab, tadi pagi telpon ya, kabarku uwapik2 dab,” SMS yang menyiratkan optimisme total, seolah-olah tak ada yang perlu dikuatirkan.

Ketika saya pulang kampung ke Lombok di hari lebaran, kami tidak bersua. Iwu masih di Tiongkok. Baru ketika enam hari berselang, saat saya akan kembali dari Lombok menuju Bali, selagi menunggu kapal di Pelabuhan Lembar, saya membuka-buka FB dan melihat status terbaru yang ditulis Iwu. Menurut status tersebut, ia mengabarkan sedang transit di Kulala Lumpur, dalam perjalanan pulang menuju Jakarta, sekembali dari Tiongkok.

Dua bulan setelah lebaran, dalam bulan September 2014, saya pulang ke Lombok, setelah mendapat kabar ayah sedang sakit. Pada saat itu, selama berada di Lombok, saya sempatkan pula menjenguk Iwu di perumahan belakang Biomedika Pagutan, kira-kira dalam tanggal 18 September 2014, menurut catatan harian saya. Saya ingin sekali mendapat cerita mengenai perjalanan berobatnya ke negeri Komunis moderen itu.

Beruntung saya bertemu. Penampilannya sungguh mengagetkan saya, sudah seratus persen berobah; dari sosok berbadan tegap dan gempal, kini hanya kulit dengan tulang-belulang yang menonjol.

“Alangkah parah penyakitmu ini” pikirku.

Dia ceritakan pada saya muasal penyakit yang dideritanya. Faktor sederhana penyebabnya. Keluhan-keluhan yang tak kunjung teratasi, karena mula-mula hanya dikira diare, maag, dan gangguan lambung biasa.

Iwu bercerita:

“Tidak puas dengan hasil check up di beberapa dokter, akhirnya saya mendatangi sebuah klinik yang secara khusus menangani penyakit dalam di Bali. Setelah Check up, barulah kelihatan hasilnya bahwa liver (hati) saya bermasalah. Kondisinya sudah parah. Tinggal sedikit saja yang masih berfungsi. Mula-mula dokter yang memeriksa saya agak keberatan memberitahu hasil check up tersebut. Saya katakan padanya bahwa saya siap menerima hasil check up, apapun itu. Begitu dokter memberitahu hasil, saya agak kaget dan bilang padanya; “…terimakasih dok, sudah memberitahu hasil ini. Saya akan terima. Saya akan panggil pihak keluarga saya untuk membicarakan langkah penanganan berikutnya…”

Dengan sikap saya yang sportif, si dokter balik terperangah;
“Owh! Bapak ini tentara ya (kata dokter).
Bukan dok, saya hanya buruh tambang.
Kata dokter lagi: Oh, dari tadi saya kira Bapak tentara. Bapak terlihat tabah dan berani. Sungguh… Baru kali ini saya berjumpa pasien seperti Bapak. Biasanya, kebanyakan dan hampir selalu, setiap pasien yang saya beritahu hasil check up dengan kondisi seperti Bapak, tidak begitu saja mau menerima. Ada yang shock dan langsung pingsan. Ada juga yang habis-habisan menangis. Karena sesungguhnya dari hasil ini, sudah dapat diprediksi bahwa Bapak tidak akan hidup lama lagi.”

Hasil check up di Bali itu jadi rujukan saya untuk berobat ke Cina (Tiongkok), lalu ke Singapur. Di Cina, hati saya dibekukan. Ada dua buah benda (besi) serupa lidi yang ditusukkan ke dada saya (sambil menunjukkan bekas tusukan itu) lantas lidi dari besi itu dihubungkan ke sebuah alat kontrol monitor dan didinginkan dengan suhu minus sekian ratus derajat, untuk mencegah pergerakan cepat sel sel kanker. Di rumah sakit di Cina tempat saya menjalani perawatan, banyak juga orang-orang kita (Indonesia) yang berobat dengan penyakit yang sama…

Seminggu lagi saya akan ke Jakarta, janji bertemu dengan seorang spesialis kanker hati dari Jepang, Profesor Tanaka namanya. Dia yang bakal ngasih rekomendasi, apakah saya harus transplantasi atau bagaimana.

///

Kira-kira satu jam lamanya saya mendengarkan cerita Iwu. Meski kondisi fisiknya sudah payah, tetapi suaranya masih tetap jernih. Bersemangat. Seperti orang yang tidak mengidap penyakit saja. Usai bercerita, dia tunjukkan pada saya dua butir pil berwarna ungu yang harus dia minum sekaligus setiap satu jam sekali selama masa kemoterapi. Satu butirnya seharga 400 ribu rupiah.

Hari makin sore. Sudah jam 5 lewat. Saya pamit. Itulah pembicaraan panjang terakhir saya dengan Iwu.


***

Kepergiannya sungguh merupakan kehilangan buat saya.

Di hari duka itu, diantara lafal tahlil yang dibacakan, diantara tangan-tangan yang sibuk menguruk liang tanah, entah oleh terabasan dari tangan siapakah diantara mereka, sepucuk daun muda dari sebuah pohon yang tumbuh di tempat pemakaman itu tercampak dan terjatuh begitu saja. Seolah bak isyarat dari daur kehidupan itu sendiri. Pada akhirnya, yang tua dan yang belia akan kembali pada-Nya jua.

Dua hari setelah pemakaman itu… ketika tanpa sengaja saya membaca ayat Al-Quran pada surah Ghofir di ayat 67 berbunyi sebuah peringatan yang membuat airmata saya bercucuran mengingat kepergian saudara-saudara dan sahabat-sahabatku tercinta.
“Dia-lah dzat yang telah menciptakan kamu sekalian (manusia) dari debu (turab), kemudian menjelma setetes air (nuthfah), kemudian menjelma gumpalan darah (‘alaqoh). Kemudian kamu dilahirkan dalam keadaan masih bayi. Kemudian Dia biarkan kamu hidup hingga dewasa, kemudian Dia biarkan kamu lagi hingga mencapai usia tua. Namun, diantara kalian (manusia), ada pula yang diwafatkan sebelum waktunya (ada pula yang dipanggil Allah sebelum berkerut kulit badannya, sebelum rabun pandangan mata, sebelum tumbuh rambut-rambut putih di kepala). Yang demikian ini sudah menjadi ketentuan (ajal) agar kalian memikirkannya.”


Dicatat di Lombok-Bali, 16-18 April 2015.
Catatan ini saya posting untuk mengenang 100 hari Iwu, untuk mengingat segala kebaikan-kebaikannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...