Di bulan Mei, angin bertiup lebih kencang menggeser letak dedaunan kering. Sesekali debu beterbangan seperti menampar-nampar wajah hinggap ke bola mataku.
Keadaan ini mengingatkan aku pada kenangan berpuluh tahun lalu: 1993, tahun pertamaku di tempat ini.
Di musim angin dan debu itu, penyakit mata dan kudis tengah mewabah, menjangkit bergiliran satu demi satu para santri.
Aku masih ingat bagaimana cuaca kering itu membuat pecah-pecah telapak kaki, dan terasa sangat perihnya saat kucelupkan ke dalam air.
Senja 9 Mei aku tiba di Pesantren Salafiyah Asembagus untuk memenuhi undangan perayaan 1 abad usia pesantren.
Hari beranjak gelap. Selepas shalat maghrib dan berziarah ke makam para pendiri pesantren, aku berjalan sendiri menelusur jalanan mencari warung nasi untuk memenuhi hajat perutku yang keroncongan.
Dari masjid itu, terdengar seorang ustad mendaras kitab kuning. Aku teringat guruku almarhum Ustadz Dhofir Jazuli, seorang guru tua dengan suara khas yang diselingi batuk-batuk pendek tempatku mengaji Kasyifatussaja' selepas maghrib.
Setelah berjalan-jalan, tak satupun warung nasi kutemukan buka pada jam itu. Toko-toko juga pada tutup. Di sebuah gang menuju pondok MQ (madrasatul quran) barulah aku jumpai warung setengah tutup. Dari pemilik warung ini aku temukan informasi berikut: bahwa sejak pesantren diasuh kiyai muda Ahmad Azaim, ada peraturan baru yang mengharuskan setiap toko atau tempat jual beli tutup pada jam antara maghrib dan isya'.
Malam itu, aku menginap di asrama di sebuah kamar bekas kamarku dulu: G-18. Keadaannya tak jauh beda. Deretan puluhan almari itu, baju-baju kucel yang menggantung, sebuah cermin dinding. Jumlah santri juga masih kira-kira sebanyak dulu, lebih sedikit saja. Hanya langit-langit kamar itu sudah berobah dengan plafon dan empat buah lampu di setiap sudutnya.
Di asrama keadaan sangat bising. Setelah sempat membaca biografi Kiyai Asad yang terpajang di rak buku, terutama di bagian Bab sekitar peristiwa Oktober 1965, aku berusaha memejam mata untuk menghilangkan penat. Tetapi suara gaduh itu mengganggu kenyamananku, hingga aku baru bisa terlelap selewat jam 12 malam.
Pada perayaan 1 abad itu saya diminta untuk menjadi tim penilai (juri) untuk lomba deklamasi semi teater, bersama Mas Faizi dari pesantren Guluk Guluk, Wika Setiawan seorang jurnalis dan pekerja teater dari Semarang, Mas Kun Tri Yoga pekerja teater dari Mojokerto dan yang lain (saya lupa nama mereka).
Dalam lomba yang berlangsung dua hari dua malam itu saya mendapat kesan bahwa kehidupan seni di pesantren mengalami kemajuan yang mengagumkan. Itu tampak dari kemampuan akting, intonasi vokal para peserta. Dalam catatan saya, ada dua hal yang kerap menganggu penampilan mereka, yakni set back latar panggung yang tak maksimal (karena diatur seadanya) dan musik pengiring (didominasi beberapa nomer musik Kitaro dan musik serupa sound track sinetron Korea) yang terasa sangat kurang pas dengan tema sajak yang dideklamasikan.
Beberapa judul sajak yang dibawakan peserta antara lain: Ibu, Alif -Pak D Zawawi Imron, Sajak sebatang Lesong -Rendra, Ini Rimba atau Negara -Zainul Walid, sajak Gus Mus, Wiji Tukul, hingga sajak Karawang-Bekasi Chairil Anwar. Selebihnya adalah sajak karangan peserta sendiri.
ZW
Di pesantren ini saya sudah lama mengenal seorang penyair; Zainul Walid, perintis dan pendiri sanggar seni Ikra dimana saya menjadi salah seorang anggota angkatan pertamanya di tahun 1997.
Mas Walid -demikian saya memanggilnya- adalah penyair yang setia pada takdirnya sebagai penyair. Ia masih rajin menulis sajak seperti saat saya baru mengenalnya bahkan jauh sebelum itu.
Tentang kepenyairan itu, saya masih ingat pada suatu ketika ia pernah bercerita pada saya. Konon ia bermimpi. Dalam mimpi itu Kiyai Asad tengah mengumpulkan seluruh santri di Aula. Para santri diminta membaca kitab kecuali kepada Mas Walid Kiai Asad berujar "Walid, ini kertas,, kamu tulis puisi saja."
Mimpi itu diceritakan pada saya saat saya masih baru saja menjadi anggota Ikra (sekarang Sanggar Cermin).
Begitulah, mimpi itu kemudian menjadi ijazah bagi ZW untuk meneruskan kebiasaan menulis sajak. Prinsip hidupnya terdengar sangat sederhana namun tegas: tiada hari tanpa puisi.
Saya teringat sajak pendeknya: Ketika hari tiada puisi,
Diriku ibarat peti mati,,
______
Dicatat di wisma tamu Pesantren Salafiyah Sukorejo Asembagus Jatim 12 Mei 2014.
Keadaan ini mengingatkan aku pada kenangan berpuluh tahun lalu: 1993, tahun pertamaku di tempat ini.
Di musim angin dan debu itu, penyakit mata dan kudis tengah mewabah, menjangkit bergiliran satu demi satu para santri.
Aku masih ingat bagaimana cuaca kering itu membuat pecah-pecah telapak kaki, dan terasa sangat perihnya saat kucelupkan ke dalam air.
Senja 9 Mei aku tiba di Pesantren Salafiyah Asembagus untuk memenuhi undangan perayaan 1 abad usia pesantren.
Hari beranjak gelap. Selepas shalat maghrib dan berziarah ke makam para pendiri pesantren, aku berjalan sendiri menelusur jalanan mencari warung nasi untuk memenuhi hajat perutku yang keroncongan.
Dari masjid itu, terdengar seorang ustad mendaras kitab kuning. Aku teringat guruku almarhum Ustadz Dhofir Jazuli, seorang guru tua dengan suara khas yang diselingi batuk-batuk pendek tempatku mengaji Kasyifatussaja' selepas maghrib.
Setelah berjalan-jalan, tak satupun warung nasi kutemukan buka pada jam itu. Toko-toko juga pada tutup. Di sebuah gang menuju pondok MQ (madrasatul quran) barulah aku jumpai warung setengah tutup. Dari pemilik warung ini aku temukan informasi berikut: bahwa sejak pesantren diasuh kiyai muda Ahmad Azaim, ada peraturan baru yang mengharuskan setiap toko atau tempat jual beli tutup pada jam antara maghrib dan isya'.
Malam itu, aku menginap di asrama di sebuah kamar bekas kamarku dulu: G-18. Keadaannya tak jauh beda. Deretan puluhan almari itu, baju-baju kucel yang menggantung, sebuah cermin dinding. Jumlah santri juga masih kira-kira sebanyak dulu, lebih sedikit saja. Hanya langit-langit kamar itu sudah berobah dengan plafon dan empat buah lampu di setiap sudutnya.
Di asrama keadaan sangat bising. Setelah sempat membaca biografi Kiyai Asad yang terpajang di rak buku, terutama di bagian Bab sekitar peristiwa Oktober 1965, aku berusaha memejam mata untuk menghilangkan penat. Tetapi suara gaduh itu mengganggu kenyamananku, hingga aku baru bisa terlelap selewat jam 12 malam.
Pada perayaan 1 abad itu saya diminta untuk menjadi tim penilai (juri) untuk lomba deklamasi semi teater, bersama Mas Faizi dari pesantren Guluk Guluk, Wika Setiawan seorang jurnalis dan pekerja teater dari Semarang, Mas Kun Tri Yoga pekerja teater dari Mojokerto dan yang lain (saya lupa nama mereka).
Dalam lomba yang berlangsung dua hari dua malam itu saya mendapat kesan bahwa kehidupan seni di pesantren mengalami kemajuan yang mengagumkan. Itu tampak dari kemampuan akting, intonasi vokal para peserta. Dalam catatan saya, ada dua hal yang kerap menganggu penampilan mereka, yakni set back latar panggung yang tak maksimal (karena diatur seadanya) dan musik pengiring (didominasi beberapa nomer musik Kitaro dan musik serupa sound track sinetron Korea) yang terasa sangat kurang pas dengan tema sajak yang dideklamasikan.
Beberapa judul sajak yang dibawakan peserta antara lain: Ibu, Alif -Pak D Zawawi Imron, Sajak sebatang Lesong -Rendra, Ini Rimba atau Negara -Zainul Walid, sajak Gus Mus, Wiji Tukul, hingga sajak Karawang-Bekasi Chairil Anwar. Selebihnya adalah sajak karangan peserta sendiri.
ZW
Di pesantren ini saya sudah lama mengenal seorang penyair; Zainul Walid, perintis dan pendiri sanggar seni Ikra dimana saya menjadi salah seorang anggota angkatan pertamanya di tahun 1997.
Mas Walid -demikian saya memanggilnya- adalah penyair yang setia pada takdirnya sebagai penyair. Ia masih rajin menulis sajak seperti saat saya baru mengenalnya bahkan jauh sebelum itu.
Tentang kepenyairan itu, saya masih ingat pada suatu ketika ia pernah bercerita pada saya. Konon ia bermimpi. Dalam mimpi itu Kiyai Asad tengah mengumpulkan seluruh santri di Aula. Para santri diminta membaca kitab kecuali kepada Mas Walid Kiai Asad berujar "Walid, ini kertas,, kamu tulis puisi saja."
Mimpi itu diceritakan pada saya saat saya masih baru saja menjadi anggota Ikra (sekarang Sanggar Cermin).
Begitulah, mimpi itu kemudian menjadi ijazah bagi ZW untuk meneruskan kebiasaan menulis sajak. Prinsip hidupnya terdengar sangat sederhana namun tegas: tiada hari tanpa puisi.
Saya teringat sajak pendeknya: Ketika hari tiada puisi,
Diriku ibarat peti mati,,
______
Dicatat di wisma tamu Pesantren Salafiyah Sukorejo Asembagus Jatim 12 Mei 2014.
Komentar