Untuk Sobatku Ibnul A'robi yang telah mendahului kami.
Dering handphone berbunyi beberapa kali. Saya tak mengindahkan. Pada bunyi berikutnya saya baru mengangkatnya dan mendengar suara Mbak Ainul jauh dari seberang: "Sam, Innalillahi wa innailaihi rojiun, Aak sudah pergi Sam, beberapa menit yang lalu.... Tolong kabari rekan-rekan...."
Mendengar kabar mendadak itu, saya menundukkan kepala dan terisak beberapa saat.
Lebih dari tiga bulan lalu, saya mendapat kabar sobat Arobi mendapat perawatan di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Sekeluar dari RS, kami sempat bertukar kabar via BBM. Ia menjelaskan jenis penyakit yang diderita dan sudah dalam tahap penyembuhan.
Suatu ketika, rekanku Ahmad Nurhasyim (jurnalis Koran Tempo) mengontak saya dan membicarakan tentang beberapa isu yang konon akan diangkat sebagai berita investigatif untuk media tempatnya bekerja. Dalam pembicaraan itu Hasyim menyinggung soal kesehatan sobat Arobi.
Kira-kira tiga minggu lalu, Mas Aris Fauzan (kakak ipar sobat Arobi) juga mengontak saya dan membicarakan hal-hal kecil, termasuk mengenai kesehatan sobat Arobi. Mas Aris sempat cerita; sekeluar dari menjalani perawatan di RSPP, Aak kembali masuk kerja, tapi kondisi kesehatannya tak jua membaik.
Hari Rabu 12 Februari, dua hari lalu, dalam perjalanan dari Lombok ke Bali, mendekati pelabuhan penyeberangan Lembar, entah diawali dengan pembicaraan apa, saya bercerita kepada istri saya tentang sebuah sepatu baru yang saya beli di Mirota Kampus Jogja sekira tahun 2002 silam.
Cerita saya kepada istri saya: "Masih baru beli, sepatu itu saya kenakan dalam perjalanan dari Jogja ke Rembang bersama sobatku Robi yg sekarang wartawan di Jakarta..."
Begitulah saya memulai cerita kepada istri saya tentang sepatu baru itu dan kenangan berdua bersama sobat Arobi saat menempuh perjalanan di sebuah pedesaan di Rembang sejauh 7 kilo jalan kaki dengan sepatu yang masih baru yang tentu saja membuat kaki saya berlumuran lecet.. (Kini, sepatu itu masih kusimpan di rak sepatu di pojok rumah).
***
Saya berkenalan dengan sobat Arobi pada hari ke lima di sebuah asrama di Pesantren Wahid Hasyim Gaten Yogya, saat kami sama-sama baru terdaftar sebagai calon mahasiswa di Kampus IAIN (sekarang UIN Jogja).
Di kemudian hari, ia ternyata menjadi rekan satu kelas saya di fakultas. Ia juga menjadi rekan seperjuangan saya di majalah mahasiswa.
Perkenalan saya dengan sobat Arobi membuka jalan bagi saya ke dunia aktivisme. Dunia yang baru bagi saya. Dunia yang bebas dan luas, yang membuat kami tak sekedar menjadi mahasiswa dengan kegiatan melulu duduk manis di bangku kuliah.
Memasuki bulan ketiga menjadi mahasiswa baru, sobat Arobi mengajakku ikut dalam sebuah pelatihan kepemimpinan mahasiswa yang diadakan oleh Keluarga Mahasiswa UGM di Pondok Pemuda Bantul. Kami -saya, Arobi, Mahrus Ali dan Ahmad Adib (alm.)- turut serta dalam kegiatan tiga hari tiga malam itu dan untuk sementara meninggalkan bangku kuliah reguler.
Dia pula yang mengajak kami mengikuti kegiatan training advokasi di Kampus UGM, pada bulan ke empat menjadi mahasiswa baru.
Sobat Arobi pula yang mengajakku bergabung berkecimpung dalam kegiatan penerbitan mahasiswa dengan menjadi anggota majalah mahasiswa (advokasia).
Di pesantren Wahid Hasyim kami menempati sebuah kamar dengan penghuni sebanyak 18 mahasiswa yang kesemuanya baru. Untuk lebih lengkapnya saya ingin mengingat nama rekan-rekan saya itu..: Saya sendiri (Lombok), Ibnul Arobi, Mustatho (Tuban), Ahmad Adib (Grobogan), Khozin (Lampung), Mahrus Ali (Madiun), Syarwani (Jakarta), Diki Hermawan (Banten), M. Daud (Magelang), M Nur (Kaltim), M. Makhtum (Subang), Nur Yadin (Magelang) M. Tohir, Amin Solihin, Didi Ahmadi (Cirebon), Syamsudin (Sleman).
Di asrama, saya dan Arobi kerap bertukar pikiran. Kadang-kadang kami juga membicarkan hal-hal pribadi dengannya (curhat). Saya banyak mengambil contoh darinya dalam hal kegemaran menyisihkan uang belanja demi mengoleksi buku-buku.
Cara berpikirnya adalah cara pandang yang kosmopolit. Ia sangat rasional tetapi juga percaya kepada kejadian-kejadian magis. Suatu ketika, ia mengajakku pergi menemui seorang guru spiritual yang tinggal di sebuah perkampungan di Ambarawa Jawa Tengah. Konon, cerita Arobi, guru itu kerap menjumpainya dalam mimpi.
Di rumah guru spiritual itu, kami menginap dua hari satu malam. Kami tak melakukan kegiatan apa-apa kecuali pada suatu siang saya diajak mencari rumput untuk beberapa ekor kambing piaraan milik guru spiritual itu.
***
Kenangan lain lagi mengenai sepatu baru dan perjalanan ke Rembang. Rapat redaksi majalah menugaskan saya dan kawan Robi untuk pergi ke rembang. Sisanya blusukan di kampung pesisir di Lamongan. Karena tema bahasan majalah kami seputar pesisir.
Saya dan Arobi membuat janji untuk bertemu dan tinggal selama di Rembang di rumah seorang kawan satu wadah, Muchroz Mawardi. Dia bilang pada kami, "jarak rumahnya dengan pantai utara (Pantura) tak seberapa jauh. Sangat dekat."
Pada jam 8 pagi, dari Jogja, saya dan Arobi berangkat menuju Rembang. Perjalanan kami dengan bus dari Jogja-Semarang, kemudian jurusan Semarang-Rembang sangat melelahkan. Tiba di pertigaan Pandangan hari telah gelap. Jam menunjuk pukul 8. Kami sempatkan mampir di sebuah pondok pesantren kecil untuk istirahat sejenak dan sembahyang. Sesuai petunjuk kawan Muchroz, kami harus ke selatan untuk sampai alamat termaksud.
Usai shalat isya, kami melanjutkan perjalanan. Malam, tak ada kendaraan pedesaan lewat. Kepada beberapa orang yang berkumpul di sebuah pos jaga kami bertanya: "Masih jauhkah Pasar Gandrik kecamatan Sedan dari sini?" Orang-orang di pos jaga itu menjawab "Kira-kira sembilan kilo lagi, Mas....??!" Mereka menyarankan agar kami melanjutkan perjalanan esok pagi karena malam hari sudah tak ada kendaraan.
Mendengar kata-kata sembilan kilo lagi, saya dan kawan Robi sedikit terperangah. "Jarak segitu dibilang dekat...!??"
Waktu itu belum ada handphone. Kami tidak dapat mengontak kawan Muchroz dan memintanya menjemput kami ke jalan raya besar. Jadilah kami mengambil sikap nekat. Jalan kaki..!!
Sepatu yang menempel di kedua kakiku adalah sepatu baru yang baru dua hari lalu saya beli di Mirota Kampus. Dengan sepatu berat dan kaku itu saya berjalan sejauh hampir 7 kilo. Tahulah apa jadinya kedua telapak kaki saya. Bengkak dan lecet lecet.
Beruntung dalam perjalanan itu, ada orang yang kebetulan lewat dan mengenal kami sebagai kawan dari Muchroz. Dialah yang mengantar kami sampai tujuan.
***
Pada tahun 2008, usai lebaran, Sobat Robi mengajak saya ke Jakarta, meminta saya untuk menerima sebuah lowongan menjadi tenaga penyunting berita pada projek PSO LKBN Antara.
Awalnya, saya ditugaskan di Bogor. Hari-hari pertama di Bogor adalah hari-hari dengan kantong kosong. Uang sakuku sudah habis untuk ongkos tiket bus kota dari Surabaya - Jakarta. Sobat Arobi lah yang berbaik hati meminjamkan sejumlah uang secukupnya untuk makan sehari-hari.
Saat tinggal di Bogor, saya beberapa kali mengunjungi Kawan Robi di Jakarta. Dia yang pada suatu pagi mengantar saya pergi ke sebuah pusat perbelanjaan (mall) saat saya berniat mengganti handphone karena handphone saya rusak. Di mall itu (saya sudah lupa di bilangan mana) saya membeli handphone Nokia 1200 seharga 320 ribu dari uang gaji pertama saya. (Handphone ini masih saya pakai sampai hari ini dan belum pernah ganti).
Beberapa bulan berselang, saya dipindah ke Jakarta. Dua bulan sebelum itu, Sobat Robi juga pindah kos yang semula dari Ulujami ke sekitar stasiun Cawang, dengan alasan keluarga istrinya lebih dekat di Cawang. Apalagi saat itu, kondisi istri kawan Robi (Selvia Jaflaun (almarhumah)- sudah tampak sakit sakitan.
Beruntung, tempat tinggal saya yang baru tak terlalu jauh dari tempat kos kawan Arobi. Saya tinggal di Tebet Timur yang jaraknya hanya 10 menit perjalanan angkot ke stasiun Cawang.
Kepindahan ini (baik kepindahan sobat Robi dari Ulujami ke Cawang, dan kepindahan saya dari Bogor ke Tebet Timur) seperti sudah menjadi rencana Tuhan yang kuasa.
Tahun baru 2009 adalah tahun baru yang tidak terlupakan. Malam itu, kawan Arobi mengajak saya merayakan tahun baru di Pantai Ancol bersama rombongan wartawan Balai Kota, dan rombongan pejabat daerah DKI termasuk Pak Gubernur, Bang Foke.
Lewat jam 12 setelah perayaan itu, kami tertidur di Press Room. Baru pada sekitar jam 4 pagi kami pulang ke Cawang.
Hari-hari berikutnya di tahun yang baru itu, adalah hari-hari duka bagi Sobat Arobi. Isterinya, Selvia, meninggal dunia pada pertengahan bulan itu (Lihat catatan saya pada halaman lain blog ini: Saat Angin Meniup Daun Pohon Palma). Ia meninggalkan seorang anak, Najwa, yang baru berusia 6 bulan.
***
Terakhir saya berjumpa kawan Robi pada sekitar Juni 2010. Tahun itu saya sudah tidak lagi di Jakarta. Kawan Robi mengabarkan pada saya ada lowongan untuk sebuah koran lama yang sempat tutup dan akan terbit lagi dan butuh tenaga redaktur. Tanpa pikir panjang, seminggu kemudian saya ke Jakarta.
Singkat kata, harian itu tak jadi terbit lagi. Saya menghabiskan waktu buat jalan jalan saja di Jakarta. Saat itu, wartawan Balaikota DKI punya acara yang diadakan di Pantai Anyer. Kawan Robi mengajak saya dalam acara itu. Setidaknya buat jalan-jalan.
Karena koran dimaksud tak jadi terbit (dengan dalih beberapa investor urung membiayai), saya pun meninggalkan Jakarta dan kembali ke kampung.
Setelah itu, komunikasi saya dengan kawan Robi berlangsung lewat Fb, telepon, SMS, dan terakhir BBM.
Komunikasi via BBM saat ia mengabarkan penyakitnya itu adalah kontak terkahir saya.
Pagi tadi kabar duka itu datang tiba-tiba. Saya tak menyangka ini. Saya menundukkan kepala dan terisak. Langit di atasku tampak mendung. Hujan turun sejam kemudian.
Kawan saya yang baik itu telah pergi selamanya..!!! Sungguh, persahabatan ini tak akan berakhir di sini..!!!
Bali, 14 Februari 2014.
Dering handphone berbunyi beberapa kali. Saya tak mengindahkan. Pada bunyi berikutnya saya baru mengangkatnya dan mendengar suara Mbak Ainul jauh dari seberang: "Sam, Innalillahi wa innailaihi rojiun, Aak sudah pergi Sam, beberapa menit yang lalu.... Tolong kabari rekan-rekan...."
Mendengar kabar mendadak itu, saya menundukkan kepala dan terisak beberapa saat.
Lebih dari tiga bulan lalu, saya mendapat kabar sobat Arobi mendapat perawatan di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Sekeluar dari RS, kami sempat bertukar kabar via BBM. Ia menjelaskan jenis penyakit yang diderita dan sudah dalam tahap penyembuhan.
Suatu ketika, rekanku Ahmad Nurhasyim (jurnalis Koran Tempo) mengontak saya dan membicarakan tentang beberapa isu yang konon akan diangkat sebagai berita investigatif untuk media tempatnya bekerja. Dalam pembicaraan itu Hasyim menyinggung soal kesehatan sobat Arobi.
Kira-kira tiga minggu lalu, Mas Aris Fauzan (kakak ipar sobat Arobi) juga mengontak saya dan membicarakan hal-hal kecil, termasuk mengenai kesehatan sobat Arobi. Mas Aris sempat cerita; sekeluar dari menjalani perawatan di RSPP, Aak kembali masuk kerja, tapi kondisi kesehatannya tak jua membaik.
Hari Rabu 12 Februari, dua hari lalu, dalam perjalanan dari Lombok ke Bali, mendekati pelabuhan penyeberangan Lembar, entah diawali dengan pembicaraan apa, saya bercerita kepada istri saya tentang sebuah sepatu baru yang saya beli di Mirota Kampus Jogja sekira tahun 2002 silam.
Cerita saya kepada istri saya: "Masih baru beli, sepatu itu saya kenakan dalam perjalanan dari Jogja ke Rembang bersama sobatku Robi yg sekarang wartawan di Jakarta..."
Begitulah saya memulai cerita kepada istri saya tentang sepatu baru itu dan kenangan berdua bersama sobat Arobi saat menempuh perjalanan di sebuah pedesaan di Rembang sejauh 7 kilo jalan kaki dengan sepatu yang masih baru yang tentu saja membuat kaki saya berlumuran lecet.. (Kini, sepatu itu masih kusimpan di rak sepatu di pojok rumah).
***
Saya berkenalan dengan sobat Arobi pada hari ke lima di sebuah asrama di Pesantren Wahid Hasyim Gaten Yogya, saat kami sama-sama baru terdaftar sebagai calon mahasiswa di Kampus IAIN (sekarang UIN Jogja).
Di kemudian hari, ia ternyata menjadi rekan satu kelas saya di fakultas. Ia juga menjadi rekan seperjuangan saya di majalah mahasiswa.
Perkenalan saya dengan sobat Arobi membuka jalan bagi saya ke dunia aktivisme. Dunia yang baru bagi saya. Dunia yang bebas dan luas, yang membuat kami tak sekedar menjadi mahasiswa dengan kegiatan melulu duduk manis di bangku kuliah.
Memasuki bulan ketiga menjadi mahasiswa baru, sobat Arobi mengajakku ikut dalam sebuah pelatihan kepemimpinan mahasiswa yang diadakan oleh Keluarga Mahasiswa UGM di Pondok Pemuda Bantul. Kami -saya, Arobi, Mahrus Ali dan Ahmad Adib (alm.)- turut serta dalam kegiatan tiga hari tiga malam itu dan untuk sementara meninggalkan bangku kuliah reguler.
Dia pula yang mengajak kami mengikuti kegiatan training advokasi di Kampus UGM, pada bulan ke empat menjadi mahasiswa baru.
Sobat Arobi pula yang mengajakku bergabung berkecimpung dalam kegiatan penerbitan mahasiswa dengan menjadi anggota majalah mahasiswa (advokasia).
Di pesantren Wahid Hasyim kami menempati sebuah kamar dengan penghuni sebanyak 18 mahasiswa yang kesemuanya baru. Untuk lebih lengkapnya saya ingin mengingat nama rekan-rekan saya itu..: Saya sendiri (Lombok), Ibnul Arobi, Mustatho (Tuban), Ahmad Adib (Grobogan), Khozin (Lampung), Mahrus Ali (Madiun), Syarwani (Jakarta), Diki Hermawan (Banten), M. Daud (Magelang), M Nur (Kaltim), M. Makhtum (Subang), Nur Yadin (Magelang) M. Tohir, Amin Solihin, Didi Ahmadi (Cirebon), Syamsudin (Sleman).
Di asrama, saya dan Arobi kerap bertukar pikiran. Kadang-kadang kami juga membicarkan hal-hal pribadi dengannya (curhat). Saya banyak mengambil contoh darinya dalam hal kegemaran menyisihkan uang belanja demi mengoleksi buku-buku.
Cara berpikirnya adalah cara pandang yang kosmopolit. Ia sangat rasional tetapi juga percaya kepada kejadian-kejadian magis. Suatu ketika, ia mengajakku pergi menemui seorang guru spiritual yang tinggal di sebuah perkampungan di Ambarawa Jawa Tengah. Konon, cerita Arobi, guru itu kerap menjumpainya dalam mimpi.
Di rumah guru spiritual itu, kami menginap dua hari satu malam. Kami tak melakukan kegiatan apa-apa kecuali pada suatu siang saya diajak mencari rumput untuk beberapa ekor kambing piaraan milik guru spiritual itu.
***
Kenangan lain lagi mengenai sepatu baru dan perjalanan ke Rembang. Rapat redaksi majalah menugaskan saya dan kawan Robi untuk pergi ke rembang. Sisanya blusukan di kampung pesisir di Lamongan. Karena tema bahasan majalah kami seputar pesisir.
Saya dan Arobi membuat janji untuk bertemu dan tinggal selama di Rembang di rumah seorang kawan satu wadah, Muchroz Mawardi. Dia bilang pada kami, "jarak rumahnya dengan pantai utara (Pantura) tak seberapa jauh. Sangat dekat."
Pada jam 8 pagi, dari Jogja, saya dan Arobi berangkat menuju Rembang. Perjalanan kami dengan bus dari Jogja-Semarang, kemudian jurusan Semarang-Rembang sangat melelahkan. Tiba di pertigaan Pandangan hari telah gelap. Jam menunjuk pukul 8. Kami sempatkan mampir di sebuah pondok pesantren kecil untuk istirahat sejenak dan sembahyang. Sesuai petunjuk kawan Muchroz, kami harus ke selatan untuk sampai alamat termaksud.
Usai shalat isya, kami melanjutkan perjalanan. Malam, tak ada kendaraan pedesaan lewat. Kepada beberapa orang yang berkumpul di sebuah pos jaga kami bertanya: "Masih jauhkah Pasar Gandrik kecamatan Sedan dari sini?" Orang-orang di pos jaga itu menjawab "Kira-kira sembilan kilo lagi, Mas....??!" Mereka menyarankan agar kami melanjutkan perjalanan esok pagi karena malam hari sudah tak ada kendaraan.
Mendengar kata-kata sembilan kilo lagi, saya dan kawan Robi sedikit terperangah. "Jarak segitu dibilang dekat...!??"
Waktu itu belum ada handphone. Kami tidak dapat mengontak kawan Muchroz dan memintanya menjemput kami ke jalan raya besar. Jadilah kami mengambil sikap nekat. Jalan kaki..!!
Sepatu yang menempel di kedua kakiku adalah sepatu baru yang baru dua hari lalu saya beli di Mirota Kampus. Dengan sepatu berat dan kaku itu saya berjalan sejauh hampir 7 kilo. Tahulah apa jadinya kedua telapak kaki saya. Bengkak dan lecet lecet.
Beruntung dalam perjalanan itu, ada orang yang kebetulan lewat dan mengenal kami sebagai kawan dari Muchroz. Dialah yang mengantar kami sampai tujuan.
***
Pada tahun 2008, usai lebaran, Sobat Robi mengajak saya ke Jakarta, meminta saya untuk menerima sebuah lowongan menjadi tenaga penyunting berita pada projek PSO LKBN Antara.
Awalnya, saya ditugaskan di Bogor. Hari-hari pertama di Bogor adalah hari-hari dengan kantong kosong. Uang sakuku sudah habis untuk ongkos tiket bus kota dari Surabaya - Jakarta. Sobat Arobi lah yang berbaik hati meminjamkan sejumlah uang secukupnya untuk makan sehari-hari.
Saat tinggal di Bogor, saya beberapa kali mengunjungi Kawan Robi di Jakarta. Dia yang pada suatu pagi mengantar saya pergi ke sebuah pusat perbelanjaan (mall) saat saya berniat mengganti handphone karena handphone saya rusak. Di mall itu (saya sudah lupa di bilangan mana) saya membeli handphone Nokia 1200 seharga 320 ribu dari uang gaji pertama saya. (Handphone ini masih saya pakai sampai hari ini dan belum pernah ganti).
Beberapa bulan berselang, saya dipindah ke Jakarta. Dua bulan sebelum itu, Sobat Robi juga pindah kos yang semula dari Ulujami ke sekitar stasiun Cawang, dengan alasan keluarga istrinya lebih dekat di Cawang. Apalagi saat itu, kondisi istri kawan Robi (Selvia Jaflaun (almarhumah)- sudah tampak sakit sakitan.
Beruntung, tempat tinggal saya yang baru tak terlalu jauh dari tempat kos kawan Arobi. Saya tinggal di Tebet Timur yang jaraknya hanya 10 menit perjalanan angkot ke stasiun Cawang.
Kepindahan ini (baik kepindahan sobat Robi dari Ulujami ke Cawang, dan kepindahan saya dari Bogor ke Tebet Timur) seperti sudah menjadi rencana Tuhan yang kuasa.
Tahun baru 2009 adalah tahun baru yang tidak terlupakan. Malam itu, kawan Arobi mengajak saya merayakan tahun baru di Pantai Ancol bersama rombongan wartawan Balai Kota, dan rombongan pejabat daerah DKI termasuk Pak Gubernur, Bang Foke.
Lewat jam 12 setelah perayaan itu, kami tertidur di Press Room. Baru pada sekitar jam 4 pagi kami pulang ke Cawang.
Hari-hari berikutnya di tahun yang baru itu, adalah hari-hari duka bagi Sobat Arobi. Isterinya, Selvia, meninggal dunia pada pertengahan bulan itu (Lihat catatan saya pada halaman lain blog ini: Saat Angin Meniup Daun Pohon Palma). Ia meninggalkan seorang anak, Najwa, yang baru berusia 6 bulan.
***
Terakhir saya berjumpa kawan Robi pada sekitar Juni 2010. Tahun itu saya sudah tidak lagi di Jakarta. Kawan Robi mengabarkan pada saya ada lowongan untuk sebuah koran lama yang sempat tutup dan akan terbit lagi dan butuh tenaga redaktur. Tanpa pikir panjang, seminggu kemudian saya ke Jakarta.
Singkat kata, harian itu tak jadi terbit lagi. Saya menghabiskan waktu buat jalan jalan saja di Jakarta. Saat itu, wartawan Balaikota DKI punya acara yang diadakan di Pantai Anyer. Kawan Robi mengajak saya dalam acara itu. Setidaknya buat jalan-jalan.
Karena koran dimaksud tak jadi terbit (dengan dalih beberapa investor urung membiayai), saya pun meninggalkan Jakarta dan kembali ke kampung.
Setelah itu, komunikasi saya dengan kawan Robi berlangsung lewat Fb, telepon, SMS, dan terakhir BBM.
Komunikasi via BBM saat ia mengabarkan penyakitnya itu adalah kontak terkahir saya.
Pagi tadi kabar duka itu datang tiba-tiba. Saya tak menyangka ini. Saya menundukkan kepala dan terisak. Langit di atasku tampak mendung. Hujan turun sejam kemudian.
Kawan saya yang baik itu telah pergi selamanya..!!! Sungguh, persahabatan ini tak akan berakhir di sini..!!!
Bali, 14 Februari 2014.
Komentar