Langsung ke konten utama

PRJ Tanpa Kerak Telor

Dalam bulan Juni 2010 silam, saya berkesempatan jalan jalan di arena Pekan Raya Jakarta (PRJ) atau Jakarta Fair.

Dengan bus transjakarta saya meluncur dari Harmoni ke Senen, trus ke jurusan Ancol dan turun di Jembatan Merah. Dari Jembatan Merah naik oplet ke Kemayoran tempat PRJ dihelat saban tahun.

Hari masih terlalu siang saat saya tiba di arena PRJ, sekitar jam 2 siang. Loket penjual tiket belum lagi buka.

Siang yang terik dan udara Jakarta yang panas membuat tenggorokan saya berteriak minta minum.

Beruntung ada pedagang kelapa muda di sisi jalan di luar arena PRJ, dan kesana lah saya mampir, sembari mencari tau jam berapa loket PRJ buka. Maklum ini pertamakali saya ke PRJ.

Tak sabar tenggorokan kering, satu butir kelapamuda ludes. Terasa pulih sudah tenggorokan ini.

Pada sekitar jam 4 lewat barulah loket penjualan tiket PRJ buka. Pengunjungnya luar biasa ramai. Tempat parkir kendaraan yang luas hampir semua terisi. Dan saya termasuk salah satu pengunjung yang paling awal masuk hari itu. :)

Masuk ke arena PRJ serasa berada di sebuah pasar, di sebuah tempat belanja, lebih mirip lagi di sebuah mall. Suasana di dalam arena mirip di mall. Oyaaa !?

Beragam barang dipamer untuk dijual. Stand-stand berderet memamerkan aneka produk: mulai dari meubel, pakaian, sepeda, mobil, komputer, handphone, aneka jajanan kue dan roti, aneka minuman-minuman kemasan pabrik yang biasa ramai diiklankan di tv. Pokoknya, sama seperti semua jenis barang yang ada di mall. Di salah satu sudut, sebuah panggung konser yang lebar berdiri tempat manggung artis-artis populer yang disediakan untuk meramaikan pameran.

Saya tak habis terheran-heran, karena tak satupun menjumpai segelintir ragam produk berupa pakaian atau penganan yang khas Jakarta. Lebih spesifik: yang khas Betawi. Tak ada!

Dan saya bertanya-tanya dalam hati: Sudah hilangkah nuansa Betawi dari langit Jakarta yang penuh polusi?

Di tempat yang ramai dan bising itu, dimana setiap para pejalan kakinya sibuk dengan gadget di tangan masing-masing, saya tersadar apa arti Jakarta sebagai sebuah kota besar; megapolitan.

Jakarta sebagai ibukota milik anak-anak dari semua bangsa (bukan hanya Betawi semata).

Jakarta sebagai kota yang plural, yang sanggup merangkul siapa saja, dari latar belakang mana saja.

Jakarta yang tak hanya melahirkan Forum Betawi Rempug, tapi juga beragam forum dan komunitas apa saja.

Inilah Jakarta yang global.

Akan tetapi, di arena PRJ saya menyaksikan sebuah ironi yang memukul batin saya.

Seharusnya, ketika globalisme merambah, ada semacam naluri bagi pemilik identitas absah (Betawi) mempertahankan kekuatan identitasnya dalam rupa apa saja; fashion, food.

Di arena PRJ saya tak menjumpai Bir Pletok disuguhkan. Saya tak melihat kesederhanaan Kerak Telor dipamerkan. Saya tak menyaksikan pertunjukan Tanjidor ataupun Kerontjong Toegoe yang legendaris itu.

Saya tak menjumpai macam-macam khas makanan Betawi tempo doeloe yang barangkali sudah mulai dilupakan nama dan rasanya oleh generasi masakini.

Tujuan utama saya ke PRJ padahal hanya untuk mengobati penasaran: pengen tahu apa saja jenis jenis makanan dan minuman orang Betawi masa lalu sejak jaman VOC, disamping kerak telor dan bir pletok.

Yang saya saksikan adalah mobil bermerk, motor matic terbaru, komputer terbaru, HP terbaru, Pizza Hurt, Roti Boy, Kong Guan, Coca cola dan fanta dan minuman bersoda lainnya. Dan masih banyak lagi beragam barang yang sudah biasa kita jumpai sehari-hari di warung atau di toko di samping rumah kita...!

Sudah hampir dua jam saya berputar putar di arena PRJ yang luas itu. Hari telah mulai petang. Azan magrib sudah tadi terdengar sayup sayup. Perut saya terasa kosong. Kedua kaki saya terasa lunglai. Lebih lebih perasaan hati saya yang lunglai karena tak menjumpai apa yang saya harap bisa saya jumpai di PRJ.

Saya memutar langkah mencari pintu keluar dari arena PRJ. Terakhir saya sempatkan mampir di sebuah stand yang menjual kacang atom, camilan kesukaan saya. Saya membeli sebungkus agar mulut ini berhenti mendesis kesal.

Di luar hari telah gelap. Suasana lebih sepi dibanding ingar bingar di dalam arena PRJ. Saya berjalan sendiri di tengah lalulalang para pengunjung.

Tiba di jalan besar, saya terduduk di sudut sebuah halte yang gelap, sambil menunggu oplet menuju Jembatan Merah. Agak sedikit lama menunggu, sebab malam hari sedikit oplet yang masih jalan.

Saat terduduk itulah lewat di hadapan saya seorang pedagang kerak telor dengan lampu teplok yang mungil.

Mengetahui pedagang kerak telor, saya memintanya berhenti.

"Bang, kerak telornya, satu," kata saya.

Pedagang kerak telor mendekat.

Setelah saya perhatikan dari lampu kecil yang menerangi wajahnya, Pedagang kerak telor berpenampilan lengkap dengan peci hitam dan sarung yang melingkar di pundak itu rupanya seorang anak yang mungkin baru tamat SMP. Tapi, saya tak sempat bertanya tanya basa basi karena terlalu letih.

Saya hanya melihat keterampilan si pembuat kerak telor mengolah adonan di atas wajan kecilnya.

Setelah satu kerak telor selesai dibuat, saya menyerahkan selembar uang sepuluhribu, dan pedagang kerak telor itupun berlalu meninggalkan saya.

Sambil menggigit bagian pinggir kerak telor yang masih hangat, saya menyaksikan pedagang itu memanggul gerobak jualannya berjalan menjauh di tengah siraman temaram lampu kota.

Dada saya terasa sesak. Dan hampir hampir airmata saya terasa mau tumpah.

"Seharusnya ia berada di dalam arena (PRJ) tadi. Dialah yang paling punya hak istimewa untuk ditempatkan di salah satu stand PRJ," pikirku.

Memang, tak ada yang istimewa dari segi rasa. Kerak telor adalah selera masalalu yang masih dipertahankan oleh segelintir pedagang kecil yang berharap akan masih ada lidah yang menyukai kekhasan masa lalu Betawi.

Di luar persoalan rasa, Kerak Telor adalah sebuah identitas, sebuah profil. Ia hadir di hadapan kita dengan segala atribut nostalgis a la Betawi. Perhatikan bagaimana pedagangnya berpenampilan; dengan peci dan sarung yang melingkar pundak, dengan pantalon kombrang, dengan dua gerobak kecil yang dipanggul.

Inilah profil Betawi yang tersisih itu..!


Catatan:
Tulisan ini saya buat setelah membaca berita Wagub DKI Bang Ahok prihatin atas fenomena PRJ yang tak seruangpun memberi tempat untuk menghadirkan dan memamerkan masa lalu Betawi di arena pameran tahunan itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...