Dimana-mana umat muslim sangat gemar membangun masjid. Ukuran bangunannya terkadang tak kepalang tanggung. Kebanyakan maunya lebih dari satu lantai. Dana yang diperlukan untuk memenuhi harapan membangun itu sudah pasti jauh melebihi kemampuan sumber dana masyarakatnya sendiri.
Maka tak jarang saya menjumpai bangunan masjid yang setengah jadi. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk merampungkan seratus persen.
Itupun bergantung pada ketekunan pengurus masjid mencari dana ditambah kejujuran mengelola. Jika sebaliknya, maka bangunan masjid yang setengah jadi itulah hasilnya.
Tak jarang dalam sebuah himpunan jamaah yang tengah bersama-sama menyelesaikan pembangunan masjid, timbul friksi, selisih pendapat dan pendirian, yang pada akhirnya memunculkan gosip dan fitnah antar sesama. Ini kejadian yang lazim dimana saja.
(Beda kali ya, jika yang bangun masjid itu satu orang kaya raya yang tidak butuh kepanitiaan dan sanggup merogoh kocek pribadi untuk bikin masjid
..)
Masjid tetaplah masjid, bangunan yang terasing diantara laju kehidupan masyarakat di sekitarnya. Ia tak punya peran apa-apa kecuali sebagai tempat berlabuh mencari pertobatan para warga lanjut usia.
Dulu sekali, saya punya pandangan arsitektur lain soal bangunan masjid. Kalau kita mau bikin masjid, bikin yang kecil-kecil saja, sesuaikan dengan kemampuan sumber dana masyarakat.
Desain seindah mungkin, tak perlu kaca (seperti masjid kampus UGM Yogya yang tak memerlukan kaca di sekitarnya), biarkan terbuka, cukup sisakan ruang kecil di dalamnya untuk menyimpan alat-alat masjid.
Tak perlu dua lantai atau lebih, perluas halamannya, jadikan halaman luasnya itu sebagai taman taman indah, dan sisakan ruas untuk parkir kendaraan.
Usahakan taman-taman itu dapat dimanfaatkan sebagai tempat shalat jika masjid penuh saat shalat Jumat dan shalat hari raya.
Bangunan masjid yang mungil dengan taman indah di sekelilingnya belum pernah saya jumpai.
Selalu saja dimana-mana bangunan masjid dibikin besar-besar, meski dalam kenyataannya, jamaah yang datang rutin shalat lima waktu tak lebih dari satu baris saja...!!
Maka tak jarang saya menjumpai bangunan masjid yang setengah jadi. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk merampungkan seratus persen.
Itupun bergantung pada ketekunan pengurus masjid mencari dana ditambah kejujuran mengelola. Jika sebaliknya, maka bangunan masjid yang setengah jadi itulah hasilnya.
Tak jarang dalam sebuah himpunan jamaah yang tengah bersama-sama menyelesaikan pembangunan masjid, timbul friksi, selisih pendapat dan pendirian, yang pada akhirnya memunculkan gosip dan fitnah antar sesama. Ini kejadian yang lazim dimana saja.
(Beda kali ya, jika yang bangun masjid itu satu orang kaya raya yang tidak butuh kepanitiaan dan sanggup merogoh kocek pribadi untuk bikin masjid
..)
Masjid tetaplah masjid, bangunan yang terasing diantara laju kehidupan masyarakat di sekitarnya. Ia tak punya peran apa-apa kecuali sebagai tempat berlabuh mencari pertobatan para warga lanjut usia.
Dulu sekali, saya punya pandangan arsitektur lain soal bangunan masjid. Kalau kita mau bikin masjid, bikin yang kecil-kecil saja, sesuaikan dengan kemampuan sumber dana masyarakat.
Desain seindah mungkin, tak perlu kaca (seperti masjid kampus UGM Yogya yang tak memerlukan kaca di sekitarnya), biarkan terbuka, cukup sisakan ruang kecil di dalamnya untuk menyimpan alat-alat masjid.
Tak perlu dua lantai atau lebih, perluas halamannya, jadikan halaman luasnya itu sebagai taman taman indah, dan sisakan ruas untuk parkir kendaraan.
Usahakan taman-taman itu dapat dimanfaatkan sebagai tempat shalat jika masjid penuh saat shalat Jumat dan shalat hari raya.
Bangunan masjid yang mungil dengan taman indah di sekelilingnya belum pernah saya jumpai.
Selalu saja dimana-mana bangunan masjid dibikin besar-besar, meski dalam kenyataannya, jamaah yang datang rutin shalat lima waktu tak lebih dari satu baris saja...!!
Komentar