Langsung ke konten utama

Misalkan Nyepi Empat Kali Setahun

Ini kali pertama saya merasakan suasana Hari Nyepi di Bali. Semenjak tengah malam, jalanan mulai lengang. Tak sebuah pun kendaraan melintas. Pada pagi harinya, jalan di kampung kami yang biasa bising kendaraan oleh beragam aktivitas harian, juga lengang. Hanya anak-anak yang berkeliaran di jalan, mengayuh sepeda mini, atau berlari-lari kecil.

Sebagian warga lebih memilih berdiam di dalam lingkungan rumah. Hanya satu dua orang tetangga Hindu yang keluar rumah, sekedar mencari pakan untuk ternak. Selebihnya adalah suasana lengang yang berbeda dari hari-hari biasanya. Pada malam hari suasana kian lengang karena lampu-lampu penerangan jalan dipadamkan.

Saya sudah lama merindukan keadaan semacam ini; suasana yang sunyi, yang mengingatkan saya pada masa kecil di kampung, di sekitar tahun 80-an, ketika di jalanan belum bejibun kendaraan, dan lampu PLN sesekali padam. Kami biasa bermain di tengah jalan raya; gobak sodor dan sepakbola. Jikapun ada kendaraan yang lewat, barulah kami menyingkir beberapa saat. Sangat jarang.

Dalam estimasi, Hari Raya Nyepi dapat menekan sejumlah 30.000 ton karbondioksida dari cerobong asap kendaraan yang dihasilkan dari lalulalang kendaraan pada hari normal. Ini berarti dampak positif bagi lingkungan dan juga kesehatan. Selain itu juga menghemat sekitar 600 mega watt listrik sebagai dampak pemadaman lampu pada saat Nyepi. Itu setara sekitar 600 miliar dalam nilai uang. Dampak lainnya adalah penghematan BBM karena tak ada kendaraan yang beroperasi. Kira-kira menghemat sekitar 10 juta liter premium dan solar.

Mungkin dari sisi bisnis, kegiatan Nyepi dinilai kurang produktif karena telah memacetkan proses transaksi, mematikan kegiatan ekonomi. Armada pengiriman barang dihentikan, pelabuhan ditutup, truk-truk pengangkut barang berhenti, bus antar kota dan provinsi berhenti. Kegiatan jual beli di pasar dan supermarket berhenti. Bank-bank tutup. Akan tetapi, ini hanya secuil kerugian (ekonomi) dibanding dampak positif ikutan yang saya sebut di atas.

Mengingat begitu banyak hal (positif) tak terduga lainnya dari kegiatan Nyepi, saya membayangkan andaikata Hari Raya Nyepi dijadikan hari Nasional, bukan hanya libur nasional, tapi seluruh pulau se-Indonesia orang pada Nyepi. !!! Ini gagasan gila, tapi mungkin saja, kan???

Atau saya pribadi mengusulkan agar di Bali perayaan Nyepi itu diadakan empat kali dalam setahun.. setujuuuuuu!!!???

Negara, Bali. Tahun Baru Caka 1935

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...