Di desa, saya sedikit belajar merasakan hidup menjadi petani. Cangkul, arit dan parang adalah alat kerja saya sehari-hari. Bukan lagi laptop, bolpoint dan buku. Saya dapat merasakan nikmatnya peluh yang mengucur saat tangan mengayun-ayun cangkul ke permukaan tanah yang gembur.
Di sepetak tanah yang tak terlalu luas, saya menanam ubi jalar, singkong, pepaya, timun dan kacang panjang. Setiap pagi saya mandi terik matahari. Sementara isteri dan anakku menunggu di gubuk kecil.
Pekerjaan petani tentu tak seringan pekerjaan saya. Beban petani jauh lebih berat lagi. Pekerjaan saya ini hanya hobi belaka, karena saya tidak harus dipusingkan dengan pupuk yang langka dan sebagainya.
Tetapi dari hobi baru ini saya dapat merasakan betapa berat sangat beban para petani. Meski mereka berada dalam lingkar pergaulan sosial yang paling pinggir, karena umumnya petani tinggal di desa, namun dampak goncangan ekonomi global turut membuat kepala mereka pening.
Saban tahun pemerintah memberlakukan kebijakan impor beras atas dasar alasan guna "menstabilkan perekonomian nasional". Itu artinya, beras yang dihasilkan oleh petani kita dilarang bernilai jual tinggi jika terjadi lonjakan permintaan (inflasi) dan menipisnya stok di gudang bulog.
***
Lahan-lahan pertanian kita tambah tahun tambah berkurang. Sementara tiap tahun fakultas pertanian di seluruh perguruan tinggi meluluskan ribuan sarjana pertanian. Di sisi lain, makin sedikit pula anak-anak di desa yang berminat sebagai petani. Lebih banyak dari mereka yang memilih bekerja sebagai buruh di kota atau sebagai TKI di luar negeri.
Kenyataan ini telah menjadi satu sisi ironi kita sebagai negara agraris.!
Negara, Bali, 4 Desember 2012
Di sepetak tanah yang tak terlalu luas, saya menanam ubi jalar, singkong, pepaya, timun dan kacang panjang. Setiap pagi saya mandi terik matahari. Sementara isteri dan anakku menunggu di gubuk kecil.
Pekerjaan petani tentu tak seringan pekerjaan saya. Beban petani jauh lebih berat lagi. Pekerjaan saya ini hanya hobi belaka, karena saya tidak harus dipusingkan dengan pupuk yang langka dan sebagainya.
Tetapi dari hobi baru ini saya dapat merasakan betapa berat sangat beban para petani. Meski mereka berada dalam lingkar pergaulan sosial yang paling pinggir, karena umumnya petani tinggal di desa, namun dampak goncangan ekonomi global turut membuat kepala mereka pening.
Saban tahun pemerintah memberlakukan kebijakan impor beras atas dasar alasan guna "menstabilkan perekonomian nasional". Itu artinya, beras yang dihasilkan oleh petani kita dilarang bernilai jual tinggi jika terjadi lonjakan permintaan (inflasi) dan menipisnya stok di gudang bulog.
***
Lahan-lahan pertanian kita tambah tahun tambah berkurang. Sementara tiap tahun fakultas pertanian di seluruh perguruan tinggi meluluskan ribuan sarjana pertanian. Di sisi lain, makin sedikit pula anak-anak di desa yang berminat sebagai petani. Lebih banyak dari mereka yang memilih bekerja sebagai buruh di kota atau sebagai TKI di luar negeri.
Kenyataan ini telah menjadi satu sisi ironi kita sebagai negara agraris.!
Negara, Bali, 4 Desember 2012
Komentar