Anakku... Engkau lahir pada jam 3 pagi. Saat embun memeluk erat dahan dan dedaunan, dan separuh penghuni bumi lelap. Lengking tangismu seperti suara gaib dari kejauhan. Aku tak bisa menahan cucuran airmata kebahagiaan kali pertama menimangmu, sambil membisikkan nama kebesaran Tuhan di kedua telingamu.
Aku bersyukur, Anakku, engkau lahir selamat, setelah sekira sembilan bulan lebih sebelas hari lamanya ibumu bergulat dengan rasa pahit, dan nyeri yang luar biasa. Terkadang, ibumu tak bisa makan enak, kerap bangun malam dan muntah-muntah. Bahkan pada bulan keempat kehamilan ibumu, dokter menyarankan rawat inap karena engkau dan ibumu harus dipulihkan.
Anakku... Alangkah bahagia menatap matamu yang bening. Aku seperti memandang telaga dengan mataair yang jernih dengan ikan-ikan yang berenang.
Kepadamu, aku ingin mendendangkan lagu-lagu dari masa lalu, pujian-pujian kepada orang-orang suci, dan tembang-tembang yang digubah para wali, untuk mengisi kebahagiaanku yang melimpah.
Pada hari ke dua puluh satu usiamu, pisau cukur diayunkan Ninik dan datukmu serta orang-orang alim pada perayaan 'aqiqah. Ini hanya bahasa pertanda bahwa engkau telah disapih dari duniamu sebelumnya (rahim ibu).
Bagimu dunia ini masih laksana langit biru, dengan bulan dan ribuan rembuku. Kelak, bahasa akan mengajarkanmu tentang dunia ini. Melalui bahasa, engkau akan tahu bagian-bagian dunia ini, warna-warna, angka-angka dan aksara. Kini, kebahagiaanmu hanyalah pelukan hangat sambil mencecap susu ibumu.
Anakku... Engkau lahir di pungujung bulan April tahun ini, sebulan setelah pemerintah membatalkan kebijakkan menaikkan harga bahan bakar minyak yang semula direncanakan naik awal April. Jika saja harga minyak bumi itu naik sebagaimana sudah direncanakan matang sebelumnya, maka sudah barang tentu harga kebutuhanmu juga akan melambung. Ternyata, ada untungnya juga kita punya pemimpin 'peragu'.
Tapi konon kabarnya, kelak minyak bumi bakal dinaikkan juga harganya, menurut standar harga minyak mentah dunia (ICP), agar hutang negara ini tak begitu memberatkan pemerintah.
Apaaa? Hutang negara? Ya, hutang negara yang dengan tidak langsung dibebankan kepada warganya. Setiap anak yang lahir di negeri ini sudah menanggung beban utang. Tak terkecuali engkau, anakku... Beban utang itu seperti siluman yang tak kelihatan, namun terasa sekali jemarinya yang panjang terurai seperti mencekik leher kita.
Negara kita ini sangat kaya, tanah-tanah pertaniannya subur, lautannya penuh dengan ikan-ikan, perut buminya menyimpan bahan mentah minyak, besi, dan logam mulia. Beratus tahun lamanya perusahaan dagang asing sejak kedatangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) komisi dagang yang terpesona dengan kekayaan alam rempah-rempah sebelum kemudian datang raksasa perusahaan tambang yang mengeruk perut bumi kita.
Dahulu, para orang-orang tua gemar mendongeng saat lampu mulai padam dan anak-anak meletakkan kepala di atas bantal. Mereka bercerita tentang sosok raksasa jahat yang menculik anak-anak kecil, dengan jemari dan kuku-kuku panjangnya. Semenjak masa kanak-kanak, para orangtua telah menanamkan sikap waspada kepada anak-anak mereka. Raksasa jahat dalam wujud yang menyeramkan itu tak pernah ada memang. Tetapi kejahatan tetap hidup, dan anak-anak kecil itu diajarkan mengenai kewaspadaan.
Anakku... Duniamu kelak adalah dunia yang berbeda, sebab engkau akan punya pandangan sendiri mengenai duniamu. Zaman terus bergerak, karena pikiran manusia terus mengalami kemajuannya. Berabad lalu, seorang filsuf Jerman, Immanuel Kant namanya berkata; pikiran manusia sudah sampai di tahap kematangannya, di fase aqil balignya, tak ada yang tak terpikirkan di dunia ini, katanya. Tapi dia keliru mengatakan tak ada yang tak terpikirkan lagi.
Pada kenyataannya, dunia ini terus menghasilkan pikiran-pikiran baru yang kadang tak terduga. Manusia menghidupi zaman mereka masing-masing, dan setiap zaman punya spirit pandangannya sendiri (zeitgeist) kata Hegel, filsuf dialektika sejarah.
Kita tak bisa bicara tentang masa depan anak-anak kita. Tugas kita adalah mendidik mereka, mengarahkan mereka agar mereka sendiri yang menyadari apa itu kebaikan dan keburukan, dan bukan memaksakan cara pandang kita kepada mereka. Kesalahan fatal dalam dunia pendidikan kita pertama-tama karena anak-anak kita dipaksa untuk menerima cara pandang orang-orang tua mereka.
Saya teringat ungkapan bijak penyair Lebanon, Kahlil Gibran tentang kita dan anak-anak kita. "Anak-anakmu ibarat anak panah yang lepas dari busurnya, sementara engkau (wahai para orang tua) adalah busur itu sendiri. Mereka melesat jauh ke depan, sementara engkau diam di tempat.
Catatan Sebulan kelahiran putriku, Sayasi.
Aku bersyukur, Anakku, engkau lahir selamat, setelah sekira sembilan bulan lebih sebelas hari lamanya ibumu bergulat dengan rasa pahit, dan nyeri yang luar biasa. Terkadang, ibumu tak bisa makan enak, kerap bangun malam dan muntah-muntah. Bahkan pada bulan keempat kehamilan ibumu, dokter menyarankan rawat inap karena engkau dan ibumu harus dipulihkan.
Anakku... Alangkah bahagia menatap matamu yang bening. Aku seperti memandang telaga dengan mataair yang jernih dengan ikan-ikan yang berenang.
Kepadamu, aku ingin mendendangkan lagu-lagu dari masa lalu, pujian-pujian kepada orang-orang suci, dan tembang-tembang yang digubah para wali, untuk mengisi kebahagiaanku yang melimpah.
Pada hari ke dua puluh satu usiamu, pisau cukur diayunkan Ninik dan datukmu serta orang-orang alim pada perayaan 'aqiqah. Ini hanya bahasa pertanda bahwa engkau telah disapih dari duniamu sebelumnya (rahim ibu).
Bagimu dunia ini masih laksana langit biru, dengan bulan dan ribuan rembuku. Kelak, bahasa akan mengajarkanmu tentang dunia ini. Melalui bahasa, engkau akan tahu bagian-bagian dunia ini, warna-warna, angka-angka dan aksara. Kini, kebahagiaanmu hanyalah pelukan hangat sambil mencecap susu ibumu.
Anakku... Engkau lahir di pungujung bulan April tahun ini, sebulan setelah pemerintah membatalkan kebijakkan menaikkan harga bahan bakar minyak yang semula direncanakan naik awal April. Jika saja harga minyak bumi itu naik sebagaimana sudah direncanakan matang sebelumnya, maka sudah barang tentu harga kebutuhanmu juga akan melambung. Ternyata, ada untungnya juga kita punya pemimpin 'peragu'.
Tapi konon kabarnya, kelak minyak bumi bakal dinaikkan juga harganya, menurut standar harga minyak mentah dunia (ICP), agar hutang negara ini tak begitu memberatkan pemerintah.
Apaaa? Hutang negara? Ya, hutang negara yang dengan tidak langsung dibebankan kepada warganya. Setiap anak yang lahir di negeri ini sudah menanggung beban utang. Tak terkecuali engkau, anakku... Beban utang itu seperti siluman yang tak kelihatan, namun terasa sekali jemarinya yang panjang terurai seperti mencekik leher kita.
Negara kita ini sangat kaya, tanah-tanah pertaniannya subur, lautannya penuh dengan ikan-ikan, perut buminya menyimpan bahan mentah minyak, besi, dan logam mulia. Beratus tahun lamanya perusahaan dagang asing sejak kedatangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) komisi dagang yang terpesona dengan kekayaan alam rempah-rempah sebelum kemudian datang raksasa perusahaan tambang yang mengeruk perut bumi kita.
Dahulu, para orang-orang tua gemar mendongeng saat lampu mulai padam dan anak-anak meletakkan kepala di atas bantal. Mereka bercerita tentang sosok raksasa jahat yang menculik anak-anak kecil, dengan jemari dan kuku-kuku panjangnya. Semenjak masa kanak-kanak, para orangtua telah menanamkan sikap waspada kepada anak-anak mereka. Raksasa jahat dalam wujud yang menyeramkan itu tak pernah ada memang. Tetapi kejahatan tetap hidup, dan anak-anak kecil itu diajarkan mengenai kewaspadaan.
Anakku... Duniamu kelak adalah dunia yang berbeda, sebab engkau akan punya pandangan sendiri mengenai duniamu. Zaman terus bergerak, karena pikiran manusia terus mengalami kemajuannya. Berabad lalu, seorang filsuf Jerman, Immanuel Kant namanya berkata; pikiran manusia sudah sampai di tahap kematangannya, di fase aqil balignya, tak ada yang tak terpikirkan di dunia ini, katanya. Tapi dia keliru mengatakan tak ada yang tak terpikirkan lagi.
Pada kenyataannya, dunia ini terus menghasilkan pikiran-pikiran baru yang kadang tak terduga. Manusia menghidupi zaman mereka masing-masing, dan setiap zaman punya spirit pandangannya sendiri (zeitgeist) kata Hegel, filsuf dialektika sejarah.
Kita tak bisa bicara tentang masa depan anak-anak kita. Tugas kita adalah mendidik mereka, mengarahkan mereka agar mereka sendiri yang menyadari apa itu kebaikan dan keburukan, dan bukan memaksakan cara pandang kita kepada mereka. Kesalahan fatal dalam dunia pendidikan kita pertama-tama karena anak-anak kita dipaksa untuk menerima cara pandang orang-orang tua mereka.
Saya teringat ungkapan bijak penyair Lebanon, Kahlil Gibran tentang kita dan anak-anak kita. "Anak-anakmu ibarat anak panah yang lepas dari busurnya, sementara engkau (wahai para orang tua) adalah busur itu sendiri. Mereka melesat jauh ke depan, sementara engkau diam di tempat.
Catatan Sebulan kelahiran putriku, Sayasi.
Komentar