Langsung ke konten utama

Asembagus

Langit masih menyisakan mendung. Hujan sepertinya baru saja reda beberapa jam lalu. Pagi jam 9 lewat saya tiba di gerbang pesantren Salafiyah Syafiiyah. Pohon-pohon asem di pinggir jalan raya besar itu tampak kian tambun setelah dijamah usia hampir seabad. Dari jalan raya besar, dengan becak yang kini bertenaga mesin motor, saya diantar ke lingkungan pesantren. Deretan pepohonan tebu tampak hijau di kiri kanan sepanjang jalan menuju pesantren. Dari kejauhan, lewat corong loadspeaker sudah terdengar lamat-lamat suara para santri yang tengah melafal al-Quran. Ini adalah kali pertama saya berkunjung, setelah hampir sebelas tahun lamanya tidak. Terakhir kali saya berkunjung ke pesantren pada tahun 2001 silam.

Kedatangan saya kali ini, setelah mendengar kawat meninggalnya pengasuh pesantren KHR. Ahmad Fawaid Asad. Kabar ini saya terima dari beberapa rekan yang berkirim pesan singkat beberapa jam selepas shalat Jumat dilaksanakan. Saya mengontak seorang rekan dan menanyakan perihal latar meninggalnya Kiyai Fawaid. Cerita lengkapnya saya dapatkan setelah di atas kapal penyebrangan Bali-Jawa saya membeli sebuah surat kabar, harian Jawa Pos. Pada kolom radar Banyuwangi, wafatnya Kiyai Fawaid menjadi berita utama. Cerita lebih lengkap lagi saya dengar dari tuturan salah seorang keluarga dalem pesantren, Lora Fadhoil. Di ruang tamu di kediamannya, Fadhoil bercerita menit menit terakhir meninggalnya Kiyai Fawaid. Beliau meninggal lantaran komplikasi penyakit; diabetes yang sudah menahun, jantung dan sesak nafas yang tiba-tiba. Beliau wafat dalam perawatan darurat di sebuah rumah sakit di Surabaya.

Di tangan KHR Ahmad Fawaid yang menggantikan abahnya KHR Asad Syamsul Arifin sejak 1990, pesantren Salafiyah Sukorejo Asembagus, mencapai fase pertumbuhan fisik yang pesat. KHR Ahmad Fawaid sendiri diangkat sebagai pengasuh untuk pertama kali sejak berusia sangat belia, 23 tahun. Meski pada mulanya kepemimpinan beliau diragukan karena karir pendidikan formalnya yang kurang memadai, Kiyai Fawaid mampu menjadi lokomotif bagi tumbuh dan berkembangnya Pesantren Salafiyah.

Dari batin saya, terbit rasa kagum yang dalam seketika melihat betapa pesatnya pertumbuhan pesantren dari segi fisik. Ketika saya bermukim selama enam tahun (dari tahun 1993 - 1999) Pesantren Salafiyah masih dalam tahap terus menerus melakukan pembangunan fisik untuk memfasilitasi keperluan keberlangsungan proses pendidikan di pesantren. Saat ini pembangunan fisik itu terus dilakukan. Dari segi pengembangan sumberdaya santri, Pesantren Salafiyah juga memperlihatkan kemajuannya yang luar biasa. Di tingkat perguruan tinggi sudah dibuka cabang-cabang program studi baru di bidang perikanan, komputer, dan kesehatan.

Kalau saya lihat, misi pesantren ini berdiri di atas dua kaki. Basis-basis tradisionalisme Islam ditanamkan melalui pendidikan keagamaan (al-diniyah) yang menjadi dasar utama yang diwariskan dari pendahulu dan perintis pesantren; KHR Syamsul Arifin, dan KHR Asad Syamsul Arifin. Basis itu tetap dipertahankan sambil terus membuka diri terhadap kemajuan ilmu pengetahuan baru yang mana kelahirannya tidak lepas dari peran penting Kiyai Fawaid.

Ke depan, Pesantren Salafiyah akan kembali mempercayakan keberadaannya kepada seorang pengasuh muda; Ahmad Azaim Ibrahimy. Beliau yang kini tengah bermukim dan menuntut ilmu di Makkah, dikabarkan akan menjadi pengasuh ke empat dari pesantren besar dengan sekitar 10 ribu santri ini.

Sedikit yang saya tahu tentang sahabat saya Azaim Ibrahimy, beliau adalah seorang penyair, sekaligus seorang sufi yang mendalami begitu banyak bidang keilmuan keagamaan. Beliau menempuh pendidikan keagamaan dari satu pesantren ke pesantren lain hingga ke tanah suci Makkah. Dalam konteks perkembangan setelah fase modern dunia pesantren, memang dibutuhkan bakal pengasuh berjiwa penyair dan pendidik seperti Azaim.

Jiwa pemimpin yang seniman dibutuhkan agar pesantren dapat dengan mudah menyesuaikan diri terhadap perkembangan pengetahuan dengan cara yang elegan, tidak begitu saja mengabaikan tradisi salafiyah yang menjadi ciri dan identitas pesantren, tidak asal terima (taken for granted) terhadap kemajuan, tetapi melakukan seleksi dan revisi. Semoga tidak berlebihan jika saya mengutip pikiran Nietzche tentang seni. Menurutnya, seni-lah yang membuat kebudayaan manusia menjadi dinamis dan lebih dewasa. Maka menjadi salah satu tugas seniman ialah mendinamisasi kebudayaan manusia.

Dalam perkembangannya ke depan, pesantren yang diterima masyarakat adalah pesantren yang dinamis, berani melakukan penerimaan terhadap perkembangan dan kemajuan pengetahuan, tetapi tetap pada prinsip dan jatidiri sebagai penjaga terdepan tradisi keislaman dengan nilai-nilai luhurnya.

*dicatat dalam perjalanan ke Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Asembagus, 10 Maret 2012.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...