Langsung ke konten utama

Not The Last Supper



Gambar foto ini semula saya lihat ketika baru masuk ke pintu beranda account facebook saya.

Gambar ini mengejutkan saya, menarik perhatian saya. Aha! Bukankah foto ini merupakan apropriasi dari lukisan mural karya Leonardo Da Vinci berjudul "The Last Supper" (Perjamuan Terakhir dalam bahasa Itali "L Ultima Cena") yang dibuat pada abad 15 Masehi di sebuah biara di Milan Italia.

Foto ini sendiri dibuat rekan-rekan IVAA (Indonesia Visual Art Archive) di Kantor Yayasan Cemeti Patehan, Yogya.

Sekedar iseng, baiklah untuk membicarakan foto ini dalam kaitannya sebagai sebuah apropriasi.

Melihat foto ini, orang dengan segera teringat kepada hasil mahakarya Da Vinci. Apalagi, judulnya sendiri merupakan kemiripan dari karya aslinya; "Not The Last Supper".

Karya foto ini lahir dari kegenitan ide rekan-rekan IVAA (entah siapa yang punya ide ini, mungkin fotografernya atau yang lain). Keisengan karya ini memberikan pemahaman akan spirit yang tengah berkembang belakangan ini, yakni upaya mendekonstruksi sebuah karya (atau apa saja) yang sudah mapan, dan paten.

Seorang Katolik yang saleh dan lebih betah di biara bisa saja tersinggung menyaksikannya. Tetapi orang mungkin akan lebih banyak yang terbahak-bahak dan geleng-geleng kepala separti saat saya baru pertama melihatnya.

Perhatikan saja sosok "Yesus" dengan kaos oblong dan rambut yang tidak panjang dan tidak pirang itu, lalu para "sahabat Yesus" yang berkaos, berkacamata dan separuhnya adalah cewek-cewek belia. Lalu latar belakang rak buku dengan ribuan koleksinya, dan yang juga menarik perhatian; kipas angin di ruangan itu.

Kalo meminjam bahasa dalam term postkolonial yang agak nyentil, foto ini "Serupa tapi tak sama" dengan karya aslinya. "White but not Quite". Ia ingin menyerupai aslinya, tetapi tidak cukup mampu untuk menyerupainya, dan memang tak ada hasrat untuk menyerupai aslinya, kecuali keinginan untuk menjadi karya yang mandiri sambil menertawakan dirinya sendiri di hadapan sebuah karya yang sudah menjadi masterpiece.

Foto ini memang karya iseng yang dibuat dengan perencanaan sambil membayangkan kejenakaan yang bakal lahir dari hasil akhirnya. Tetapi bukan berarti foto ini adalah foto yang diam, tak memberi pengertian apa-apa. Ia justru bicara mengenai sesuatu hal yang bisa dirangkum dalam satu kata meminjam istilah Derrida; dekonstruksi. Meski gagasan semacam ini tentu saja bukan hal baru lagi.

Apa yang didekonstruksi? Kesakralan itu sendiri. Kalau selama ini orang memahami bahwa wilayah yang sakral itu adalah wilayah tak tersentuh, karya foto ini melakukan hal sebaliknya; menyentuh dan membalik yang sakral.

Hampir seluruh agama semit (Kristen, Yahudi, Islam) memberikan tempat yang sangat besar pada kedudukan kaum lelaki. Seolah-olah agama ini milik kaum lelaki. Penafsiran-penafsiran atas teks agama banyak yang bersifat misoginis (memojokkan kaum perempuan sambil mengunggulkan kaum lelaki). Pemahaman semacam ini sudah lama mendapat gugatan di dalam ketiga agama semit tersebut.

Foto Not The Last Supper juga ingin melakukan hal serupa, mendeformasi bentuk asli The Last Supper yang berdasar pada fakta sejarah yang sudah dikenal luas di kalangan kaum kristiani.

Sahabat Yesus yang sebagiannya perempuan dalam Not The Last Supper adalah deformasi dari kekakuan akan tafsir monolitik yang sudah lama digugat itu. Begitu pula bentuk Yesus yang terlalu "Eropa" itu digantikan dengan sosok yang lebih pribumi. Aura abad pertama Masehi dalam The Last Supper dimana figur sosok dalam lukisan Da Vinci digambarkan secara karismatik, juga dibalik dengan sosok kekinian ala anak-anak remaja.

Nuansa kemuraman yang dalam yang digambarkan dalam lukisan Da Vinci (karena karya ini mengisahkan tentang perhimpunan Yesus dan kedua belas sahabatnya dimana Yesus memfatwakan bahwa akan ada satu diantara sahabatnya yang akan mengkhianatinya) dalam Not The Last Supper digantikan dengan situasi yang lebih rileks, seperti sedang ada sesi foto bersama, sebagaimana kebiasaan yang dilakukan anak-anak organisasi yang sangat gemar melakukan acara foto bersama setelah selesainya suatu kegiatan tertentu.

Foto yang sudah di-upload di jejaring sosial facebook sejak maret 2011 itu menurut rencana yang tertera dalam captionnya, dijadikan sebagai sampul buku terbitan IVAA. Ciamik..!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...