Langsung ke konten utama

Tolerance but Refusing Food

During my living in Bali, I get into a new interaction with others of Hindus. Here, in Negara, we live side by side with Hindus. It seem the religious sentiment that recently arose among religious follower didn't take impact towards the religious community relationship in Bali.

In Negara of Jembrana Regency, majority moslem live in Loloan village, near by Negara City. Some are live in Pulukan, Medewi, Banyubiru, Melaya, and Gilimanuk. It is unique that moslem in Negara (Loloan) using a Melayu language to communicate. Some using both Melayu and Balinese local language.

In the center of Negara traditional market, we can see a kind of good interaction between two of religious follower Moslem and Hindus. We can make difference of who Hindus are and who Moslem. Hindus trader usually put a small sanggah (a place to put incense and flowers for worship) gaudy looked in a corner of their shop. Hindus speak Balinese and Moslem speak both Melayu and Balinese.

Some moslem work as servant for Hindus and so otherwise.

In every religious day ceremony of Galungan and Kuningan, my Hindus fellow bring us a color of food, cake or in Balinese language called ngejot.
We receive the food kindly, but back in our home we avoid to eat it. My parent in law prohibit me having the cake and food eating. "These (cake, food) are Hindus made, don't ever to eat it," they said.

It was happen one day as I tried to buy a traditional cake name Kelepon in Negara traditional market, my wife forbid me said, "that is Hindus made. I don't like it, even though it look so delightful. Be aware of Hindus made of cake and food."

According to them, those cake and food are unclean (not halal) for made by Hindus, while Hindus them self keeping pig in their home. Pig is a kind of animal that prohibited by Islam to be eaten (haram). Hindus eat pig meat, and made it as a main food in every ceremony. But, it is not certainly true that they made the food and cake by mixing it up with pig meat.

It is so strange to think that we avoid some kind of cake or food, and receive other kind, say like Kacang Rahayu that produced by Hindus home factory in Denpasar. We love to buy and to eat it.

***
In Lebaran day of moslem day ceremony, we do the same of ngejot, that is to bring the food to our Hindus neighbor. But, I don't know, whether they refuse to eat it as we did to their food gift.

Another example of refusing is as we to chose restaurant or rice-shop to eat. We, moslem, avoid going to Hindus rice-shop. But, it is conversely happen to Hindus. Hindus don't avoid Moslem rice-shop.

There is a rice-shop name Warung Barokah in Negara which is crowded visit everyday both by Moslem and also Hindus. Hindus comfortably eating the food of moslem Barokah rice-shop without any prejudice.

I will note here, the phenomena of avoiding Hindus food by Moslem indicating a syndrom of majority. Moslem as majority desire to show its power by prohibiting the Hindus food. However, it happen under consciously. Really!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...