Langsung ke konten utama

anyer













Dari ruang vila tempat saya menginap yang jaraknya hanya selemparan batu dari bibir Pantai Anyer, bunyi ombak terdengar setiap saat.



Saat saya berdiri di atas pasir lembut Pantai Anyer, mata saya memandang jauh melampaui keramaian orang-orang yang tengah bermain-main di sekitar pantai.

Ini kali pertama saya ke Pantai Anyer. Seorang rekan wartawan, mengajak saya bergabung dalam kegiatan tiga hari rekan-rekan wartawan Balaikota DKI. Jarak Jakarta - Anyer ditempuh dalam waktu tiga jam, dengan bus pariwisata.

"Anyer" tentu bukan nama asing buat saya. Semula, nama Anyer hanya saya temukan saat saya membaca literatur sejarah masa kolonial. Bicara sejarah masa kolonial di Indonesia, nama tempat ini tak terpisahkan.

Di Anyer-lah Gubernur Jenderal Daendels meletakkan batu pertama pembangunan mega proyek Jalan Pos Besar (De Groote PostWeg) atau yang saat ini dikenal dengan Jalan Pantura.

Ini merupakan prestasi terbesar sang Gubernur Jenderal selama dia memerintah dalam tahun 1807-1811 (semoga penulisan tahun ini tidak keliru).















Jalan Raya Pos Besar melintas-memanjang antara Anyer di ujung barat Pulau Jawa hingga Penarukan di ujung timurnya. Pembangunan jalan raya ini merupakan titik awal dimulainya fase modern dalam sejarah pendudukan di Hindia Belanda.

Jalan ini, yang dibangun dari tetesan keringat kaum pribumi, menjadi jalur lalu lintas maha penting yang difungsikan untuk mempercepat mobilisasi sumber daya alam dan sumber daya tenaga manusia untuk kepentingan bisnis para Baron dari Eropa.

Saya teringat satu judul buku yang belum sempat saya baca, karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer, yang mengisahkan tentang napak tilas Jalan Raya Pos Besar. Saya harus menyayangkan bahwa dari sekian banyak karya Pram, buku yang satu ini luput saya baca.

Anyer, Rangkasbitung, Pandeglang, adalah satu paket nama wilayah yang paling banyak dibicarakan dalam literatur kolonial atau dalam literatur sejarah pergolakan yang ditulis anak bangsa sendiri.

Buku karya Douwes Dekker alias Multatuli mengambil setting wilayah tersebut ketika dia bicara tentang penindasan kaum kolonial di Hindia Belanda dalam buku semi fiksi berjudul Max Havelaar.

Demikian pula salah satu buku penelitian sejarah seorang sejarahwan Indonesia yang saya kagumi, Pak Sartono Kartodirdjo, berjudul Peasant Revolt of Banten (Pemberontakan Petani Banten), bicara dengan setting wilayah tersebut.

















Dalam masa kolonialisme Jepang, wilayah ini menjadi salah satu tempat para romusha (pekerja paksa) dipaksa bekerja dibawah tekanan. Cerita ini saya temukan misalnya dalam salah satu bagian catatan harian tokoh Partai Komunis Indonesia, Tan Malaka, berjudul "Dari Penjara ke Penjara".

Kalau saat ini saya merasa sangat terkesan berada di Pantai Anyer, itu dimungkinkan karena nama tempat ini melekat dalam ingatan saya dari kebiasaan terdahulu membaca literatur sejarah kolonialisme.

Dari saku, saya mengeluarkan kamera poket, mengambil beberapa bagian objek pantai ini. "Barangkali, dahulu tempat ini hanya sebuah hutan belantara," pikirku.

Triliunan modal para pengusaha telah mengalir ke tempat ini. Hotel megah, villa dan tempat hiburan berdiri di mana-mana. Orang-orang datang ke tempat ini menikmati beragam kesenangan: indahnya pemandangan, nikmatnya kelapa muda, sensasi tangan para tukang pijit, souvenir dan oleh-oleh ikan asin...



Dicatat di Villa Bandulu Watersport, Anyer 13 Juni 2010.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Larantuka

Ada dua jalur yang akan ditempuh untuk sampai ke Ende. Pertama, dengan kapal laut yang bertolak dari Surabaya. Kedua, dengan kapal laut yang sama yang bertolak dari Lombok. Keduanya sama-sama pilihan yang ambigu.  Setelah berdiskusi, akhirnya kami ambil opsi kedua; bertolak dari Gilimas Lombok. Itu artinya, kami harus menyeberang ke Lombok dulu dari Padangbay menuju Lembar. Perjalanan dari rumah kami di Jembrana Bali, dimulai pada jam 2 siang, tanggal 10 Juni 2025, hari Selasa, bertepatan tanggal 14 Dzulhijjah 1446 tahun hijriyah.  Kendaraan masih Toyota Rush Konde legendaris yang sudah hampir dua belas tahun menemani perjalanan kami. Segala sesuatu persiapan terkait kendaraan ini sudah Aku cukupi. Mulai dari servis berkala, penggantian oli mesin, ganti bearings (klaher) di bagian roda depan kiri, perbaikan seal rem yang rusak, hingga penggantian empat buah ban roda. Kali ini Aku coba pakai GT Savero untuk mengganti merk ban asli Dunlop.  Harga GT Savero lebih murah 450.0...