Kemarin siang, saya berada lebih lama di hadapan layar televisi, setelah mengetahui bahwa ternyata bentrok yang terjadi di sekitaran komplek makam Habib Husen bin Muhammad Al Haddad alias Mbah Priok, Tanjung Priok, Koja, Jakarta Utara, adalah bentrok massal yang berdarah-darah.
Tiga orang tewas, ratusan luka-luka, berat dan ringan. Ada gambar lelaki dihujam bogem, dipukul pentungan, dilempari batu, ada kepala yang berlumur darah, anak usia remaja yang diseret, tubuh tak berdaya dikirimi tendangan di kepala dan timbukan pecahan beton.. mobil-mobil dibakar,, dan asap hitam menyemburkan kengerian.. Ini kekerasan yang paling heboh yang pernah saya saksikan tahun ini..
Anggota Sat Pol PP yang bergerak atas nama pihak berkepentingan didukung legalitas hukum, bentrok dengan penduduk yang percaya bahwa situs makam Mbah Priok tidak boleh digusur, apalagi dicaplok hak kepemilikannya atas lahan tersebut.
Makam bukan sekedar tempat peristirahatan orang-orang yang sudah tiada. Makam adalah juga sebuah situs, penanda, tempat separoh memori dan emosi masa lalu kita diikat. Makam disebut juga sebagai tempat di mana setiap orang menikmati masa istirahat panjang yang damai (Rest in Peace).
Kekuatan mengikat emosi yang dimiliki oleh makam orang-orang tertentu, termasuk makam Habib Al Husein Al Haddad, didukung fakta historis tentang sosok yang bersemayam di dalamnya.
Habib Husein Al Haddad yang kemudian dijuluki Mbah Priok, adalah sosok individu yang dianggap berjasa terutama dalam masa penyebaran keyakinan agama Islam di wilayah Jakarta Utara.
Laqob atau tambahan nama: "Mbah" yang disandingkan dengan nama tempat di wilayah Jakarta Utara: "Priok" untuk menamai sosok Habib Husein Al Haddad, memiliki makna sendiri bagi penduduk sekitar.
Sebutan "Mbah" berarti menandakan kedudukan dan posisi sosial seseorang berada dalam strata yang sangat tinggi, sangat dihormati, disegani. Kegiatan perziarahan ke makam tertentu karenanya dapat dimaknai sebagai cara orang mengikat emosi dan rasa cinta mereka terhadap sosok yang dianggap berjasa.
...
Koja
Apa yang tersisa dalam ingatan saya tentang Koja ialah bahwa kawasan itu tak lebih dari satu wilayah strategis di pinggir utara Jakarta, dengan jumlah penduduk yang padat, dan kebanyakan mereka adalah kaum miskin perkotaan...
Saya hanya pernah tiga malam berada di Koja, tepatnya di RSUD Koja, pada tengah Januari 2009 silam.. Dalam waktu yang singkat itu, saya berusaha menyimak sepotong langgam hidup sehari-hari masyarakat di sekitar.
Sebagian besar penduduk Koja adalah penganut agama yang fanatik. Kemiskinan dan kepercayaan fanatis seolah dua hal yang saling bersinergi dan menjadi nafas hidup masyarakat Koja.
Di Koja, pada suatu malam,,, saya dan kawan saya, Kawan Robi, berjalan menyusuri aspal penuh debu, ketika kami bermaksud mencari makan malam di sebuah warung.
Duduk di warung di pinggir jalan yang bising sambil menikmati makan malam, saya memperhatikan lalu lalang manusia... Sebagian sedikit dari mereka yang saya saksikan, berwajah Arab. Kawasan ini sebagian dihuni para perantau dari jazirah arabiyah yang datang di masa perdagangan awal di Pulau Jawa. Mereka telah beranak pinak dan menjadi keluarga besar.
Koja pada suatu malam... masih tercium aroma amis sup kambing menusuk hidung saya. Makanan jenis ini yang memaksa pikiran saya untuk mengait-kaitkan Koja dengan penduduk Arab keturunan...
Koja pada suatu petang... seorang pria bertubuh tinggi gelap, berhidung mancung dan berkupiah melintas di hadapan saya... Kepada Kawan Robi saya mengatakan, "Dalam bayangan saya, penduduk Koja ini dihuni orang-orang jenis ini (Arab peranakan)."
Koja pada suatu dinihari... pengeras-pengeras suara dari menara-menara masjid membangunkan tidur saya... Kehidupan keagamaan sangat hidup di wilayah ini. Di jalan-jalan, saya kerap menjumpai sejumlah anak-anak berbaju muslim bergerombol.
Setahun kemudian
Koja pada suatu pagi menjelang siang,, bentrok dan aksi kekerasan terjadi...
Peristiwa Rabu 14 April kemarin sepertinya ulangan dari peristiwa serupa yang pernah terjadi di tahun 1984: tragedi Tanjung Priok.
Rekan saya, Bung Yudi (asal Jakarta yang pernah menulis buku Ingatan Politik Tragedi Priok) membuat komentar pada link foto yang saya posting di FB.
Menurut Bung Yud, setidaknya ada empat alasan pendasaran meletupnya kekerasan di Koja: 1) Ambisi Pemda DKI yang berhasrat membersihkan kantong-kantong kemiskinan yang dianggap kumuh... 2) Kondisi kemiskinan di wilayah ini sendiri... 3) Keberadaan makam sebagai situs yang dijaga, dikramatkan. 4) Jejak ingatan Tragedi Priok 1984...
Ingatan tragedi... ingatan manusia adalah semacam benda hidup dan bernyawa. Ia bisa bergerak melampaui masa silam.. Ingatan penuh luka dapat memantik energi amarah..
Kalau apa yang saya saksikan di televisi itu benar, bahwa seorang anggota Pol PP yang terkapar dihujani pukulan dan lemparan batu di tubuhnya,,, lantas satu dari pelaku rusuh yang diwawancara mengatakan "umat Islam sudah sering diinjek-injek, liat tuh kasus Priok," Kita bisa menggarisbawahi komentar ini dalam kata-kata "liat tuh kasus Priok."
Ini berarti bahwa ingatan atas tragedi Priok tahun 1984 saat puluhan anggota jamaah majlis taklim dibunuh, masih terus hidup, dipelihara, dan menjadi energi amarah yang dapat meletup sewaktu-waktu.
Koja... goresan luka oleh peristiwa lebih dari 25 tahun silam masih juga belum sirna, ketika hari ini sejarah kekerasan baru dituliskan kembali...
Never again... but this always happen again... we are all dreams of peace,, but look that Things Left Behind Tj Priok Riot...
Tiga orang tewas, ratusan luka-luka, berat dan ringan. Ada gambar lelaki dihujam bogem, dipukul pentungan, dilempari batu, ada kepala yang berlumur darah, anak usia remaja yang diseret, tubuh tak berdaya dikirimi tendangan di kepala dan timbukan pecahan beton.. mobil-mobil dibakar,, dan asap hitam menyemburkan kengerian.. Ini kekerasan yang paling heboh yang pernah saya saksikan tahun ini..
Anggota Sat Pol PP yang bergerak atas nama pihak berkepentingan didukung legalitas hukum, bentrok dengan penduduk yang percaya bahwa situs makam Mbah Priok tidak boleh digusur, apalagi dicaplok hak kepemilikannya atas lahan tersebut.
Makam bukan sekedar tempat peristirahatan orang-orang yang sudah tiada. Makam adalah juga sebuah situs, penanda, tempat separoh memori dan emosi masa lalu kita diikat. Makam disebut juga sebagai tempat di mana setiap orang menikmati masa istirahat panjang yang damai (Rest in Peace).
Kekuatan mengikat emosi yang dimiliki oleh makam orang-orang tertentu, termasuk makam Habib Al Husein Al Haddad, didukung fakta historis tentang sosok yang bersemayam di dalamnya.
Habib Husein Al Haddad yang kemudian dijuluki Mbah Priok, adalah sosok individu yang dianggap berjasa terutama dalam masa penyebaran keyakinan agama Islam di wilayah Jakarta Utara.
Laqob atau tambahan nama: "Mbah" yang disandingkan dengan nama tempat di wilayah Jakarta Utara: "Priok" untuk menamai sosok Habib Husein Al Haddad, memiliki makna sendiri bagi penduduk sekitar.
Sebutan "Mbah" berarti menandakan kedudukan dan posisi sosial seseorang berada dalam strata yang sangat tinggi, sangat dihormati, disegani. Kegiatan perziarahan ke makam tertentu karenanya dapat dimaknai sebagai cara orang mengikat emosi dan rasa cinta mereka terhadap sosok yang dianggap berjasa.
...
Koja
Apa yang tersisa dalam ingatan saya tentang Koja ialah bahwa kawasan itu tak lebih dari satu wilayah strategis di pinggir utara Jakarta, dengan jumlah penduduk yang padat, dan kebanyakan mereka adalah kaum miskin perkotaan...
Saya hanya pernah tiga malam berada di Koja, tepatnya di RSUD Koja, pada tengah Januari 2009 silam.. Dalam waktu yang singkat itu, saya berusaha menyimak sepotong langgam hidup sehari-hari masyarakat di sekitar.
Sebagian besar penduduk Koja adalah penganut agama yang fanatik. Kemiskinan dan kepercayaan fanatis seolah dua hal yang saling bersinergi dan menjadi nafas hidup masyarakat Koja.
Di Koja, pada suatu malam,,, saya dan kawan saya, Kawan Robi, berjalan menyusuri aspal penuh debu, ketika kami bermaksud mencari makan malam di sebuah warung.
Duduk di warung di pinggir jalan yang bising sambil menikmati makan malam, saya memperhatikan lalu lalang manusia... Sebagian sedikit dari mereka yang saya saksikan, berwajah Arab. Kawasan ini sebagian dihuni para perantau dari jazirah arabiyah yang datang di masa perdagangan awal di Pulau Jawa. Mereka telah beranak pinak dan menjadi keluarga besar.
Koja pada suatu malam... masih tercium aroma amis sup kambing menusuk hidung saya. Makanan jenis ini yang memaksa pikiran saya untuk mengait-kaitkan Koja dengan penduduk Arab keturunan...
Koja pada suatu petang... seorang pria bertubuh tinggi gelap, berhidung mancung dan berkupiah melintas di hadapan saya... Kepada Kawan Robi saya mengatakan, "Dalam bayangan saya, penduduk Koja ini dihuni orang-orang jenis ini (Arab peranakan)."
Koja pada suatu dinihari... pengeras-pengeras suara dari menara-menara masjid membangunkan tidur saya... Kehidupan keagamaan sangat hidup di wilayah ini. Di jalan-jalan, saya kerap menjumpai sejumlah anak-anak berbaju muslim bergerombol.
Setahun kemudian
Koja pada suatu pagi menjelang siang,, bentrok dan aksi kekerasan terjadi...
Peristiwa Rabu 14 April kemarin sepertinya ulangan dari peristiwa serupa yang pernah terjadi di tahun 1984: tragedi Tanjung Priok.
Rekan saya, Bung Yudi (asal Jakarta yang pernah menulis buku Ingatan Politik Tragedi Priok) membuat komentar pada link foto yang saya posting di FB.
Menurut Bung Yud, setidaknya ada empat alasan pendasaran meletupnya kekerasan di Koja: 1) Ambisi Pemda DKI yang berhasrat membersihkan kantong-kantong kemiskinan yang dianggap kumuh... 2) Kondisi kemiskinan di wilayah ini sendiri... 3) Keberadaan makam sebagai situs yang dijaga, dikramatkan. 4) Jejak ingatan Tragedi Priok 1984...
Ingatan tragedi... ingatan manusia adalah semacam benda hidup dan bernyawa. Ia bisa bergerak melampaui masa silam.. Ingatan penuh luka dapat memantik energi amarah..
Kalau apa yang saya saksikan di televisi itu benar, bahwa seorang anggota Pol PP yang terkapar dihujani pukulan dan lemparan batu di tubuhnya,,, lantas satu dari pelaku rusuh yang diwawancara mengatakan "umat Islam sudah sering diinjek-injek, liat tuh kasus Priok," Kita bisa menggarisbawahi komentar ini dalam kata-kata "liat tuh kasus Priok."
Ini berarti bahwa ingatan atas tragedi Priok tahun 1984 saat puluhan anggota jamaah majlis taklim dibunuh, masih terus hidup, dipelihara, dan menjadi energi amarah yang dapat meletup sewaktu-waktu.
Koja... goresan luka oleh peristiwa lebih dari 25 tahun silam masih juga belum sirna, ketika hari ini sejarah kekerasan baru dituliskan kembali...
Never again... but this always happen again... we are all dreams of peace,, but look that Things Left Behind Tj Priok Riot...
Komentar