Di kamarku yang sempit, aku punya musuh: seekor tikus mungil.
Saban waktu, tikus kecil itu masuk dengan menyelinap lewat lubang jendela, atau dari bawah sofa, kemudian bersembunyi untuk beberapa lama di balik lemari baju.
Terkadang, tanpa malu-malu, tikus kecil itu lewat begitu saja ketika aku tengah asyik menghadap televisi, atau saat aku tengah menenggelamkan kepala di hadapan sebuah buku.
Sepertinya ia paham dengan bahasa tubuhku. Ketika aku tolehkan pandangan ke arahnya, ia akan berpura-pura berhenti atau mempercepat lari.
Aku tidak tahu apa yang tikus kecil itu lakukan di kamarku. Dan aku tidak tahu apakah dia sendirian atau lebih dari satu. Aku tak pernah berhasil mengidentifikasi bentuk tubuhnya, atau ciri-ciri khusus yang dimiliki tikus kecil itu untuk dapat mengetahui apakah dia sendiri atau lebih dari satu.
Tikus kecil itu telah membuatku jengkel dari sejak pertama aku melihatnya. Aku seperti mendapat ejekan dari setiap tingkahnya. Lebih-lebih karena dia andil dalam membuat kotor kamarku.
Maka aku memutuskan untuk melakukan serangan terhadap ia yang telah kunobatkan sebagai ”musuh dalam kamar”.
Aku menyediakan seikat sapu lidi dan lampu senter di kamarku. Pada dasarnya, sapu lidi di kamarku punya fungsi dasar untuk membersihkan debu atau sawang yang terjuntai di langit-langit. Sementara senter untuk keperluan penerangan di saat listrik padam. Maklum, di kampungku listrik sesekali padam.
Tetapi, sejak aku menaruh rasa jengkel terhadap tikus kecil itu, aku telah memperluas fungsi kedua benda tersebut. Sapu lidi aku gunakan untuk memukul, sementara lampu senter untuk menerangi setiap bagian yang tidak terjangkau penerangan dari lampu kamar yang memungkinkan sebagai tempat persembunyian binatang pengerat itu.
Pada saat-saat tertentu, aku kerap terlibat bentrok dengan binatang kecil itu. Aku berusaha mengobrak abrik setiap tempat persembunyiannya, di balik lemari atau di kolong sofa.
Aku sadar, ia terlalu kecil bagiku. Ia lawan yang tidak seimbang. Tetapi meski demikian, gerakannya jauh lebih lincah dari gerakanku. Beberapa kali pukulan-pukulan yang aku arahkan ke tubuh tikus kecil itu, selalu luput, karena ia lebih cepat bergerak.
Aku seringkali salah menduga. Pada saat ia tampak seperti dalam posisi terjepit, aku pikir ia akan segera terkapar dengan satu kali pukulan saja. Biasanya, dalam kondisi ini, kedua bola mata kami saling bertemu pandang. Inilah kondisi ia sedang terjepit.
Kadang aku merasa iba saat kedua mata kami saling berpandangan. Tikus kecil itu, dengan tatapannya yang tirus, menampakkan ketidakberdayaannya. Kelemahannya.
Namun, begitu pukulan aku layangkan ke arahnya, ia telah lebih dahulu menggeser tubuhnya, dan selamat dari seranganku.
Kupikir sapu lidi yang kugunakan untuk memukulnya terlalu lembek untuk membuat tubuh tikus kecil itu pingsan. Beberapa kali pukulanku berhasil mengenai badan tikus kecil itu, tetapi ia masih sanggup berlari kencang.
Hal yang paling membuatku mendapat kerepotan ialah saat ia berlari ke arah kolong sofa. Aku terpaksa mengangkat dan membalik posisi sofa. Manakala satu sofa terangkat, ia akan pindah ke kolong sofa lainnya. Begitu seterusnya. Aku kian dibuat kesal karenanya, dan aku ingin segera melihatnya terkapar.
Malam ini, setelah melewati bentrokan yang seru selama kurang dari setengah jam, tikus kecil itu masih dapat menyelamatkan diri...
Saban waktu, tikus kecil itu masuk dengan menyelinap lewat lubang jendela, atau dari bawah sofa, kemudian bersembunyi untuk beberapa lama di balik lemari baju.
Terkadang, tanpa malu-malu, tikus kecil itu lewat begitu saja ketika aku tengah asyik menghadap televisi, atau saat aku tengah menenggelamkan kepala di hadapan sebuah buku.
Sepertinya ia paham dengan bahasa tubuhku. Ketika aku tolehkan pandangan ke arahnya, ia akan berpura-pura berhenti atau mempercepat lari.
Aku tidak tahu apa yang tikus kecil itu lakukan di kamarku. Dan aku tidak tahu apakah dia sendirian atau lebih dari satu. Aku tak pernah berhasil mengidentifikasi bentuk tubuhnya, atau ciri-ciri khusus yang dimiliki tikus kecil itu untuk dapat mengetahui apakah dia sendiri atau lebih dari satu.
Tikus kecil itu telah membuatku jengkel dari sejak pertama aku melihatnya. Aku seperti mendapat ejekan dari setiap tingkahnya. Lebih-lebih karena dia andil dalam membuat kotor kamarku.
Maka aku memutuskan untuk melakukan serangan terhadap ia yang telah kunobatkan sebagai ”musuh dalam kamar”.
Aku menyediakan seikat sapu lidi dan lampu senter di kamarku. Pada dasarnya, sapu lidi di kamarku punya fungsi dasar untuk membersihkan debu atau sawang yang terjuntai di langit-langit. Sementara senter untuk keperluan penerangan di saat listrik padam. Maklum, di kampungku listrik sesekali padam.
Tetapi, sejak aku menaruh rasa jengkel terhadap tikus kecil itu, aku telah memperluas fungsi kedua benda tersebut. Sapu lidi aku gunakan untuk memukul, sementara lampu senter untuk menerangi setiap bagian yang tidak terjangkau penerangan dari lampu kamar yang memungkinkan sebagai tempat persembunyian binatang pengerat itu.
Pada saat-saat tertentu, aku kerap terlibat bentrok dengan binatang kecil itu. Aku berusaha mengobrak abrik setiap tempat persembunyiannya, di balik lemari atau di kolong sofa.
Aku sadar, ia terlalu kecil bagiku. Ia lawan yang tidak seimbang. Tetapi meski demikian, gerakannya jauh lebih lincah dari gerakanku. Beberapa kali pukulan-pukulan yang aku arahkan ke tubuh tikus kecil itu, selalu luput, karena ia lebih cepat bergerak.
Aku seringkali salah menduga. Pada saat ia tampak seperti dalam posisi terjepit, aku pikir ia akan segera terkapar dengan satu kali pukulan saja. Biasanya, dalam kondisi ini, kedua bola mata kami saling bertemu pandang. Inilah kondisi ia sedang terjepit.
Kadang aku merasa iba saat kedua mata kami saling berpandangan. Tikus kecil itu, dengan tatapannya yang tirus, menampakkan ketidakberdayaannya. Kelemahannya.
Namun, begitu pukulan aku layangkan ke arahnya, ia telah lebih dahulu menggeser tubuhnya, dan selamat dari seranganku.
Kupikir sapu lidi yang kugunakan untuk memukulnya terlalu lembek untuk membuat tubuh tikus kecil itu pingsan. Beberapa kali pukulanku berhasil mengenai badan tikus kecil itu, tetapi ia masih sanggup berlari kencang.
Hal yang paling membuatku mendapat kerepotan ialah saat ia berlari ke arah kolong sofa. Aku terpaksa mengangkat dan membalik posisi sofa. Manakala satu sofa terangkat, ia akan pindah ke kolong sofa lainnya. Begitu seterusnya. Aku kian dibuat kesal karenanya, dan aku ingin segera melihatnya terkapar.
Malam ini, setelah melewati bentrokan yang seru selama kurang dari setengah jam, tikus kecil itu masih dapat menyelamatkan diri...
Komentar