Saya mengakhiri jalan-jalan akhir pekan di Lombok dengan menonton film semi dokumenter ”Sape Ampenan Satu Cinta” di Kantor Kesbang Linmas Mataram, Minggu (20/12/09) malam.
Sebelumnya, niat menonton film itu tidak direncanakan, kecuali setelah masuk pesan singkat ke ponsel rekan saya, dan rekan saya membacakan pesan itu yang berisi informasi permintaan hadir dalam acara nonton bareng tersebut.
Film berdurasi kurang dari 1 jam itu bercerita tentang seorang pengelana, yang melakukan "le grande voyage" dari ujung barat Provinsi Nusa Tenggara Barat, Ampenan, hingga di ujung timur, di Sape, Kabupaten Bima.
Plot di dalam cerita sengaja tidak dibuat saling berkait, namun tetap diusahakan untuk saling mengikat sesuai tema besarnya sebagai ”Film Perekat Kesatuan”.
Masing-masing membentuk narasi sendiri-sendiri; siswa sekolah bernama Sasak, dan Putri Samawa, Pengelana, seorang mahasiswa cantik yang sedang melakukan perjalanan penelitian, pedagang lintas pulau, seorang ibu yang selalu meladeni pertanyaan-pertanyaan putranya yang tampak melampaui usia kanak-kanak si anak.
Perjalanan Sang Pengelana mula-mula diawali dari Kota Tua Ampenan, sebuah kota yang dalam perspektif film ini dianggap sebagai cikal bakal bertumbuhnya peradaban di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Bagian-bagian penting dari kota tua ini ditampilkan di awal perjalanan Sang Pengelana. Kemudian untuk memberi penegasan terhadap eksistensi kultur masyarakat NTB yang plural, ditampilkanlah beberapa bagian yang mewakili identitas plural masyarakat, seperti makam pecinan, ritual penganut kong hucu, bangunan klenteng, bangunan pura, bangunan masjid, minus gereja.
Tidaklah sulit menangkap gagasan penting dari keseluruhan cerita film ini. Semenjak ibu guru bertanya kepada murid-murid tentang tiga suku dominan di NTB: Sasak, Samawa, Mbojo. Rasa heran Sang Pengelana yang menjumpai seorang ibu pedagang kain dari Bima yang berdagang di satu sudut pasar tradisional di Lombok. Lalu jawaban Sasak atas pertanyaan Putri Samawa bahwa di Lombok selain penduduk asli, Sasak, juga terdapat, Orang Arab, Jawa, Bugis, Kalimantan. Dialog di atas kendaraan antara Sang Pengelana dengan pedagang lintas pulau.
Pertanyaan dan lalu jawaban-jawaban ini dilandasi ajaran tentang hidup dalam kebhinekaan dan prinsip ke-tunggal ika-an.
Ada kata kunci penting yang bisa dipegang dalam memahami jalan cerita film ini, yakni persoalan ”identitas”.
Ada satu bagian dialog dalam cerita itu yang cukup menarik untuk dijadikan titik berangkat membangun gagasan cerita menjadi lebih kontekstual, yakni pengakuan pedangan lintas pulau kepada Sang Pengelana bahwa ayahnya dari Bima, ibunya orang Sumawa dan dia sendiri dibesarkan di Masbagig Lombok. (saya perlu menonton lagi dialog ini untuk memastikan kebenaran dialog tersebut).
Dialog ini sangat menarik dari segi isinya, yakni penjelasan tentang realitas identitas yang cair (fluid identity). Identitas pada dasarnya bukan sesuatu yang baku (alamiah). Identitas merupakan hasil hubungan-hubungan (constructed).
Dengan demikian, pada dasarnya kita tak pernah benar-benar menjadi Sasak, Mbojo atau Samawa. Identitas kita cair. Tidak ada ”identitas asli” sebagaimana cara pandang esensialisme meyakini persoalan identitas sebagai sesuatu yang baku, alami dan padat.
Namun, sayang sekali, di bagian lain, banyak dialog yang justru ingin meneguhkan keabsahan paham esensialisme, rasa kesukuan yang tinggi, yang diikat oleh rasa senasib sepenanggungan menjadi bagian dari penduduk satu kawasan teritorial: Provinsi NTB.
Saya tetap mengapresiasi keberanian pengambilan gambar-gambar dokumenter dalam film ini. Namun, keelokan visual dokumenter itu terganggu justru oleh mubazirnya dialog-dialog bernada ”penerangan” di sana-sini.
Lantas tanpa sengaja, sebagaimana rekan yang lain berkomentar lebih banyak dengan nada "menyayangkan" sepulang menonton film itu, saya pun mengeluarkan komentar dengan nada serupa, dengan menyebut film itu sebagai (maaf) ”film penerangan”.
Dahulu, semasa saya kecil, saya sering menonton film semi dokumenter bertema Keluarga Berencana (KB), dan film-film anjuran hidup sehat yang diputar Departemen Penerangan di stamplaz atau lapangan belakang kantor kecamatan.
Film-film ini disebut ”film penerangan” karena selain diputar oleh Departemen Penerangan, dialognya berisi ”penerangan” tentang keluarga sejahtera, tentang keluarga sehat. Pokoknya penjelasan mengenai segala hal gagasan yang dikehendaki Negara untuk diikuti masyarakatnya.
Dan... saya rasa, Sape Ampenan Satu Cinta juga tak jauh dari spirit itu, yakni ”menerangkan” tentang identitas plural yang harus terus diikat oleh rasa kesatuan sebagai bagian dari warga dalam garis teritorial tertentu. Alamaaak... kembali ke jaman Orde Baru ni yeee..... Jyadwul,, achh !!!
Dicatat di Lombok, 21 Desember 2009.
Sebelumnya, niat menonton film itu tidak direncanakan, kecuali setelah masuk pesan singkat ke ponsel rekan saya, dan rekan saya membacakan pesan itu yang berisi informasi permintaan hadir dalam acara nonton bareng tersebut.
Film berdurasi kurang dari 1 jam itu bercerita tentang seorang pengelana, yang melakukan "le grande voyage" dari ujung barat Provinsi Nusa Tenggara Barat, Ampenan, hingga di ujung timur, di Sape, Kabupaten Bima.
Plot di dalam cerita sengaja tidak dibuat saling berkait, namun tetap diusahakan untuk saling mengikat sesuai tema besarnya sebagai ”Film Perekat Kesatuan”.
Masing-masing membentuk narasi sendiri-sendiri; siswa sekolah bernama Sasak, dan Putri Samawa, Pengelana, seorang mahasiswa cantik yang sedang melakukan perjalanan penelitian, pedagang lintas pulau, seorang ibu yang selalu meladeni pertanyaan-pertanyaan putranya yang tampak melampaui usia kanak-kanak si anak.
Perjalanan Sang Pengelana mula-mula diawali dari Kota Tua Ampenan, sebuah kota yang dalam perspektif film ini dianggap sebagai cikal bakal bertumbuhnya peradaban di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Bagian-bagian penting dari kota tua ini ditampilkan di awal perjalanan Sang Pengelana. Kemudian untuk memberi penegasan terhadap eksistensi kultur masyarakat NTB yang plural, ditampilkanlah beberapa bagian yang mewakili identitas plural masyarakat, seperti makam pecinan, ritual penganut kong hucu, bangunan klenteng, bangunan pura, bangunan masjid, minus gereja.
Tidaklah sulit menangkap gagasan penting dari keseluruhan cerita film ini. Semenjak ibu guru bertanya kepada murid-murid tentang tiga suku dominan di NTB: Sasak, Samawa, Mbojo. Rasa heran Sang Pengelana yang menjumpai seorang ibu pedagang kain dari Bima yang berdagang di satu sudut pasar tradisional di Lombok. Lalu jawaban Sasak atas pertanyaan Putri Samawa bahwa di Lombok selain penduduk asli, Sasak, juga terdapat, Orang Arab, Jawa, Bugis, Kalimantan. Dialog di atas kendaraan antara Sang Pengelana dengan pedagang lintas pulau.
Pertanyaan dan lalu jawaban-jawaban ini dilandasi ajaran tentang hidup dalam kebhinekaan dan prinsip ke-tunggal ika-an.
Ada kata kunci penting yang bisa dipegang dalam memahami jalan cerita film ini, yakni persoalan ”identitas”.
Ada satu bagian dialog dalam cerita itu yang cukup menarik untuk dijadikan titik berangkat membangun gagasan cerita menjadi lebih kontekstual, yakni pengakuan pedangan lintas pulau kepada Sang Pengelana bahwa ayahnya dari Bima, ibunya orang Sumawa dan dia sendiri dibesarkan di Masbagig Lombok. (saya perlu menonton lagi dialog ini untuk memastikan kebenaran dialog tersebut).
Dialog ini sangat menarik dari segi isinya, yakni penjelasan tentang realitas identitas yang cair (fluid identity). Identitas pada dasarnya bukan sesuatu yang baku (alamiah). Identitas merupakan hasil hubungan-hubungan (constructed).
Dengan demikian, pada dasarnya kita tak pernah benar-benar menjadi Sasak, Mbojo atau Samawa. Identitas kita cair. Tidak ada ”identitas asli” sebagaimana cara pandang esensialisme meyakini persoalan identitas sebagai sesuatu yang baku, alami dan padat.
Namun, sayang sekali, di bagian lain, banyak dialog yang justru ingin meneguhkan keabsahan paham esensialisme, rasa kesukuan yang tinggi, yang diikat oleh rasa senasib sepenanggungan menjadi bagian dari penduduk satu kawasan teritorial: Provinsi NTB.
Saya tetap mengapresiasi keberanian pengambilan gambar-gambar dokumenter dalam film ini. Namun, keelokan visual dokumenter itu terganggu justru oleh mubazirnya dialog-dialog bernada ”penerangan” di sana-sini.
Lantas tanpa sengaja, sebagaimana rekan yang lain berkomentar lebih banyak dengan nada "menyayangkan" sepulang menonton film itu, saya pun mengeluarkan komentar dengan nada serupa, dengan menyebut film itu sebagai (maaf) ”film penerangan”.
Dahulu, semasa saya kecil, saya sering menonton film semi dokumenter bertema Keluarga Berencana (KB), dan film-film anjuran hidup sehat yang diputar Departemen Penerangan di stamplaz atau lapangan belakang kantor kecamatan.
Film-film ini disebut ”film penerangan” karena selain diputar oleh Departemen Penerangan, dialognya berisi ”penerangan” tentang keluarga sejahtera, tentang keluarga sehat. Pokoknya penjelasan mengenai segala hal gagasan yang dikehendaki Negara untuk diikuti masyarakatnya.
Dan... saya rasa, Sape Ampenan Satu Cinta juga tak jauh dari spirit itu, yakni ”menerangkan” tentang identitas plural yang harus terus diikat oleh rasa kesatuan sebagai bagian dari warga dalam garis teritorial tertentu. Alamaaak... kembali ke jaman Orde Baru ni yeee..... Jyadwul,, achh !!!
Dicatat di Lombok, 21 Desember 2009.
Komentar