Langsung ke konten utama

Gus Dur, Secarik Kenangan Dari Saya

Rabu 30 Desember 2009, senja hari. Saya baru saja membuka satu situs website ketika tiba-tiba terpampang di hadapan saya, berita headline meninggalnya Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid).

”Gus Dur meninggal ???!!” saya berseru dalam hati. Ya, Gus Dur meninggal beberapa menit lalu. Saya berkirim SMS memberitahukan kepada beberapa kawan yang mungkin belum menyimak berita ini.

Saya berusaha mengurai informasi lebih jauh terkait meninggalnya Gus Dur, dari berita web tersebut. Tanpa saya sadari, dada saya terguncang, dan mata saya berkaca-kaca.

Gus Dur meninggal. Sesuatu yang mungkin terjadi di tengah kondisi kesehatan beliau yang terus menurun dalam beberapa hari terakhir.

Berbilang hari sebelumnya, Gus Dur dikabarkan sakit dan menjalani perawatan di salah satu rumah sakit di Jombang Jawa Timur, saat tengah melakukan kegiatan ziarah ke beberapa pesantren di kota kelahirannya.

Dari Jombang, Gus Dur dirujuk ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Selang tak berapa lama, kesehatan Gus Dur dikabarkan membaik. Gus Dur kemudian meninggalkan RSCM dan langsung menuju Gedung PBNU Pusat.

Berita saat Gus Dur meninggalkan RSCM dan menuju Gedung PBNU sempat saya saksikan di salah satu layar televisi. Gus Dur dipapah ketika hendak menaiki mobil yang akan membawanya ke Gedung PBNU.

Selang dua atau tiga hari kemudian, Gus Dur dikabarkan kembali masuk RSCM. Kondisi fisiknya dikabarkan melemah. Dan terakhir, tersiarlah kabar duka Gus Dur meninggal dunia.

Mula Mengenal Gus Dur
Saya mengenal sosok Gus Dur ketika saya masih bermukim di salah satu pesantren di kawasan tapal kuda, Jawa Timur, antara tahun 1993-1999, kurun tahun saat saya menempuh pendidikan SMP dan SMA.

Beberapa kali Gus Dur pernah datang ke pesantren kami untuk memenuhi undangan sebuah acara; Haul, Maulid Nabi, dan kegiatan seminar-seminar.

Dari tema-tema pembicaraan dalam seminar maupun ceramah-ceramah keagamaannya, saya mengetahui betapa ia adalah tokoh yang sangat berpengaruh, berwawasan luas, berpikiran maju, dan pandai mengemas kritik dengan humor.

Dari berbagai media, terutama majalah langganan kami, Majalah Aula (milik kaum Nahdliyin), saya mengikuti dari membaca media itu, sepak terjang perjalanan kegiatan-kegiatan politik Gus Dur dalam masa-masa itu.

Setelah saya pindah melanjutkan studi ke Yogyakarta di tahun 1999, dengan mudah saya dapat menjumpai buku-buku berisi kumpulan-kumpulan artikel Gus Dur. Di tahun itu, kebetulan terbit buku ”Tuhan Tidak Perlu Dibela” oleh penerbit LKiS. Judul itu diambil dari salah satu judul artikel di buku tersebut.

Saya membeli satu buku Tuhan Tidak Perlu Dibela lebih karena didorong oleh rasa kagum saya kepada buah pemikiran Gus Dur.

Di tahun itu juga, secara kebetulan, Gus Dur terpilih sebagai Presiden RI ke-4 dengan Megawati Soekarnoputri sebagai wakilnya. Saya masih ingat saat-saat itu. Saya sedang berada di Pasar Bringharjo dan membeli sebuah sarung, ketika berita tentang hasil voting di Gedung MPR/DPR Jakarta menyebutkan Gus Dur terpilih sebagai presiden.

Di tahun-tahun awal saya di Yogya, saya tinggal di sebuah asrama mahasiswa, Pesantren Wahid Hasyim Gaten. Di asrama itu, di suatu tempo, dalam sebuah diskusi, saya berjumpa dengan mantan wartawan, akademisi yang juga penulis buku, Andree Fielard dari Prancis. Ia menulis disertasi yang kemudian diterbitkan dalam edisi Indonesia berjudul NU vis a vis Negara (LkiS).

Ia adalah wartawan salah satu media di Prancis yang pernah mengaku sangat dekat dengan Gus Dur. Kata Andree Fielard tentang Gus Dur dalam diskusi itu, ”Saya beruntung telah berjumpa dan mengenal baik sosok Gus Dur, seseorang yang dari mana saya mendapat begitu banyak informasi penting terkait kondisi politik di Indonesia. Informasi akurat yang saya perlukan untuk tugas-tugas jurnalistik saya,” kata Andree.

Andree mengatakan sangat kagum kepada Gus Dur. ”Ia orang yang terbuka, pandai berkomunikasi, kaya wawasan. Tidak jarang kami berdiskusi hingga larut malam,” kenang Andree waktu itu.

Sewaktu Gus Dur dipaksa mundur dari kursi presiden, beberapa kawan asrama berangkat ke Jakarta, ikut dalam aksi Pro-Gus Dur. Waktu itu saya tidak ikut. Saya sedang berada di Jawa Timur (di Malang kemudian ke Situbondo) menjelang Gus Dur dilengserkan. Saya kembali ke Yogya dari Jawa Timur, sehari sebelum Gus Dur lengser di tahun 2001.

Selama di Yogyakarta, ada tiga kali saya mengikuti ceramah atau pembicaraan Gus Dur. Satu kali saat ia masih menjabat presiden. Gus Dur datang ke Yogya dan berdiskusi dengan masyarakat di Masjid Gede Kauman Yogya sekitar tahun 2000.

Dua kali setelah Gus Dur tidak lagi menjabat presiden RI, yakni diskusi politik di Aula Budaya UGM di sekitar tahun 2002. Kemudian diskusi bersama sastrawan Pramoedya Ananta Toer di Gedung UC UGM tanggal 14 Februari 2003.

Diskusi di UC UGM itu adalah diskusi yang paling menggairahkan saya, karena saya dapat berjumpa dengan dua orang sekaligus yang sama-sama saya kagumi. Pram dan Gus Dur.

Ketika berbicara dalam forum itu, Gus Dur bercerita tentang kekagumannya atas karya-karya Pram. Ia mengaku membaca hampir seluruh karya Pram. Gus Dur menceritakan beberapa isi dari salah satu novel Pram (Arus Balik) dengan sangat baik. Ia menyebut dan masih mengingat dengan baik tokoh-tokoh dalam novel tersebut.

Sebaik-baik Gus Dur, bukan berarti dia tak punya lawan. Mereka yang tidak sejalan dengan alur pemikiran tokoh demokrasi itu, akan menentang dan menjelek-jelekkannya.

Saya teringat satu peristiwa kecil di tahun 2001. Waktu itu saya berinisiatif meliput kegiatan ceramah Pemimpin Laskar Jihad, Jafar Umar Talib untuk keperluan penambahan data di majalah mahasiswa (Advokasia) tempat saya menjalani aktivitas ekstra kurikuler kampus. Ceramah akbar itu berlangsung di ruang Gedung Haji Alun-alun Utara Kota Yogya.

Jafar Umar Talib yang berbicara dengan tensi tinggi dalam ceramahnya di hadapan ratusan pendukung Laskar Jihad, menyebut Gus Dur sebagai ”Si Marxis”.

Aha,, saya yang berada di tengah-tengah para jamaah LJ hanya tersenyum. Betul memang. Dalam sejarahnya, Gus Dur dikenal sebagai pemikir yang doyan melahap semua jenis menu wacana dan pemikiran. Justru inilah yang membuat saya dan banyak orang mengaguminya. Ia membaca karya-karya berbau kiri dan terlarang (sylabus errorum), sejak ia masih menjadi santri di Pesantren Tegalrejo Magelang.

Tidak hanya itu, Gus Dur oleh sebagian orang juga disebut sebagai penggerak kristenisasi di Indonesia, karena kegigihannya membela hak kaum minoriti. Bahkan ia disebut agen Yahudi karena nama Abdurrahman Wahid termasuk salah satu pengurus yayasan milik Simon Peres (Israel).

Saya teringat satu peristiwa kecil lagi, seorang kawan aktivis IRM yang tampaknya juga rada anti-Gus Dur, memberitahu saya tentang video kontroversial Gus Dur yang berada di tengah-tengah umat Kristen di sebuah gereja.

Kata kawan saya itu, Gus Dur sudah dibaptis kaum Nasrani. Saya hanya tersenyum saja, dan mengatakan kepada rekan saya, ”Gus Dur bukan sekali ini, tapi sudah berkali-kali dibaptis.”

Masih saat-saat di Yogya, setelah lama tidak lagi mengikuti ceramah Gus Dur, saya hanya sempat mengikuti dengan membaca artikel politiknya di salah satu harian lokal ternama di Yogya (Kedaulatan Rakyat).

Seingat saya, waktu itu artikel Gus Dur mendapat jatah dimuat setiap satu kali seminggu. Dalam artikel-artikel yang dimuat itu, Gus Dur menyorot banyak soal, mulai dari isu pluralisme, budaya, ekonomi dan politik.

Satu kalimat dari Gus Dur yang tidak mungkin saya lupakan dan selalu dibuat menjadi kalimat pamungkas dalam artikel-artikel Gus Dur yang dimuat koran Kedaulatan Rakyat adalah kata-kata ”Ini mudah dikatakan, tetapi sulit dilaksanakan, bukan?.”

Ya, kita kerapkali mudah mengatakan sesuatu, tetapi sulit melaksanakannya.

Bibi Saya yang Cinta Mati Gus Dur

Adik dari ayah saya, Bibi Nah, sudah lebih dari tiga tahun ini bermukim di Makkah. Ia bekerja di sana. Saya tidak tahu, apakah berita meninggalnya Gus Dur sudah sampai kepadanya.

Tentu kabar ini akan membuatnya sedih. Ia mencintai Gus Dur lebih dari rasa cintanya kepada siapapun.

Maka tak heran, rumah kecilnya di kampung dicat dengan warna hijau. ”Warna bendera NU dan PKB,” katanya. Lantai ubinnya juga berwarna lumut. Space kosong di dinding rumah itu diisi dengan gambar foto Gus Dur bersama keluarga.

Di dompetnya ada foto Gus Dur. Di hanphone-nya juga diberi background layar foto Gus Dur. Dia rela duduk bermenit-menit di depan layar televisi kalau ada berita-berita menyangkut Gus Dur.

Bibi saya cinta mati sama Gus Dur. Jangan sekali-kali bicara kekurangan Gus Dur di hadapan bibi saya. Sumpah,,, dia akan tersinggung berat, dan balik mengata-ngataimu secara kasar.

Setahun lalu, sewaktu dia pulang kampung dari Makkah, saya pernah meminjamkan kepadanya buku Biografi Gus Dur terbitan LKiS karya Greg Barton.

Bibi saya selalu membanggakan diri bahwa ternyata dia punya seupil kesamaan dengan sosok yang dikaguminya: sama-sama tidak pernah lulus dari perguruan tinggi.. ???


***
Gus Dur telah pergi. Di belakangnya, ia meninggalkan begitu banyak umat. Ia dicintai orang dari berbagai golongan. Gus Dur pergi di saat bangsa ini tengah tertatih-tatih meretas jalan demokrasi. Satu cita-cita besar yang sudah lama diimpikan Gus Dur.

Indonesia sebagai sebuah negara dengan beragam kultur, etnik dan agama, yang semestinya sama-sama memiliki hak setara, tanpa ada satu pun dari kelompok itu yang merasa diri sebagai kaum mayoritas dan berhak berlaku sewenang-wenang. Inilah demokrasi. Cita-cita tertinggi umat manusia demi keadilan untuk semua yang menjadi impian Gus Dur di masa hidupnya.

Selamat jalan, Gus Dur. Namamu akan selalu hidup di hati kami.

Dicatat di Mataram, Akhir Desember 2009.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...