Angin malam di bulan Desember terbilang dingin. Langit tak terlalu terang di malam hari, karena awan yang menggantung terlampau tebal. Beberapa hari terakhir, hujan sesekali turun deras.
Lewat pukul 22.00 Wit, sepeda motor vespa tua yang saya kendarai bersama kawan lama saya, Kawan Tatok, melaju pelan di jalanan kota yang mulai lengang. Sesekali melintas di permukaan aspal yang basah, kendaraan-kendaraan besar yang mengangkut para pekerja tambang batubara milik Kaltim Prima Coal.
Sangatta, sebuah kota kecil yang beranjak mekar, dengan jalur arteri yang lebar. Bangunan-bangunan mulai tumbuh di mana-mana. Terutama di sisi ruas-ruas jalan. Segala kebutuhan untuk 24 jam aktivitas manusia tersedia di sini.
Tempat-tempat belanja, pasar, mini market, toko dan warung, sebuah mall, town hall, rumah sakit, kampus sekolah, salon kecantikan, tempat-tempat pelesiran, panti pijat, pub, night club, diskotek, penginapan-penginapan, losmen, hotel melati, dan masih banyak lagi.
Di kota ini, manakala satu irama aktivitas manusia berhenti, maka pada saat yang sama, aktivitas yang lain siap dimulai.
Inilah bakal sebuah kota industri yang kelak dalam hitungan puluhan tahun ke depan diramalkan akan menjelma menjadi metropolis. Kendaraan-kendaraan mewah lalu lalang di mana-mana. Himpunan rumah elit dari beton dan rumah panggung dari daging pohon ulin berdiri di setiap petak lahan. Harga-harga kebutuhan sehari-hari terbilang tinggi menurut ukuran pendatang seperti saya.
Sangatta, kota kecil ini tampak muram dan menggigil di malam hari di musim hujan. Deretan toko-toko dan warung telah banyak yang menutup pintu. Rumah-rumah penduduk telah sepi. Tinggallah para penjual makanan-makanan hangat, roti bakar dan martabak isi.
Dan lihatlah itu, pemandangan di bilik-bilik tempat pelesiran. Mobil-mobil mewah berjejer di halaman. Pendar lampu yang suram di bagian dalamnya, dan lampu klap klip di luarnya, memberi isyarat nadi kota kecil ini terus berdenyut kencang tak ada hentinya.
Dahulu, kata orang, kawasan ini masih berupa rawa-rawa. Tanah-tanah banyak yang kosong, dan manusia masih sedikit jumlahnya. Namun beberapa tahun setelah menjadi daerah mandiri hasil dari pemekaran, kawasan ini terus mencatat rekor pertumbuhan pembangunan yang terbilang pesat. Dari Bukit Pelangi, kebijakan-kebijakan jangka pendek dan jangka panjang pembangunan kota terus dirancang.
Percikan dari berkah industri pengolahan tambang terasa di mana-mana. Para perantau datang dari berbagai daerah, menjalani apapun jua rupa pekerjaan. Konon, segala rupa pekerjaan di kota ini, tetap akan mendatangkan uang banyak.
Sangatta, kota kecil di Kutai Timur yang diramalkan bakal menjadi mercusuar di tengah rimba Pulau Kalimantan.
Huhhhh...
Badan terasa kian beku terkena angin malam. Kata kawan lama saya, "Sungguh nikmat jika kita mampir sejenak di sebuah warung kecil, sambil duduk santai, menyeruput kopi panas dan wedang jahe." Aha..!! ide yang bagus,, kopi panas kesukaan kawan saya, dan wedang jahe kesukaan saya.
Hampir dua jam kami berputar-putar menyusuri bagian-bagian jalanan kota kecil ini, mencari-cari tempat yang paling mewakili untuk menikmati malam dengan secangkir minuman hangat. Tetapi tak satu pun warung yang tersisa yang menyediakan kopi panas dan wedang jahe. Tak ada warung-warung kopi spesial yang diharapkan dapat memenuhi selera para penggemar kopi seperti kawan saya.
Kekurangan ini kemudian menjadi catatan penting kami. Hmmm.. Sebuah kota yang hendak mekar, dengan segala aktivitas malam hari yang tak kunjung henti, tidak "menyediakan" sepetak pun ruang untuk sebuah warung kopi. Ah.. Betapa kecewanya kami....!!
Dicatat dan diposting di Sangatta, 5 Desember 2009.
Lewat pukul 22.00 Wit, sepeda motor vespa tua yang saya kendarai bersama kawan lama saya, Kawan Tatok, melaju pelan di jalanan kota yang mulai lengang. Sesekali melintas di permukaan aspal yang basah, kendaraan-kendaraan besar yang mengangkut para pekerja tambang batubara milik Kaltim Prima Coal.
Sangatta, sebuah kota kecil yang beranjak mekar, dengan jalur arteri yang lebar. Bangunan-bangunan mulai tumbuh di mana-mana. Terutama di sisi ruas-ruas jalan. Segala kebutuhan untuk 24 jam aktivitas manusia tersedia di sini.
Tempat-tempat belanja, pasar, mini market, toko dan warung, sebuah mall, town hall, rumah sakit, kampus sekolah, salon kecantikan, tempat-tempat pelesiran, panti pijat, pub, night club, diskotek, penginapan-penginapan, losmen, hotel melati, dan masih banyak lagi.
Di kota ini, manakala satu irama aktivitas manusia berhenti, maka pada saat yang sama, aktivitas yang lain siap dimulai.
Inilah bakal sebuah kota industri yang kelak dalam hitungan puluhan tahun ke depan diramalkan akan menjelma menjadi metropolis. Kendaraan-kendaraan mewah lalu lalang di mana-mana. Himpunan rumah elit dari beton dan rumah panggung dari daging pohon ulin berdiri di setiap petak lahan. Harga-harga kebutuhan sehari-hari terbilang tinggi menurut ukuran pendatang seperti saya.
Sangatta, kota kecil ini tampak muram dan menggigil di malam hari di musim hujan. Deretan toko-toko dan warung telah banyak yang menutup pintu. Rumah-rumah penduduk telah sepi. Tinggallah para penjual makanan-makanan hangat, roti bakar dan martabak isi.
Dan lihatlah itu, pemandangan di bilik-bilik tempat pelesiran. Mobil-mobil mewah berjejer di halaman. Pendar lampu yang suram di bagian dalamnya, dan lampu klap klip di luarnya, memberi isyarat nadi kota kecil ini terus berdenyut kencang tak ada hentinya.
Dahulu, kata orang, kawasan ini masih berupa rawa-rawa. Tanah-tanah banyak yang kosong, dan manusia masih sedikit jumlahnya. Namun beberapa tahun setelah menjadi daerah mandiri hasil dari pemekaran, kawasan ini terus mencatat rekor pertumbuhan pembangunan yang terbilang pesat. Dari Bukit Pelangi, kebijakan-kebijakan jangka pendek dan jangka panjang pembangunan kota terus dirancang.
Percikan dari berkah industri pengolahan tambang terasa di mana-mana. Para perantau datang dari berbagai daerah, menjalani apapun jua rupa pekerjaan. Konon, segala rupa pekerjaan di kota ini, tetap akan mendatangkan uang banyak.
Sangatta, kota kecil di Kutai Timur yang diramalkan bakal menjadi mercusuar di tengah rimba Pulau Kalimantan.
Huhhhh...
Badan terasa kian beku terkena angin malam. Kata kawan lama saya, "Sungguh nikmat jika kita mampir sejenak di sebuah warung kecil, sambil duduk santai, menyeruput kopi panas dan wedang jahe." Aha..!! ide yang bagus,, kopi panas kesukaan kawan saya, dan wedang jahe kesukaan saya.
Hampir dua jam kami berputar-putar menyusuri bagian-bagian jalanan kota kecil ini, mencari-cari tempat yang paling mewakili untuk menikmati malam dengan secangkir minuman hangat. Tetapi tak satu pun warung yang tersisa yang menyediakan kopi panas dan wedang jahe. Tak ada warung-warung kopi spesial yang diharapkan dapat memenuhi selera para penggemar kopi seperti kawan saya.
Kekurangan ini kemudian menjadi catatan penting kami. Hmmm.. Sebuah kota yang hendak mekar, dengan segala aktivitas malam hari yang tak kunjung henti, tidak "menyediakan" sepetak pun ruang untuk sebuah warung kopi. Ah.. Betapa kecewanya kami....!!
Dicatat dan diposting di Sangatta, 5 Desember 2009.
Komentar
o ya kawan, tulisan tentang warung kopi ini juga saya kirim ke:
http://www.pewarta-indonesia.com/nspirasi/Sosial-Budaya/budaya-kopi-di-indonesia.html
akses y?.tq ---Sengata masih dingin seperti ketika melepasmu--- Sabtu, 5/12/09