
Rute Djuanda-Sepinggan hanya ditempuh dalam tempo 1 jam. Di gate arrival domestic, telah menunggu kawan lama saya. Di Sepinggan, saya dan kawan saya menanti hingga jam 6 petang jadwal perjalanan travel yang akan membawa kami ke Kutai Timur. Kebetulan, kawan saya telah membooking travel (Cendana Travel) dengan biaya Rp 120 ribu per orang.
Dengan kendaraan berpenumpang delapan orang itu, kami menempuh 9 jam perjalanan lintas kabupaten, Balikpapan-Kutai Timur. Rute yang lumayan panjang. Kira-kira sama jaraknya dengan perjalanan Yogyakarta-Surabaya.
Mobil travel itu dikemudi seorang sopir setengah baya yang mengaku berasal dari Madiun Jawa Timur. Sebagian banyak sopir untuk kendaraan lintas kabupaten rata-rata berasal dari Jawa. Dan ini adalah perjalanan pertama saya di pulau yang dikenal paling luas se-nusantara.
Setelah menikmati beberapa menit terlelap di atas kendaraan yang melaju dengan kecepatan tinggi itu, saya terbangun. Sementara kawan saya masih terlelap, mata saya memperhatikan sekeliling.
Kami melintas di kawasan hutan yang panjang. Pohon-pohon di sepanjang jalanan yang sepi. Sesekali tampak bebukitan dan lembah-lembah menghitam di kejahuan. Saya berpikir, mungkin di balik bukit dan lembah dengan pohon-pohon itu, tinggal berbagai jenis hewan liar.
Tidak jauh beda pemandangan ini, dengan apa yang dituturkan keluarga saya di kampung tentang pulau ini. Ketika kendaraan yang membawa saya terus melaju di atas jalanan berkelok-kelok di kedalaman hutan belantara, saya mulai teringat dengan pitutur keluarga di kampung.
”Kalimantan adalah belantara,” kata mereka. ”Di sana, tinggal suku asli (Dayak) yang keadaannya tak jauh lebih baik dari kita di sini (Lombok). Orang-orang Dayak itu memakan babi dan ular. Sesekali mereka juga memakan manusia,” tutur keluarga saya. Mereka yang memiliki persepsi demikian memang belum pernah ke Kalimantan. Ini hanya anggapan sementara mereka tentang Kalimantan.
Ya, sebagian Kalimantan adalah belantara. Puluhan tahun silam, beberapa dari anggota keluarga saya, telah lebih dahulu tinggal di pulau ini. Beberapa nama dari keluarga yang saya ingat antara lain, keluarga besar Papuq Omin, Bilan, Salim, Mahdi, Acad, Amad, kemudian menyusul Akir, Suparlan. Tetangga-tetangga di kampung saya juga tidak sedikit yang merantau ke Kalimantan.
Sebagian dari mereka yang pergi lebih dahulu, tidak saya ingat lagi. Keberadaan mereka hanya saya ketahui dari tuturan keluarga di rumah. Mereka telah beranak pinak, membangun rumah dan membuka ladang. Mereka jarang pulang kampung. Dan barangkali mereka telah mengganti bahasa ibu.
Dalam rentang sepuluh tahun, bisa dihitung hanya sekali mereka pulang kampung. Sudah tak ada lagi komunikasi, kecuali sekali waktu, jika satu dari anggota keluarga di rantau dikabarkan meninggal, barulah berita tentang keberadaan mereka diketahui orang di kampung.
Ya, sebagian Kalimantan adalah belantara. Semakin jauh kendaraan yang membawa saya menyusuri jalan rimba yang lengang, semakin terasa pula apa yang selama ini dikhawatirkan beberapa anggota keluarga saya di kampung tentang mereka yang pergi merantau ke Kalimantan.
Pulau ini seperti memendam ceruk-ceruk raksasa di seluruh bagian buminya. Mereka yang datang dan terbenam ke dalam ceruk itu, tak akan pernah bisa kembali lagi. Beberapa anggota keluarga saya dan tetangga-tetangga kampung saya yang telah puluhan tahun di sini, tak pernah terlihat lagi. Mereka hanya meninggalkan nama di kampung. Sementara nasib dan peruntungan mereka tak banyak diketahui.
Keluarga besar kami di kampung adalah keluarga yang tak punya sejarah. Tak ada catatan silsilah tentang keluarga besar kami. Para pendahulu kami terputus pada nama-nama di generasi tertentu. Satu demi satu dari anggota keluarga besar kami yang tak mendapatkan kesempatan menikmati hidup selayaknya, akan memilih menjauh dan pergi sebagai perantau. Barangkali, mereka menyadari bahwa sejarah harus diciptakan dari kawasan-kawasan kosong, di tanah-tanah baru yang mereka diami.
Konon, menurut cerita orang-orang dulu kami di kampung, di balik bongkahan-bongkahan bumi Kalimantan tersimpan semua jenis barang bernilai tinggi: emas, intan, perak, gaharu, tembaga dan batubara.
Puluhan tahun, sejak zaman Belanda, tersiar kabar, bumi Kalimantan yang dulu bernama Borneo, dijamah para penambang. Maskapi perusahaan-perusahaan besar menggelindingkan alat-alat beratnya di bumi ini. Para perantau berdatangan dari segala penjuru, dengan motivasi transmigrasi maupun menjadi kuli. Mereka berharap mendapat berkah dari tanah-tanah yang tengah digali para penambang itu.
Cerita-cerita tentang kemakmuran ini pulalah yang mengantarkan satu demi satu anggota keluarga saya, bersama ribuan perantau lain dari berbagai kawasan, menuju tanah Kalimantan. Di sini, mereka menggantang mimpi-mimpi kemakmuran itu.
Di langit, nyala bulan tak terlampau terang. Bahkan pendar rembulan dengan posisi yang agak condong itu, hanya menciptakan siluet dari pepohonan yang kian menambah hitam suasana malam di perjalanan.
Kini, saya merasa benar-benar akan dibawa ke suatu tempat yang saya ibaratkan seperti sebuah ceruk raksasa, yang akan menelan saya, sebagaimana para pendahulu dari keluarga saya yang pergi dan tak pernah keluar dari belantara ini.
*Ditulis dan diposting di Sangatta, Kutai Timur, Minggu 29 November 2009.
Komentar